75• Terkuak. #2

Guys! Vote dulu ya, baru baca.
Makasih💙

_____________
********

"Kalian pasti nggak pernah diajak bicara, kan, sama Mamah? Nggak apa-apa, maklum aja, ya. Mamah kalian kadang suka coseplay jadi patung sejarah."

Kening Webhi mengernyit saat samar-samar mendengar suara bariton yang tak asing di telinga. Matanya perlahan terbuka dan suasana temaran yang selalu menyambut pagi butanya, mulai tertangkap netra.

"Nanti Papah yang bakal sering ajak kalian ngomong. Kalian baik-baik di sana, ya. Papah udah siapin semua kebutuhan kalian di sini! Semua pokoknya! Kita kalahin anaknya sultan Andara, oke! Kalau perlu, Papah beliin kalian pulau di Dubai ... eh, tapi di Dubai emang ada pulau, ya? Ah, nggak jadi pulau, deh. Ribet urusnya. Kita beli heli aja atau kalau nggak jet pribadi."

Webhi perlahan menunduk, melihat rambut hitam legam milik pria yang sedang bicara dengan kandungannya. Bola matanya melebar tak percaya dengan pemandangan itu, lantas rasa haru menyeruak mengantarkan air mata yang benar-benar tak mampu ia tahan.

"Nanti kalian pergi ke sekolah pakai jet. Pamer sama temen-temen kalian, ya. Pokoknya harus sombong kalau punya apa-apa baru! Tapi sebelum beli jet, kita porotin duit Kakek dulu. Nanti kalau hadiah buat kalian bukan jet pribadi, minimal uang yang nominalnya em-eman." Chivar terkikik geli sambil menggesekkan ujung hidungnya di atas perut buncit Webhi. "Jangan mau kalau Kakek cuma kasih tanah yang surat-suratnya belum diurusin, ya. Papah pusing kalau urusin surat tanah."

"Chi ...," panggil Webhi dengan suara yang hampir tak terdengar karena tersedak tangisan.

"Sekarang kalian tumbuh yang sehat, ya. Papah tunggu kalian lahir. Nanti bikin vlog sama Aunty ... eh, panggil Tante, Kakak, atau Mbak, ya? Ah, tanya ke Zoya sama Zeya aja nanti."

"Chivar ...."Webhi susah payah berseru saat tangis yang menyesakkan dada nyaris membuat suaranya tak terdengar. "Chi, kamu ...." Tangan Webhi bergerak untuk menyentuh kepala pria itu. Namun, sosok solid Chivar perlahan menjadi bias cahaya yang seperti menembus ke dalam air.

Kemudian, saat tangannya berhasil memegang bahu Chivar, Webhi justru dihantam kesadaran jika sosok itu hanya halusinasi yang kembali mengisi ruang mimpi. Detik selanjutnya, tangis Webhi makin menjadi-jadi. Raganya tersentak dari tidur dan isak yang memembuat dada sesak, menyeretnya dalam kesadaran penuh jika saat ini ia masih tidur sendiri dengan memakai kaus milik suaminya.

***

"Pak, mobil atas nama Azalea Webhi Andreas ada di daeler Alomhacar di pusat kota. Pemilik dealernya bilang, mobil itu dijual perempuan usia akhir 20 tahunan."

Chivar yang sedang duduk di kursi restoran Adam, seketika menegakkan tubuh mendapat kabar tersebut. "Terus, kamu tahu di mana yang jual mobil itu sekarang?"

"Belum, Pak. Setelah transaksi selesai kita nggak dapat informasi apa pun lagi dari pemilik dealer. Karena mereka juga nggak tahu." Pria dalam sambungan terdiam sejenak sebelum kembali berujar, "Tapi pas saya cek penerbangan ada nama istri Bapak dalam daftar penumpang. Tepatnya tanggal 20 November di jam tiga pagi. Tujuan Bandara Soekarno Hatta."

"Tanggal 20?" Chivar memastikan, lantas mendesah kasar saat pria suruhannya berujar iya. "Kamu yakin?"

"Yakin, Pak."

"Terus cari informasinya sampai ketemu!"

"Baik, Pak."

"Kenapa, Var?" Adam yang meletakkan spageti di hadapan Chivar, mengernyit saat pria itu mendesah frustrasi setelah memutus sambungan. "Ada masalah?"

Dengan enggan, Chivar menggeleng lemah. Entahlah, ia merasa malu saat ingin bercerita tentang Webhi pada dua sahabatnya. Karena sejak mengatakan kalau Webhi memilih pergi meninggalkannya, ia sudah menunjukkan image pria bahagia lahir dan batin.

