78• Euforia.
Vote dulu, ya! Baru baca.
Makasih💙
****
Webhi takut ini hanya halusinasi.
Bukan hanya sekali dua kali ia memimpikan Chivar sedang memeluknya, memanggil namanya, bicara pada kandungannya, bahkan berteriak marah dengan sorot kebencian yang menyeramkan. Jadi, saat sosok pria itu berdiri diam menatap dengan mata yang basah, Webhi memilih mundur selangkah. Kemudian, terpejam sejenak demi menjaga kewarasan yang sepertinya goyah karena terlalu merindukan.
Saat kembali membuka mata dengan pandangan yang mengabur, sosok itu masih ada. Berdiri lesu dengan tangan yang setia menempel di tembok kaca. Sambil meremat kaus di bagian perut, perlahan Webhi bawa tungkainya menuju pintu toko. Berharap besar, jika ini hanya halusinasi yang diciptakan delusi, semoga saat tersadar ia sedang meringkuk di atas tempat tidur. Agar raung tangis yang menyesakkan dada hanya ditertawakan oleh suasana temaram.
Tangan Webhi bergerak memutar anak kunci yang menggantung di knop pintu. Membukanya ragu sebelum pria di luar sana, bergerak cepat memasuki toko dengan membawa tubuhnya ke dalam pelukan erat.
"Chi ... ini kamu?" Suara Webhi bergetar saat menghidu aroma itu lagi. Merasakan bagaimana tubuh kokoh itu merengkuh badannya yang ringkih, lalu menikmati tiap embusan napas Chivar yang terasa bergemuruh.
"Aku minta maaf, harusnya aku dengerin kamu dalam keadaan tenang. Aku minta maaf, Bhi." Chivar terkejut saat tangan Webhi mendorong dadanya. "Bhi ...," ia raih tangan yang mulai gemetar itu.
"Kamu butuh waktu hampir dua bulan buat cari aku, Chi!" Memukul berkali-kali dada Chivar sambil tergugu, Webhi gaungkan sesak yang kembali mengusik kalbu. "Kamu butuh waktu selama itu buat peduli--"
Ucapan itu terputus saat ciuman Chivar membungkam bibir bergetar Webhi. Ia tahan tengkuk wanita itu sambil melumat lembut dengan air mata yang tumpah ruah di pipi. Biarlah, Chivar memang secengeng itu akhir-akhir ini. Jadi, saat tangan Webhi melingkari leher dan membalas ciuman, ia tak sanggup meneruskan cumbuannya. Chivar memilih menyembunyikan wajah pada perpotongan leher Webhi sambil terisak lirih.
"Aku minta maaf."
Webhi menggeleng lemah. "Aku yang salah, Chi."
Kali ini Chivar yang merespons dengan gelengan cepat. Ia lepas pelukan itu sebelum menangkup wajah oval Webhi dengan kedua tangan. Membubuhi ciuman bertubi di setiap sisi wajah wanita itu sebelum mendaratkan kecupan penuh rindu pada kening Webhi.
Seolah ada yang mengganjal, Chivar yang baru mengingat sesuatu langsung merunduk. Tangannya turun menumpu di pinggul Webhi sebelum berjongkok untuk memberi kecupan singkat di atas perut sang istri.
"Maaf baru jemput." Kembali berdiri sebelum memeluk Webhi, Chivar tak menyangka dalam keadaan kacau dengan detak jantung yang hampir meledak, ia mampu tersenyum tipis.
Sulit mengungkapkan bagaimana perasaannya saat ini. Beberapa waktu lalu, tepatnya saat Adam melontarkan kalimat mengejutkan, Chivar pulang dengan euforia yang benar-benar mendebarkan. Menyiapkan secepat kilat beberapa barang yang harus dibawa, lalu memerintah Cecep untuk segera mengantarkannya ke Bandara Abdulrachman Saleh secepat yang pria itu bisa.
Selama di pesawat pun, Chivar terus ditodong pemikiran negatif. Ia takut. Takut Webhi tak menerimanya, takut wanita itu sudah terlalu kecewa, dan yang paling ditakutkan, Webhi tak bisa ia temukan. Meski dalam pesan yang ditulis Adam begitu rinci menyertakan alamat dan jalan ke toko bunga Webhi, Chivar masih didesak rasa khawatir jika matanya belum melihat sendiri sosok yang dirindukan.
