71• Labirin Emosi.
Vote, follow, komen.
Makasih💙
________
****
Takdir memang selucu itu. Baru beberapa menit lalu Chivar merasa beban di hatinya sedikit sirna. Bahkan ia masih belum memikirkan bagaimana kelak hubungan pernikahan ini akan ia bawa. Karena sialnya meski mati-matian mendoktrin hati agar membenci Webhi, justru kenangan manis yang menari-nari menguasai ruang memori.
Lantas sekarang bukan lagi beban hati yang menekan dada, tetapi amarah bercampur rasa takut benar-benar merajam jiwa. Sambil membaca deretan kata di kertas yang tadi tertempel di cermin rias, Chivar duduk dengan perasaan campur aduk karena merasa terjebak dalam dua arus. Disatu sisi perasaan takut mulai menggerayangi hati, tetapi di sisi lain ia seolah menjadi genangan bensin yang disulut korek api.
Semua perasaannya menjadi satu.
Sejak awal aku yang salah. Maaf, maaf, maaf. Kamu mungkin bakal muak baca kata maaf ini. Tapi aku bener-bener minta maaf karena libatin kamu yang nggak tahu apa-apa. Kamu bener, Chi, pada akhirnya aku jadi sosok istri yang egois sementara kamu jadi suami yang banyak berusaha dalam pernikahan kita.
Makasih udah kasih aku rasa percaya, makasih udah menyisakan tempat di hati buat aku masuki. Sekarang, aku bakal berhenti bikin kamu terluka.
Maaf.
Meremas kertas note yang ditulis Webhi, Chivar tertunduk menyembunyikan tangis yang lagi-lagi datang tanpa mampu ia tahan. Apa katanya tadi, berhenti melukai? Bahkan sekarang saja lukanya tergores kembali.
Lantas Chivar harus bagaimana? Ia ingin marah pada Webhi yang dengan lancang meninggalkannya, ia ingin membenci wanita itu karena memasuki hatinya tanpa izin, dan ia ingin marah pada dirinya sendiri karena terlalu jatuh pada seorang wanita yang ternyata tak bisa ia dapatkan sepenuhnya.
Sekarang beri tahu Chivar, bagaimana cara menghentikan tangisnya saat luka yang masih menganga kembali berdarah-darah.
***
Banyak hati yang sedang bermuram durja, ditikam sesal yang diselimuti rasa kecewa. Semua duka menyatu saat ekspetasi yang digantung manusia tak sejalan dengan kehendak Tuhan. Setelah sekian waktu berlalu, ternyata obat dari segala pilu pun tak kunjung ketemu. Karena makin hari lukanya tak jua sembuh.
Ardaf sedang duduk di sofa dalam rumah orang tuanya saat Sabil masuk dengan raut tergesa. Tak hanya ada dia di sana, ibu dan ayahnya yang saat ini memancarkan raut berbeda pun ikut memberi atensi pada wanita muda yang tiba-tiba saja menarik napas setelah sampai di hadapan mereka.
"Sabil?" