85• Dia Bukan Rahwana.
Kalian sudah bisa menebak ending apa yang ada dalam cerita ini, kan?
Jadi, sebenarnya bab-bab terakhir ini penyelesaian masalah yang di alami para tokoh utama.
Bisa vote dulu kan, ges?
Kayaknya udah mulai mengerucut votenya. 🙂
Makasih💙
Jika membicarakan kisah Ramayana, siapa yang akan ditunjuk sebagai penjahatnya? Orang-orang tentu akan menyebutkan satu nama yang membuat gempar dalam cerita.
Siapa lagi jika bukan Rahwana. Mencuri Dewi Sinta yang jelas-jelas sudah dimiliki Rama.
Akan tetapi, bukankah tindakannya menculik Sinta dilakukan karena rasa suka. Ia hanya sedang jatuh cinta pada sosok jelita yang sudah dimiliki seorang pria. Lantas karena terlalu berhasrat ingin memperistri, sang raja iblis itu nekat mengurung Sinta untuk dijadikan permaisuri.
Benar, dialah Rahwana. Sosok yang selalu bermuram durja karena tak berhasil memiliki Sinta.
Namun, jangan salahkan cintanya. Ia hanya korban dari arogansi rasa yang ternyata bisa melemahkan hati iblis sepertinya. Kemudian, tindakan itu membuat dunia mengingatnya sebagai si Rahwana Iblis Durjana.
Padahal ia hanya sedang jatuh cinta.
Benar, hanya jatuh cinta.
Semengerikan itukah?
Raja iblis saja bisa diperbudak cinta apa lagi manusia yang memiliki hati lemah tanpa daya. Bahkan beberapa dari mereka ada yang gila hingga tak jarang berujung mengakhiri hidupnya, saat merasa cinta yang diagungkan ternyata tak mendapat keadilan. Meski sebenarnya rasa itu tak salah. Saat datang, itu hanya berupa euforia yang menciptakan debar aneh di balik dada. Karena sekali lagi cintanya tak salah, hanya cara bagaimana mereka menindaklanjutinya saja yang akan menentukan semua.
Apa cinta yang mereka bawa akan memberi bahagia?
Atau malah sebaliknya?
Dan sekarang Ardaf sedang tertunduk pasrah pada setir mobil tiap mengingat betapa mengerikan cinta yang ia tunjukkan. Rasa sesal terus menggerus hari-harinya, mengurungnya dalam ruang pengap yang menyesakkan. Bahkan setiap pagi saat semua belum dimulai, Ardaf selalu berharap kejadian malam itu hanya sebuah mimpi. Mimpi yang akan berakhir saat ia disentak kesadaran. Tak apa dengan rasa takut dan keringat yang bercucuran. Ardaf hanya ingin semua kembali baik-baik saja seperti hari sebelum malam itu terjadi atau hari di mana ia tak menyadari perasaannya.
Hanya itu saja.
Ah, lagi-lagi karena jatuh cinta.
Racunnya memang luar biasa.
Terkesiap mendengar ketukan pada jendela mobilnya, Ardaf menoleh sebelum menurunkan benda penghalang tersebut. Ia hanya terdiam melihat satpam pria yang sudah beberapa kali ia temui, menunduk untuk memastikan dirinya sebelum mengangguk sopan.
"Pak Ardaf, ya?"
Ardaf hanya mengangguk saja.
"Mau ketemu Pak Chivar?" kata satpam dengan nametag Dayat.
"Apa mereka udah pulang?"
Sebulan berlalu setelah resepsi di Bali, Ardaf belum melihat Webhi lagi. Dan selama itu juga ia mengumpulkan nyali dan ribuan maaf yang dibumbui sesal tak terkira. Ardaf datang bukan sebagai Rahwana yang akan lancang menculik Sinta. Ia hanya ingin mengemis maaf pada sosok wanita yang sudah ia goreskan tinta kecewa. Tak banyak yang diharapkan, Ardaf hanya ingin mendorong semua kalimat sesal di ujung lidah dengan hati yang pasrah. Tak apa jika Webhi membencinya, tak apa jika ia bukan lagi pria yang menyandang status seorang kakak, yang Ardaf inginkan sekarang adalah pasangan itu mendengar maaf dan sesalnya.
"Kalau Pak Ardaf tanya pulang dari Bali, Bapak sama Ibu udah pulang tiga hari yang lalu. Kalau Pak Ardaf tanya pulang dari proyek, Bapak udah pulang dari tadi siang. Soalnya mau nemenin Ibu periksa kandungan. Intinya mah, udah ada di rumah," ungkap Dayat riang.
"Bisa hubungi mereka dulu. Bilang saya mau ketemu."
"Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya." Dayat berjalan mantap menuju pos jaga untuk menghubungi majikannya.
Sementara itu, pasutri yang sedang dibicarakan sedang menikmati waktu bersama setelah menyelesaikan makan malam. Dengan ponsel yang ada dalam genggaman, Chivar tak henti menebar senyum kala unggahan dalam akun instagramnya diserbu komentar berisi doa dan kalimat syukur.
