83• (Real) Wedding #2
Ges, vote dulu dung.
Makasih💙
Ardaf tak diundang.
Bukan, lebih tepatnya pria itu dilarang untuk datang. Saat orang tuanya menyinggung acara resepsi di Bali, Ardaf tak terlalu menanggapi meski dalam hati ia harap kesempatan itu bisa membuatnya bertemu Webhi. Lantas saat sang ibu dengan raut tak enak menyarankannya untuk tak ikut serta, Ardaf harus bagaimana selain menerima dengan lapang dada.
Namun, gejolak ingin melihat wanita yang amat ia rindukan benar-benar tak bisa diabaikan. Jadi, dengan mengkamuflasekan diri sebagai salah satu tamu hotel, Ardaf yang saat ini berdiri di balkon kamar sedang tersenyum. Ia sengaja meminta kamar yang memiliki balkon menghadap ke arah venue. Kamar hotel di lantai tujuh tersebut memiliki lokasi strategis dengan tempat acara Webhi.
Mata Ardaf terus berpusat pada wanita cantik yang memakai wedding dress berwarna putih. Senyum yang tak bisa Ardaf lihat secara jelas sudah menegaskan jika Webhi benar-benar bahagia dengan pilihannya. Jadi, ia tak akan berbuat lebih jauh lagi meski hatinya saat ini sedang merintih.
Tak apa, Ardaf harap lambat laun semua akan kembali baik-baik saja. Lantas sapuan waktu yang menggulung sesalnya akan mengiba, memohon agar semesta mengobati lukanya.
Mengalihkan atensi dari kerumunan manusia yang berkumpul di tengah venue outdoor dekat bibir pantai, Ardaf menoleh pada pintu kamar yang diketuk tak sabar. Langkahnya terayun santai menuju benda itu, membukanya mantap sebelum menemukan wanita manis yang mengenakan dress selutut berwarna babyblue.
"Pak, ini beneran saya meeting pakai baju ini? Lebih cocok buat kondangan nggak, sih?"
Ardaf tersenyum, lalu menggeser tubuh agar Olin yang sengaja ia seret untuk ikut, masuk ke kamar. Harusnya Ardaf tak melibatkan orang lain untuk menjalankan ritual patah hati karena menyaksikan seindah itu resepsi Webhi.
Namun, pria itu terlalu pengecut untuk menenggelamkan rasa bersalah seorang diri. Jadi, dengan dalih ada pekerjaan di Bali, ia bawa Olin untuk menemani. Menghadiahkan wanita itu gaun yang menjadi dresscode di hari bahagia Webhi.
Apa Ardaf akan nekat datang?
Tentu saja tidak. Ia tak ingin merusak kebahagiaan Webhi dengan mengulas kenangan buruk malam itu. Biarlah, nanti saja Ardaf kejar maafnya. Untuk saat ini ia ingin menikmati aura bahagia dari wanita yang pada akhirnya akan selalu disebut sebagai adik.
"Eh, ada yang nikahan ya, Pak?" kata Olin lagi saat mengikuti Ardaf menuju balkon. "Omong-omong kebetulan warna dress saya mirip dresscode tamu undangan. Kalau kita ke sana pasti dianggap salah satu tamunya, Pak. Lumayan bisa makan geratis." Olin terkikik geli melihat pria di sampingnya menggeleng sebelum menarik napas panjang.
"Saya bohong, Lin. Kita nggak ada meeting di sini."
Olin menoleh dengan kening mengernyit. Mereka sudah berdiri bersisian dengan tangan yang masing-masing memegang pembatas balkon.
"Maksud Bapak?"
Ardaf hanya menggeleng. Sorot matanya terus disita oleh ratusan orang di sana. Namun, yang ia tuju hanya satu saja. Wanita yang sejak tadi tak lepas melingkarkan tangan pada lengan seorang pria. Meski tersenyum melihat Webhi menemukan kebahagiaannya, Ardaf tak bisa mendustai hati yang sedang terluka parah.