"Lo beneran nggak lagi cari Webhi, Var?" Wira yang sejak tadi memberi perhatian pada pria tinggi di sampingnya, kini mengernyit saat Chivar mengusap wajah frustrasi. "Tadi lo teleponan sama siapa?"

Hendak menjawab pertanyaan Wira, Chivar kembali memberi atensi pada benda pipih yang berdering. Masih berharap besar itu adalah orang suruhan, tetapi ia dibuat mengernyit saat nama satpam penjaga rumah yang ada di layar ponselnya. Menjawab panggilan itu santai, Chivar makin mengernyit mendengar ucapan Dayat yang terdengar gugup.

"Oke, saya pulang sekarang juga. Suruh dia tunggu di dalam rumah!" Chivar tutup teleponnya seraya menyambar jaket jin di punggung kursi. "Wir, Dam. Sori ya, gue harus balik," ungkapnya buru-buru.

"Ada masalah, Var?" tanya Adam ikut berdiri melihat sahabatnya tampak panik. Sementara Wira hanya melipat tangan di bawah dada sambil menatap mereka berdua.

"Nggak ada! Sori ya, gue cabut dulu!"

Sepeninggalan Chivar, Wira memilih menikmati makanan buatan Adam saja. Toh, ia sudah pusing melihat tingkah sahabatnya yang berlagak biasa saja padahal ia dan Adam tahu, sefrustrasi apa Chivar setelah ditinggalkan. Sebenarnya mereka bisa memaklumi karena kesempurnaan hidup yang selalu disombongkan pria itu tak pernah ada yang meremehkan selama ini. Jadi, saat merasa dipermainkan seorang wanita, gengsi setinggi langit tentu saja melukai harga diri Chivar.

"Sok-sokan nggak apa-apa, kalau dipanggil duda ilegal aja marah-marah," celetuk Wira tak berperasaan.

Adam yang mendengar hanya mengangguk sambil membersit geli. Ia juga sebenarnya merasakan gelagat berbeda dari Chivar yang tak pernah mau jika diajak membahas masalah rumah tangga, hanya saja ia memilih tak terlalu banyak bicara seperti Wira.

***

Memasukkan kereta besinya ke dalam garasi, Chivar langsung mendorong pintu mobil setelah mesin benda itu mati. Matanya langsung melihat roda empat yang beberapa hari menyambangi rumahnya, terparkir di halaman. Lantas menaiki anak tangga menuju pintu utama. Tergesa memasuki rumah, Chivar tak sabar dengan apa yang mau dibicarakan pria itu.

Tadi Dayat mengatakan jika Ardaf kembali mengunjungi rumah dan bersikeras ingin bertemu dengannya. Awalnya Chivar tak ingin meladeni sebelum satpam itu berbicara dengan menyebut nama Webhi. Lantas bagai lempengan besi yang ditarik magnet, Chivar langsung menancap gas mobil menuju arah pulang.

"Ada apa lagi?" kata Chivar saat masuk tanpa basa basi. Bahkan ia tak mau repot-repot duduk di sofa untuk menemani tamu tak diundangnya.

Ardaf bangun dari duduknya. Ia juga tak berniat basa basi bahkan untuk meminum jamuan ART yang baru datang lima menit lalu di hadapannya. "Kita perlu bicara," katanya tanpa emosi tetapi terdengar tegas.

"Apa lagi yang mau lo bicarain?"

"Lo salah paham." Ardaf ambil selangkah mendekat ke arah pria yang bisa ia lihat mudah sekali terbakar emosi. "Lo salah paham tentang malam itu."

Rahang Chivar mengeras dengan tatapan tajam yang jatuh pada pria berkemeja marun itu. Tangan yang menggantung di sisi tubuh mulai terkepal erat, tetapi yang saat itu ia lakukan hanya menghela napas tak kentara untuk menghalau emosi yang menggedor-gedor dada.

"Lo salah paham, Var." Ardaf ucapkan itu dengan nada sesal. "Malam itu gue yang hampir perkosa Webhi--"

"Sialan!"

Bersamaan dengan itu, pukulan keras Chivar mendarat tanpa drama di rahang Ardaf. Lantas menarik kerah kemejanya tanpa memberi kesempatan Ardaf mengontrol mimik keterkejutan.

"Apa yang udah lo lakuin, Setan!"

"Sekarang nggak penting!" Ardaf dorong tubuh Chivar. Ekor matanya melirik pintu yang didatangi sopir dan satpam sebelum mengusap sudut bibir yang terasa asin karena darah. "Sekarang yang penting adalah keberadaan Webhi. Gue belum ketemu titik terang lokasi dia."

Dada Chivar masih turun naik. Hendak melangkah untuk memberi pelajaran lagi, ia memilih menyugar rambut kasar melihat para pekerjanya sudah berada di ruang tamu.