Setengah jam lalu, Webhi dibuat bingung saat Chivar menanyakan test pack yang ia gunakan saat mengetes kehamilan. Mengingat-ingat di mana benda yang dulu pernah ia simpan rapi, Webhi berakhir menemukannya di dalam laci nakas. Ia hanya memberi alat itu saja, bahkan tanpa rasa istimewa sedikit pun karena menurutnya itu sudah sangat terlambat.
Namun, siapa sangka? Chivar begitu kreatif meletakkan benda itu ke dalam kotak bersama dua dot bayi, menuliskan sesuatu di sana, serta memberi gambar menggemaskan. Karena sepertinya, Tuhan memang terlalu baik pada Chivar. Tadi setelah menjalani USG untuk yang kedua kali, pria itu dibuat sangat senang saat dokter mengatakan jenis kelamin anak-anaknya.
Sebenarnya Chivar tak terlalu menegaskan menginginkan anak laki-laki atau perempuan, apa pun itu akan ia terima dengan suka cita. Meski dalam hati ia berharap jika semua keturunannya adalah laki-laki.
Entahlah, Chivar hanya takut jika dikaruniai anak perempuan.
"Si kembar lengkap, Bun. Ada cewek sama cowok. Selamat, ya."
Baaah ... bahkan suara dokter Amira yang tadi siang berkumandang santai, masih menari-nari di kepala. Chivar tak bisa menyembunyikan raut bahagia saat merasa dirinya seberuntung itu. Baiklah, setelah ini Chivar akan makin getol beramal sambil mendalami ilmu agama. Agar saat anak-anaknya lahir, ia tak hanya menjadi sosok ayah yang hebat, tetapi juga bermanfaat. Rasanya tak lucu jika ia tak tahu saat anaknya bertanya tentang surat ayat kursi.
Namun, meskipun memiliki pemikiran positif, Chivar meminta waktu sebentar untuk menyombongkan hal ini pada dunia. Terutama pada Wira dan Adam yang pasti akan muak mendengar celoteh kegembiraannya.
Ah, terserah Chivar sajalah!
"Ngapain, sih?"
Memasukkan sebiji anggur ke dalam mulut, Webhi yang baru saja bertanya dibuat terkejut saat Chivar malah menaikkan kedua kakinya untuk berselonjor di paha pria itu. Lantas mengernyit melihat layar ponsel yang disodorkan Chivar menampilkan gambar cantik di sana.l
"Bagus, kan, Bhi?"
"Kamu sibuk cari kotak buat foto ini?" Webhi tersenyum sambil mengambil alih benda canggih itu. "Hmmm, bagus banget," katanya memuji dengan senyum tulus. Ia tak menyangka Chivar bisa semanis ini.
Sambil melihat kolom komentar yang dibanjiri emoticon heart serta kata-kata pujian, Webhi yang merasakan pijatan pelan pada pergelangan kakinya beralih menatap Chivar yang sedang tersenyum jemawa.
"Kok, kamu bisa kepikiran ide buat foto gini? Padahal udah telat banget."
Belum sempat pria itu menjawab, sambungan yang berasal dari ponsel digenggaman Webhi meraung. Webhi sodorkan benda itu pada pemiliknya, lalu melanjutkan memakan buah yang selalu tersedia di kamar.
Webhi sempat melihat panggilan itu dari satpam rumah. Namun, saat raut Chivar berubah tak santai, ia mengernyit heran. Lantas menatap pria itu sambil menunggu panggilan terputus.
"Suruh masuk!"
Dan sambungan terputus.
"Ada apa?" Webhi turunkan kakinya, lalu berdiri saat melihat Chivar bangun dengan gerak tak ragu-ragu. "Chi ...?"
"Ardaf di depan." Bisa Chivar lihat wajah sang istri menegang. "Dia mau ketemu kita, tapi kalau kamu nggak mau aku nggak akan izinin dia lihat kamu."
Termenung sebentar, lalu Webhi mengangguk ragu. Ia rasakan usapan lembut ibu jari Chivar di pipinya sebelum pria itu melenggang pergi. Namun, belum benar-benar Chivar keluar tiba-tiba saja Webhi berubah pikiran. Ia rasa tak akan baik jika hanya Chivar yang menemui Ardaf. Ia masih ingat betul pertemuan dua pria itu di rumah Andreas.
"Chi?"
Chivar yang sudah menarik knop pintu, menoleh. "Kenapa?"
"Aku boleh ikut?" tanya Webhi ragu.
Ada jeda untuk belasan detik kemudian. Lantas Webhi yang berinisiatif menghampiri Chivar, sedang menyembunyikan takut dan gugup dengan cara meremas baju hamil yang ia kenakan. Saat sampai di hadapan pria itu, Webhi raih tangan Chivar sebelum mengulas senyum tipis.
"Chi ...."
"Kamu nggak apa-apa?"
Webhi mengangguk pendek. "Selama kamu nggak emosi dan janji sama aku, nggak ada perkelahian di bawah."
Mendesah kasar, Chivar balas genggaman tangan Webhi. "Aku nggak bisa janji." Lalu melangkah membawa sang istri keluar dari kamar.