Luka karena ulahnya masih basah.
Dan kini kembali berdarah.
"Astaga!"
Lantas atensi khidmat Ardaf harus terbagi saat wanita di sampingnya terdengar memekik.
"Bapak nggak akan aneh-aneh, kan?!" sambung Olin sambil menutup dada. Kakinya refleks mundur, lalu matanya melayangkan tatapan ngeri pada Ardaf.
Pria itu malah tertawa kecil melihat ada saja tingkah wanita yang beberapa minggu lalu sudah sah menjadi sekretaris tetapnya. Ardaf kembali memberi atensi pada venue sambil berujar, "Saya nggak akan apa-apain kamu." Mungkin tingkah Olin juga yang membuat ia memiliki ide membawanya. Ardaf pikir tingkah wanita itu sedikit menghibur.
"Terus kalau nggak ada meeting kita ngapain ke Bali, Pak? Terus saya disuruh pakai baju ini pula." Olin masih menatap pria yang terlihat tak mengindahkan kebingunganya. "Astaga, Bapak mau PDKT sama saya?"
Kali ini Ardaf tak bisa mengabaikan ucapan Olin. "Jangan ngaco kamu!" katanya setengah tak percaya dengan persepsi wanita tersebut.
"Terus ini apa maksudnya, Pak? Wah ... nggak boleh gini ... nggak bisa gini!" Olin keluarkan suara decak samar untuk lelaki itu. "Bapak nggak boleh baperin perempuan kalau nggak bisa kasih kepastian. Lagi pula saya udah punya pacar. Jadi, Pak Ardaf mending mundur teratur ajalah!"
Lantas Ardaf tak tahan untuk tak memutar bola matanya. Ia tak pernah menghadapi wanita seperti Olin sebelumnya. Jadi tak tahu langkah apa yang harus ia ambil untuk membuat pikiran wanita itu tak melanglang buana.
"Baru pacar, kan? Bisa aja putus." Ardaf berujar asal.
Sedangkan Olin ternganga tak percaya. "Bapak nyumpahi saya putus sama pacar saya? Wah, kalau ayah saya tahu dia pasti bakal marah. Pacar saya menantu idaman. Dia PNS, Pak."
Lantas Ardaf hanya tertawa mendengarnya. "Terserah kamu ajalah, Lin. Saya pusing nanggapinya."
"Sama. Saya juga pusing sama Bapak." Olin kembali berdiri di samping Ardaf. "Tapi kalau Bapak mau nikung nggak apa-apa, kok. Mumpung saya masih pacaran, nanti kalau udah nikah dosa. Lagian nggak lucu, masa CEO muda plus ganteng jadi pebinor." Lalu terkikik melihat ekspresi Ardaf yang tak bisa berkata-kata.
"Ide bagus kan, Pak?" lanjut Olin jenaka.
"Kamu mending diem, Lin!"
"Oh, baik, Pak."
Namun 15 detik kemudian.
"Kira-kira itu nikahan siapa, ya? Bapak mau ke sana, nggak? Kita pura-pura aja jadi tamu. Kalau ditanyai undangan, bilang lupa atau ketinggalan. Omong-omong saya belum makan siang. Ini udah jam tiga sore, loh. Bapak nggak ada pengertian, saya diburu-buru pakai baju ini padahal kita baru sampai setengah jam lalu di hotel. Terus ... astaga! Apa jangan-jangan itu resepsi mantan pacar Bapak, ya? Yaolo Kasian--"
Lantas Ardaf yang tak tahan lagi, menarik tangan Olin cepat. Berjalan keluar kamar untuk memberi wanita itu makan di restoran hotel. Ia tak mau mengambil risiko membuat kepalanya pecah mendengarkan keluhan dan ucapan absurd.
Baiklah, Ardaf mulai menyesal membawa Olin.