Sekarang, ketakutan itu lenyap seperti api yang melahap selembar kertas tisu. Masih ada rasa bersalah yang mengganggu, tetapi Chivar merasa bersyukur wanita itu masih menerima pelukan dan kecupannya.
Lantas entah bagaimana ceritanya, saat pelukan itu terlepas cumbuan penuh rindu kembali beradu. Mengantarkan mereka pada kamar kecil yang hanya diterangi cahaya minim. Saling menyentuh untuk memberi makan hati yang terlalu lama dirundung pedih. Mereka ungkapkan semua rasa lewat napas memburu, membiarkan hening yang menyelimuti tahu, betapa mereka saling merindu.
Hingga saat mereka sudah terbaring dalam keadaan yang melelahkan, tangan Chivar perlahan turun menyentuh perut Webhi yang membuncit. Ia tersenyum, memberi kecupan pada puncak kepala Webhi yang bersandar nyaman di dadanya. Ingin bertanya banyak hal tentang makhluk yang wujudnya masih belum terlihat, Chivar mengernyit saat embusan napas teratur menabrak kulitnya.
Webhi tertidur.
Jadi, tak ingin mengganggu lelap si wanita hamil yang mungkin kelelahan meladeni dirinya, Chivar hanya diam saja. Ia lelah, sangat. Namun, untuk terpejam dan menyelam ke dalam mimpi indah, rasanya Chivar akan merugi. Karena demi Tuhan! Yang sekarang ia rasakan bahkan lebih indah dari mimpi terindah yang pernah ia alami.
Pada akhirnya, Chivar hanya terus mengusap kulit yang menaungi buah hatinya setelah menarik selimut menutupi tubuh mungil wanitanya.
Ah, Chivar benar-benar jatuh cinta lagi dan lagi.
***
"Kamu bisa dengar Papi, kan? Eh, enaknya panggil apa, ya? Papi, Dad, atau ayah? Ah, Papi ajalah! Papi dan Mami keren, kan?"
Chivar berbisik di depan perut Webhi. Sudah mengenakan kemeja yang semalam dipakai--karena tak membawa sepotong baju pun saat pergi--pria itu menunduk, memberi kecupan-kecupan seringan kapas di atas permukaan perut yang dilapisi selimut halus.
"Iya, ini Papi," katanya lagi sambil menahan senyum karena geli sendiri. "Nanti kalau Mami udah bangun, kita ngobrolnya nggak usah bisik-bisik tetangga kayak gini. Lagian Papi bukan Elvi Sukaesih." Kali ini Chivar tak tahan untuk tak terkekeh kecil.
"Nanti, ya. Mami masih tidur soalnya."
Sambil menumpu kepala dengan sebelah tangan, Chivar yang sengaja menyejajarkan wajah di perut Webhi terus tersenyum layaknya pria idiot yang tak sengaja memenangkan undian lotre. Ini masih terasa mustahil. Jangankan memiliki anak, bahkan Chivar sempat pesimis bisa menaklukan hati Webhi yang sulitnya setara dengan melewati benteng Takeshi.
Mulai terkikik dengan susunan kalimat di otak, Chivar mengernyit saat mendengar isak kecil wanitanya. Ia mendongak dan terkejut melihat wajah Webhi yang sudah banjir air mata.
"Eh, kenapa nangis?" Chivar beringsut, mendekap Webhi yang makin menangis tersedu. "Jangan nangis, nanti babynya ikut nangis, Bhi," katanya menenangkan.
Webhi menggeleng karena tak mampu berkata-kata. Jadi benar ini bukan mimpi? Pria yang sedang bicara padanya bukan ilusi yang akan hilang saat ia panggil, yang akan melebur seperti bias cahaya yang menembus air. Webhi takut. Bahkan setelah dekapan erat itu memenjara tubuhnya, ia masih merasa takut.
"Bhi?" Mengusap air mata yang terus saja berlinang, Chivar daratkan kecupan lembut di kening Webhi. "Kenapa?"
