82• (Real) Wedding #1

Sebutannya ikhlas.
Bukan tentang tersenyum tulus setelah berhasil merelakan. Namun, ini tentang fase tersiksa, terpaksa, lalu terbiasa.

Semburat jingga yang memayungi langkah pasrah seorang pria, menjadi saksi bagaimana sesal mampu membuat hati bak tertusuk belati. Tarikkan napas panjang tak pelak membuat dadanya merasa lega. Justru sesak yang begitu menyiksa kian memenjara jiwa. Lantas Ardaf tengadahkan kepala, menatap sekilas langit sore yang sedang mempertontonkan warna menyala.

Setengah jam lalu, pria itu menyambangi kediaman Webhi. Mencoba bertemu sang adik demi menggaungkan sesal yang terus meremat sanubari. Namun, saat sang ibu mengatakan jika Webhi tak ingin dikunjungi, Ardaf bisa apa selain diam menyembunyikan pedih.

Kemudian, sambungan itu terputus. Setelah ibunya menyuarakan keadaan Webhi yang baik-baik saja, Ardaf lajukan roda empatnya menjauh dari sana. Sekarang, tanpa tujuan dan hati yang gamang, kakinya memijaki paving block yang membuat jalan setapak mengarah pada danau kecil. Dengan tangan yang bersembunyi ke dalam saku celana, netra segelap malam itu menatap kosong pemandangan di depan.

Lantas saat embusan napas resah Ardaf keluarkan, rasa bersalah kian menggerus ketenangan. Sekarang ia benar-benar sadar, dirinya sudah kalah tanpa perlawanan.

****

Bukan sedang mengudara bersama balon raksasa sambil menikmati langit cantik Cappadocia, bukan juga tertidur manja dalam hotel mewah di Burj Khalifa, apa lagi mengenakan baju ihram sambil mengitari Ka'bah. Chivar belum diberi kesempatan untuk menjejaki kaki di negara-negara impiannya.

Namun tak apa, hari ini ia masih dilimpahi rasa bahagia. Sebab bukan destinasi indah yang membuat hatinya cerah, tetapi keberadaan sosok wanita berperut buncit itu yang menjadi alasan senyumnya terus merekah.

"Duduk aja, ya! Jangan terlalu banyak gerak."

Memilih Jeeva Resort sebagai tempat berlangsungnya resepsi kedua, saat ini Chivar dan Webhi sedang berada dalam suite room di salah satu hotel berbintang di Bali. Tepatnya di Blahbatu, Gianyar. Tempat pilihan Kakek Sigit yang nyaris terkena penalti dua kali itu, berada di dekat bibir pantai. Venue outdoor yang akan menampung kisaran 350 orang pun, berlokasi dekat dengan panorama memukau yang disuguhkan kota seribu pure tersebut.

Sambil mengganti heels setinggi 12cm yang baru saja dikomentari Chivar dengan wedges yang hanya memiliki tinggi kurang dari 5cm, Webhi mengangguk saja mendengar perintah Chivar yang ke 7 atau mungkin 8, 9, 10 ... ah, entahlah! Webhi mulai pusing jika pria itu dalam mode cerewet.

Berjongkok membantu mengikat tali yang menjadi alas kaki sang istri, Chivar yang hari ini memakai tuxedo berwarna putih tulang kembali berujar, "Nanti kalau dirasa capek, nggak nyaman, atau bete, bilang ke aku, ya. Mereka pasti ngerti, kok."

Webhi hanya tersenyum melihat dan mendengar bagaimana pria itu terus menyerukan kekhawatiran dan perhatian. Ia yang hari ini menggunakan dress berwarna senada dengan jas sang suami, sudah sejak semalam dijejali ultimatum yang masih saja Chivar ulang-ulang.

Jangan banyak berjalan-jalan, perhatikan apa saja yang dimakan, jangan terlalu capek, dan bahkan Chivar dengan seenak jidat menyuruhnya untuk mengabaikan tamu undangan jika dirasa tak kenal. Webhi memang tak terlalu suka bersosialisasi, tetapi usulan Chivar yang terakhir benar-benar tak patut diapresiasi. Ia sudah pasti tak mengenal sebagian besar tamu undangan, karena resepsi ini diadakan untuk menebus rasa bersalah Kakek Sigit mengingat resepsi pertama tak bisa mengundang kerabat mendiang istrinya. Sementara dari keluarga Andreas hanya orang-orang terdekat saja.