***
Jika Zoya sedang sibuk berkeliling mengeksplor tempat resepsi, hidangan yang tertata cantik di atas meja prasmanan, sampai seluk beluk kursi tamu dengan kamera. Maka Zeya memilih duduk manis di salah satu kursi, lalu menikmati gejolak aneh di dalam hati sambil memandang pria yang tak banyak bergerak menikmati musik dari band pengisi acara.
Dua mempelai sedang berdansa santai di atas stage kecil di sana dengan diiringi lagu romantis. Beberapa keluarga Andreas dan Adhitama ada yang mengobrol, ada pula yang memilih menikmati hidangan dan segala acara yang telah dipersiapkan. Namun Zeya, sudah setengah jam memusatkan perhatian pada Devan. Pria itu hanya tersenyum tipis kala ada sesuatu lucu yang menarik atensi.
"Samperin dong, Ze. Jangan dipandangin terus!"
Zeya menoleh, mendapati sahabat kakaknya yang hari ini memakai kemeja biru muda berjalan mendekat. Kemudian, kembali memberi atensi pada Devan yang tak menoleh sedikit pun pada tempatnya.
"Jadi, udah putar haluan nih, nggak ngejar-ngejar Adam lagi?" Wira duduk di samping Zeya sebelum membersit geli melihat gadis berusia 17 tahun itu cengengesan.
"Bang Sweety susah dideketinnya, Bang," kata Zeya pasrah.
"Iya. Adam nggak mikirin pacaran, soalnya lagi menjalankan misi."
"Misi apa, Bang?" sahut Zeya penasaran.
"Misi mencari Siti Hawa yang hilang di gurun Sahara."
Mendengkus mendengar lelucon Wira, Zeya alihkan lagi atensinya pada Devan. Harusnya ia sudah tahu pria itu tak pernah serius dalam hal apa pun.
"Itu adeknya Webhi, kan?" tanya Wira saat melihat pemuda yang menjadi pusat perhatian Zeya.
"Iya. Manis ya, Bang?"
"Manisan juga es sirop," balas Wira sambil menyambar gelas berisi minuman rasa buah di atas meja yang tak jauh darinya. "Ajak ngobrol dong, Ze. Masa muda jangan dibuat curi-curi pandang terus. Samperin, ajak ngobrol, terus tembak. Gitu aja masa nggak bisa."
Zeya kembali mendengkus saja. "Bang Wira mending diem ajalah!" gerutunya mulai kesal. "Oh, iya. Bang Sweety di mana? Zeya belum lihat dari ketemu di hotel tadi."
"Adam lagi terima telepon." Wira habiskan minumannya sebelum menoleh pada Zeya. "Samperin gih, nanti Abang kasih hadiah kalau kamu berani ngobrol sama dia."
Zeya tersenyum sambil menyampirkan anak rambut ke belakang telinga. "Zeya malu, Bang."
"Dih, sok-sokan. Sekarang aja malu-malu kucing, giliran di depan Adam ngereog mulu."
Bukan kesal Zeya malah terkikik geli mendengar sindiran itu. "Beda lagi, Bang. Kalau sekarang Zeya beneran falling in love with him," katanya sambil menunjuk Devan dengan dagu.
Giliran Wira yang mendengkus kasar. "Sana samperin! Biar ada momen tak terlupakan di sini."
"Harus ya, Bang?"
Wira mengangguk meyakinkan. "Kalau dia nggak mau diajak ngobrol, ajak check in di hotel."
Zeya layangkan tatapan tajam pada pria yang saat ini tertawa geli. "Zeya laporin Bang Chivar ya, Bang Wira ngomong itu."
"Ck, dasar bocah mainnya aduan," cibir Wira malas. "Udah sana! Kalau berhasil ngobrol lima menit sama dia, Abang kasih nomor Adam."
Wajah Zeya berubah antusias. "Beneran?!"
"Iya!"