Selama menuruni anak tangga, bisa Webhi rasakan genggaman di tangannya makin erat. Lantas saat ia menoleh pada pria yang berjalan di sisinya, rahang tegas itu tampak mengeras dengan sorot mata tak bersahabat. Ia hentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Chivar menoleh dengan kening yang menampilkan kerutan.
Mengusap kening Chivar lembut, Webhi tersenyum tipis menatap pria itu. "Bisa kan, nggak harus pakai emosi dulu?"
"Kamu takut aku pukulin dia lagi?"
Webhi menggeleng tenang. "Aku lebih takut anak-anak kita denger Papinya teriak sambil ngomong kasar."
Lalu tatapan Chivar jatuh di tempat yang menanungi anak-anaknya. Ia desahkan napas kasar yang bergemuruh di dada. "Papi usahin buat kalian, ya."
Webhi tersenyum dan kembali berjalan bersama Chivar. Tinggal dua anak tangga lagi terlewati, ia sudah bisa melihat pria yang duduk menunduk dengan tangan yang bertaut di depan. Mendengar langkah kaki yang menuruni tangga, pria itu mendongak sebelum berdiri dengan senyum tipis yang suram.
Hati Webhi mencelus saat melihat Ardaf. Setelah perkelahian di rumah orang tuanya, ini pertemuan pertamanya dengan pria itu. Sudah berbulan-bulan berlalu, kini Ardaf datang dengan perubahan yang membuat hatinya teriris pilu.
Rambut pria itu tampak memanjang. Padahal sebelumnya, Ardaf bukan tipe pria yang senang memelihara rambut. Wajahnya sedikit tirus, kantong mata yang menampiklan pendar lelah membuat Ardaf terlihat memprihatinkan.
"Mau apa lagi?" Tanpa tedeng aling-aling, Chivar lontarkan tanya tak sopan pada tamu tak diundangnya.
Ardaf yang masih terdiam dengan rasa haru melihat wanita yang ia rindukan, mulai menampilkan senyum tipis. Tatapannya jatuh pada perut Webhi yang tampak menunjukkan eksistensi sang bayi, lalu beralih pada genggaman yang bertaut erat.
"Kalian apa kabar?" Ardaf tatap satu persatu sang tuan rumah yang tampak tak sudi duduk berhadapan dengannya. "Bhi ...."
"Kita baik," kata Webhi pelan.
"Aku nggak akan lama di sini, cuma mau tahu kabar kalian."
Chivar berdecih sinis. "Kayak yang lo lihat, gue sama Webhi baik-baik aja. Udah, kan?"
"Hm, aku lihat kalian baik-baik aja." Ardaf tarik sudut bibirnya agar membentuk senyum tulus. "Aku juga mau minta maaf. Maaf buat kamu, Bhi. Juga buat kamu, Var."
Mereka bertiga terdiam setelahnya. Sama-sama tenggelam dalam hening dan waktu yang terus bergulir. Sampai salah satu dari mereka membuang wajah dan mengusap kasar. Ardaf tak menyangka pertemuan itu akan membuatnya seemosional ini. Jadi, untuk tak memperpanjang konfrontasi yang mungkin tak terlalu berakhir baik, ia hela napas sebelum melihat pasangan itu lagi.
"Terutama sama kamu, Bhi. Mas minta maaf." Ardaf alihkan tatapan pada pria tinggi di samping Webhi. "Sama kamu juga, Var. Aku minta maaf."
Ardaf melangkah mendekat, bukan untuk menjabat tangan pasutri itu. Ia hanya ingin lebih dekat menatap Webhi. Mungkin jika tak ada Chivar di sana, ia tak akan berpikir dua kali untuk berlutut mengiba dimaafkan. Namun, ia tak bisa melakukan hal itu saat ada harga diri seorang lelaki yang masih ia jaga.
"Mas pamit, ya. Makasih buat waktunya."
Tak ada yang menyahut. Dua orang di depan Ardaf kompak membisu. Jadi, demi menyudahi sakit yang kembali mengiris hati, Ardaf bawa langkah lebarnya menuju pintu utama. Namun sebelum itu ....
"Mas Ardaf?"
Pria itu menoleh cepat, Ardaf sorot wanita yang masih setia menggenggam tangan sang suami. Lantas senyum teduh yang tulus itu kembali ia dapatkan. Binar mata yang indah mulai menenggelamkannya lagi dalam lautan sesal.
Webhi makin mempernyata senyumnya sebelum berujar, "Hati-hati di jalan, Mas."
Ardaf mengangguk yakin sebelum melempar senyum tipis dan keluar dari kediaman mewah Chivar. Setidaknya ia pulang dengan hati yang sedikit lega karena tak mendapat penolakan saat ia mengutarakan permohonan maafnya. Tak apa jika belum diterima. Mungkin waktu yang akan menjawab semua.
Baiklah, Ardaf hanya pria biasa yang salah menindaklanjuti cinta. Jadi, biarkan dia menikmati lukanya tanpa disebut sebagai Rahwana.
Ardaf, Sayang akuu. Sini-sini obati lukanya sama aku😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top