"Kamu nyata kan, Chi?"
Chivar terdiam. Ia tak tahu, kenapa pertanyaan itu seperti menekan dadanya. Sorot cemas berpendar rasa takut itu benar-benar menusuk hati. Lantas saat merasakan tangan Webhi meremat erat kemejanya, Chivar hanya mampu memberi ciuman lembut di atas bibir wanita itu. Menjawab keresahan Webhi yang meragukan dirinya adalah sosok yang nyata.
"Aku di sini, Bhi," kata Chivar kemudian. "Maaf." Lalu tersenyum saat Webhi memilih masuk ke dalam pelukannya.
"Sekarang jangan nangis, ya!" Chivar beranjak menyambar kaus yang semalam digunakan Webhi, lalu memakaikannya dengan hati-hati. "Kamu mau sarapan apa? Biar aku cariin."
Webhi hanya menggeleng lemah. Ia tarik kembali pria itu agar berbaring di kasur dan memeluknya lagi. "Nanti aja."
"Kamu belum laper?"
Webhi menggeleng sebelum mendongak menatap wajah pria itu. Lantas tersenyum merasa tangan yang ia gunakan menyentuh wajah Chivar, mendapati kecupan bertubi.
"Kamu udah laper, Chi?"
"Belum, sih. Aku cuma khawatir kamu sama babynya. Siapa tahu dia udah laper," kata Chivar sambil mengusap pelan perut Webhi. "Kamu udah laper belum, Sayang? Mau sarapan apa hari ini? Biar Papi beliin," sambungnya seraya berbicara pada anak dalam kandungan Webhi.
Tanpa sadar Webhi tersenyum. Nyaris terkekeh saat dalam mimpi pun Chivar memang seperti ini. Ia biarkan pria itu terus bicara pada anak mereka, merasakan kecupan sayang yang membuat hatinya menghangat. Kemudian, Webhi teringat sesuatu. Ia tak merasa mual sedikit pun pagi ini, bahkan pening yang menyiksa saat membuka mata saja lenyap entah ke mana.
"Kamu jangan marah sama Papi, ya. Mami kamu yang pergi dari rumah dan nggak bisa dihubungi."
Webhi mendengkus saja mendengarnya.
"Nanti kamu--"
"Bukan kamu, Chi." Webhi berhasil menarik atensi pria itu. Tersenyum saat melihat kernyitan samar di kening Chivar, ia usap rambut hitam legam milik suaminya. "Ganti pakai kata kalian."
Chivar makin mengernyit tak paham. "Kok, kalian? Maksud kamu ... astaga! Dia ... maksud aku, di sini ...." Ia refleks memegang perut Webhi. "Nggak cuma satu?"
Webhi mengangguk pendek.
"Kembar, Bhi?!" Chivar memekik. "Oh, shit! Eh, maksud aku astagfirullah ... eh, bukan! Masyaallah!"
Webhi tertawa melihat reaksi Chivar.
"Berapa, Bhi? 2, 3, 4, 5, 6, atau ... awh!" Chivar meringis merasakan bisepsnya dicubit keras. Kemudian, tertawa kecil melihat wajah kesal Webhi. "Kembar dua, Bhi?"
Webhi mengangguk antusias.
"Masyaallah ... makasih, Bhi! Makasih banyak!" Chivar bawa tubuh wanita itu ke dalam pelukan erat. Membubuhi kecupan di puncak kepala Webhi dengan rasa suka cita. "Astaga, aku hebat banget, ya, Bhi? Sekali tanam langsung dapet dua." Lantas tertawa mendengar istrinya menggerutu samar.
Ah, biarlah! Chivar hanya sedang bahagia.
_________
Seperti rembulan yang tak selalu setia menemani malam.
Kadang kapal megah nan mewah pun bisa tenggelam.
Bahkan jalan indah di depan mata saja bisa berubah suram.
Jadi, jangan khawatir.
Kita hanya perlu saling menggengam.
Berharap cinta yang diawali keegoisan ini tak akan karam.
_Azalea Webhi Andreas_
Yang belum pollow, bantu pollow dung.✌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top