Kemudian dengan langkah ragu, Zeya berjalan menghampiri Devan. Namun, saat sampai ia malah merasa kebingungan, lalu untuk beberapa detik gadis itu berdiri kaku di belakang pemuda tersebut sebelum memberanikan diri mengisi kursi kosong di samping Devan yang sedikit terkejut. Sayangnya baru tiga menit di sana, Zeya harus menelan kecewa karena Devan memilih beranjak dan pergi menjauhinya.
Hah! Salahkah saja Wira yang saat ini malah tertawa.
***
Sepertinya resepsi Webhi akan menjadi saksi beberapa kisah baru dimulai. Dan tentu saja, banyak awalan yang pasti memiliki kesan. Namun, tak apalah!! Serahkan semuanya pada Sang Esa yang pandai memainkan takdir manusia.
Jangan mengeluh jika nanti dihadapkan kegagalan karena sebenarnya jalan kehidupan sudah ditentukan. Sebab beberapa orang bilang, takdir punya cara unik menjemput pemiliknya. Jadi, sekarang berdoa saja yang baik-baik, berharap diujung jalan ada sesuatu yang menarik.
"Aku pernah lihat kamu sama Jun."
"Terus?"
Jika kebanyakan keluarga Andreas dan Adhitama sedang bersuka cita menikmati hari bahagia salah satu anggota keluarganya, maka Naren dan Sabil memilih membelot dari acara dan menikmati debur ombak yang menyapu bibir pantai.
Keduanya berjalan bersamaan dengan kaki telanjang. Mengobrol hal-hal yang jauh dari kata indah karena sejak tadi hanya nada sinis yang dikeluarkan sang wanita.
"Kamu ada hubungan sama dia?" Naren berdeham. Padahal sejak awal Chivar sudah memberitahu jika Sabil tak jauh beda dengan Webhi yang sulit didekati.
"Nggak." Sabil menjawab setengah hati.
Acara ingin menyendiri sambil menikmati keindahan laut berpadu dengan senja, harus terganggu dengan pria yang tiba-tiba saja memanggil namanya. Lantas saat mengingat sesuatu, matanya refleks memutar malas. Pria itu yang seminggu ini menerornya lewat chat dan DM.
"Kamu masih sendiri, kan?" Naren tak pandai mendekati wanita. Jadi, ia sebutkan saja alasan kenapa dirinya di sana.
"Aku nggak pernah hidup sendiri. Ada keluarga aku."
"Eh ... maksud aku--"
"Kamu mau PDKT sama aku?" todong Sabil tak sabar. Sejak tadi pria itu terlihat begitu gugup saat bicara. "Mau serius atau cuma nyoba-nyoba?"
"Eh ...."
"Kalau mau kenal doang nggak usah chat tiap malam. Kalau mau serius, mending dateng ke rumah. Aku nggak bisa kalau basa basi PDKTan gini."
Naren terdiam mendengar itu. Tangannya yang berada dalam saku celana bahan mulai mendingin. Mendekati wanita saja masih digurui Chivar, lalu sekarang disuruh datang ke rumah wanita yang sebenarnya sudah lama menjadi incaran. Bahkan jauh sebelum pernikahan Chivar dan Webhi dilaksanakan.
"Nggak apa-apa kalau kamu mau kenal deket sama aku, cuma jangan kasih harapan kalau kamu nggak punya tujuan."
Dan siapa pun, tolong bantu Naren untuk mengatakan sesuatu karena sekarang ia malah menjadi bisu.
Ah, pria tampan ini masih terlalu lugu.
Narendha Adhitama. (Naren)
Arsyabil Deanaru Andreas. (Sabil)
Caroline Adifsah. (Olin)
___________________
Sebenernya Olin itu saya, loh. 😌
Cuma foto saya masih dicuci, jadi pinjem visual Mbak Yuna ajalah.
Gak ada miripnya sih, tapi yaudalah.
Ututututu ... Zeyaa sini sama Teteh aja mainnya. Devan gak jauh beda sama Webhi juga Sabil.
Andreas ini keturunannya harus dpt pendamping yg agak somplak biar gak lurus aja idupnya. Wkwkwkw.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top