"Gue nggak yakin lo tahu dari Webhi tentang malam itu, tapi kalau lo tahu itu dari Grace lewat video. Itu udah direkayasa. Gue yakin!" Ardaf tatap pria yang makin kesulitan mengontrol emosi. "Gue sebenarnya masih bisa cari Webhi sendirian dan gue masih berharap kalau kalian cerai--"

Memang dasarnya Chivar lebih suka memukul ketimbang bicara jika dalam keadaan emosi, jadi saat Ardaf berujar kurang ajar kepalan tangannya kembali mendarat mulus di wajah pria itu.

"Lo bener-bener bajingan, ya! Lo tahu sebesar apa gue pengin bunuh lo sekarang?!"

"Pak Chivar!" Dayat dan Cecep berujar kompak dengan nada panik. Mereka sudah siaga berada di belakang Chivar. Berjaga-jaga jika sesuatu yang lebih buruk terjadi.

"Gue tahu, gue bajingan!" Sorot mata Ardaf tak begitu menampilkan kemarahan meski napasnya mulai terganggu karena tangan Chivar kembali meremas kerah kemejanya.

"Lo dateng ke sini cuma mau gembar-gemborin keberengsekan lo dan minta gue cerain Webhi, hah?!"

Ardaf tak berniat membalas pukulan itu. Ia sadar dirinya salah. Menerima pukulan dari pria yang wanitanya diganggu, itu hal wajar meski rasa sakit di wajah tak ada apa-apanya, ketimbang sakit di hati saat ia bisa melihat dengan jelas ada cinta yang sama di mata Chivar dan Webhi.

"Gue ke sini mau akuin kesalahan gue. Lo pasti salah paham sama Webhi." Menyingkirkan tangan Chivar, Ardaf embuskan napas kasar. "Kita perlu cari mereka."

"Mereka?" Chivar mengernyit di tengah-tengah mata yang menggelap karena emosi.

Ardaf yang mendapat respon itu pun ikut mengernyit sebelum meludah ke sembarang arah untuk membuang gumpalan darah di dalam mulutnya. "Webhi lagi hamil anak lo," serunya yakin.

Meskipun saat itu sedang dalam keadaan mabuk, Ardaf mengingat jelas Webhi mengatakan sesuatu yang merujuk pada kehamilan.

***

"Mah?"

Pasangan suami istri yang sedang duduk di sofa dalam kamar, menoleh kompak ke arah pintu yang terbuka. Melihat pemuda dengan hoodie kebesaran melenggang masuk menghampiri mereka.

"Kenapa, Dek?" Yazir alihkan atensi dari sang istri yang sibuk mengusap air mata pada putra keduanya. "Sini duduk!" katanya lagi sambil menepuk sisi kosong saat Devan malah terdiam menatap ia dan istrinya.

"Kamu udah makan, Dek? Mamah masih belum nafsu makan. Jadi maaf ya, nggak bisa nemenin kamu makan malam." Lulu berujar setelah mengembuskan napas pasrah.

Devan mengangguk penuh pengertian. Dua hari lalu, ibunya sempat mendatangi rumah sakit karena kondisi kesehatan yang menurun. Dan ia yakin, masalah rumah tangga kakaknya menjadi pemicu stres sang ibu hingga hipertensi yang selama ini diderita, kembali kambuh.

"Mamah udah baikkan belum?" Devan tatap wanita dengan gaun tidur berwarna merah mudah pucat itu.

Lulu mengangguk sambil mengulas senyum tipis pada si bungsu. "Kenapa, Dek? Kamu mau bicarain masalah sekolah?"

Devan menggeleng sebelum menatap sang ayah, kemudian kembali pada ibunya. "Mah, apa mungkin Mbak Webhi pergi ke Tangerang? Sebelum nikah, Mbak pernah bilang kangen rumah kita yang di sana?"

Lantas Yazir dan Lulu yang tak pernah sekali pun terpikir ke arah sana, saling bertukar pandang sebelum kembali menatap Devan.

Kita dikit lagi sampai ke penghujung konflik guys! Selamat yang masih bertahan😭

Kalian kan udah dibuat nano-nano di cerita ini.
Dibuat kesel, udah
Dibuat ngakak, udah
Dibuat jengkel, udah
Dibuat marah, udah
Dibuat baper, udah
Dibuat 🌚, udah
Dibuat mengumpat, udah
Dibuat mewek, juga udah.

Sekarang kita tebak-tebakan yuk. Siapa yang maren dateng ke toko Webhi. Cluenya kan udah jelas tuh lelaki. Ciri-cirinya ganteng, inesialnya O.

See you, selamat menerka-nerka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top