"Bajunya nyaman kan, Bhi?"

Webhi mengangguk sambil merapikan rambut Chivar yang masih setia berjongkok di depannya. "Rambut kamu nggak pakai gel?"

"Nggak usahlah! Kenapa, kamu nggak suka?" Chivar berdiri, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebentar. "Aku takut, Bhi," lanjutnya serius.

"Takut apa?"

"Takut terlalu ganteng," sahut Chivar dengan wajah yang masih serius.

Dengkus geli meluncur dari mulut Webhi. Ia berdiri dari kursi rias, menilik penampilan yang kata Chivar bak Princess Aurora yang akan menikah dengan Pangeran Philip. Padahal hingga saat ini Webhi tak tahu saja, nama apa yang tersimpan untuk nomor teleponnya di ponsel Chivar.

Dua orang yang membantu mereka mempersiapkan diri, sudah pergi beberapa menit lalu. Kini mereka sudah siap menuju venue yang pasti sudah ramai dengan sanak saudara dan para tamu.

Berjongkok menyamakan wajah pada perut buncit wanitanya, Chivar tersenyum tiap ingin bicara pada anak-anak mereka. "Nanti kalau kalian ngerasa nggak nyaman, berulah aja, ya. Nggak apa-apa kalau kalian bikin Mami sedikit pusing atau mual."

"Kamu doain aku sakit!"

Chivar terkekeh sebelum menegakkan tubuh dan memberi kecupan di kening sang istri. "Aku dari semalam khawatir, Bhi. Takut kalau kamu sama si kembar capek."

"Aku nggak apa-apa. Nanti kalau ngerasa nggak nyaman, aku bilang ke kamu."

"Bener, ya!" Chivar memperingatkan tegas.

Webhi mengangguk meyakinkan. Baru saja hendak mengajak Chivar keluar, bunyi bel yang terdengar dari pintu kamar membuat mereka menoleh bersamaan. Mereka pikir, mungkin itu salah satu anggota keluara yang ingin memeriksa kesiapan.

Chivar yang langsung beranjak, membuka pintu dengan mantap sebelum menemukan satu lagi wanita Andreas. Sabil tanpa raut ramah tamahnya berdiri di sana, memegang satu buket bunga Lily of The Valley. Kemudian, menyodorkannya pada Chivar tanpa mengubah sedikit pun ekspresi wajah.

Ck, cewek Andreas emang horor-horor ya, auranya.

"Tante Lulu juga nitip pesen, kalau kalian udah siap langsung turun aja," kata Sabil tanpa basa basi.

"Oh, oke. Aku sama Webhi udah siap, kok. Ini baru mau turun." Chivar ambil bunga yang disodorkan Sabil. Lantas saat melihat wanita itu mengangguk pendek, ia menyeringai tipis sebelum berujar, "Naren udah hubungi kamu belum, Bil?"

Sabil mengernyit, lalu melebarkan mata tak percaya. "Jadi kamu yang kasih nomor aku ke dia?!"

Menyengir singkat, Chivar mengangguk tanpa beban. "Omong-omong makasih, ya, buat bunganya! Aku masuk dulu." Lalu menutup pintu buru-buru sebelum ditodong kekesalan wanita itu.

"Itu suara Sabil, kan, Chi." Memeriksa sekali lagi tampilan dalam cermin, Webhi menoleh pada pria yang kembali masuk. Keningnya dibuat mengernyit melihat tangan Chivar menggenggam satu buket bunga yang sangat ia kenali jenisnya. "Chi ...."

"Kata Sabil ini bunga kesukaan kamu, kan?" Memberikan bunga tersebut tanpa adegan drama berlutut, Chivar tersenyum kala menangkap garis tipis di bibir Webhi yang menciptakan binar indah pada sepasang manik karamel favoritnya. "Suka nggak bunganya? Aku suruh Sabil pesen seminggu sebelum ke sini."

Webhi mengangguk. Sebelah tangannya yang bebas mengusap perut. Kegiatan yang menjadi kebiasaan kala ia merasakan sesuatu yang membuat emosional. "Makasih," katanya tulus sambil menatap pria yang tersenyum padanya.

Meraih tangan Webhi lembut, Chivar mengajak wanita itu keluar dari sana. Sambil mengusap punggung tangan yang terselip di lekukan lengannya, pria itu berjalan menuju elevator yang akan mengantarkan mereka pada lobby hotel.

"Kata Sabil, waktu resepsi pernikahan kita yang pertama kamu juga pesen bunga itu. Tapi nggak kamu pakai. Kenapa, Bhi?" tanya Chivar sambil memasuki ruang seluas 2×2 meter yang pintunya baru saja terbuka lebar.

Webhi masih tersenyum menatap buket cantik berhias bunga berbentuk lonceng. Ia kembali mengingat kejadian yang baru saja disinggung Chivar sebelum memberi atensi pada pria itu.

"Kamu tahu arti bunga ini, Chi?"

Chivar menggeleng saja. Ia tatap pantulan sang istri yang begitu cantik memakai gaun putih sebatas lutut dengan perut buncit yang menyimpan buah hati mereka, dalam tembok besi di hadapannya. Lantas menoleh, menjatuhkan tatapan pada wanita itu.

Webhi kembali menatap buketnya dengan senyum tipis. "Mereka melambangkan, cinta, kemurnian, kesucian, dan keibuan. Bahkan beberapa negera memakai mereka sebagai simbol menyambut sesuatu yang akan lahir. Entah kelahiran manusia atau peraturan baru. Berharap kelahiran itu bisa membawa kedamaian."

Chivar makin tersenyum saja. "Jadi kenapa kamu waktu itu nggak pakai?"

"Karena saat itu pernikahan kita nggak punya makna tersebut." Webhi lihat lagi wajah sang suami. Ia suka saat iris gelap itu memakunya, mengabarkan seolah ia adalah pusat dunianya. Jadi seperti inikah rasanya saling mencinta?

"Sekarang aku rasa semuanya ada, Chi." Webhi berseru tanpa ragu.

Chivar mengangguk sambil tersenyum. Ia angkat tangan yang setia diusap-usap, mengecupnya berkali-kali sebelum mereka benar-benar keluar dari sangkar besi. Setelah pintu di hadapan mereka terbuka, keduanya melangkah mantap menuju salah satu tempat yang akan menjadi saksi ikatan suci pernikahan mereka.

"Tapi kamu juga harus tahu, Chi."

"Apa?" sahut Chivar sambil terus berjalan bersama mempelainya.

"Bunga ini juga berbahaya. Ada racunnya."

"Eh, beneran? Terus nggak apa-apa dipegang sama orang hamil kayak kamu?" Chivar seketika menghentikan langkahnya, lalu menatap horor bunga yang sempat ia puja.

Sementara Webhi hanya tertawa geli. "Nggak, kok. Aman asal nggak aku makan, pasti aman."

"Dih, udah belajar ngelucu." Chivar berdecak pelan sambil kembali berjalan. "Lelucon kamu gelap, aku nggak suka!"

Webhi kembali tertawa melihat reaksi suaminya.

Chivar menyeringai tipis memikirkan sesuatu. "Tapi nggak apa-apa, mungkin simbol beracun itu menggambarkan perasaan cinta kita. Kalau nggak bareng, kita pasti tersiksa. Lama-lama jadi sakit dan menderita. Akhirnya, kita nggak punya pilihan selain kembali bersama dan menghabiskan waktu sampai hari tua tiba."

"Apaan sih, garing!" Webhi membersit geli.

"Krik ... krik ... krik!" ujar Chivar menirukan suara. "Harusnya kaya gitu kalau di konten yutup, kan?" Lalu tertawa saat Webhi mendengkus sebelum ikut terkekeh karena ulahnya.

Ah, mereka bahagia sekali rupanya.

Aku pernah jatuh pada cinta yang berat.

Mengurungku dalam kegelapan yang pekat.

Hingga tanpa sadar, membuat jiwaku sekarat.

Lalu, kubawa dirimu masuk.

Agar lara itu tak lagi menusuk.

Namun, elegi yang kugaungkan membuatmu terpuruk.

Katanya, tak butuh alasan untuk mencinta.

Tak perlu simfoni untuk mendengar syair indah.

Dan tak perlu jadi hebat untuk menaklukan dunia.

Tapi, aku ingin dirimu yang menyembuhkan luka.

Jadi, maaf untuk segala afeksi yang kubalas duka.

Untuk tiap frasa yang mencipta kecewa.

Dan untuk waktu yang menumpahkan air mata.

Sekarang, tolong ajarkan aku membuatmu tertawa.

Azalea Webhi Andreas.

Anggap aja ada si twins dalam perut.
Hihihi, aku suka wedding dressnya.💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top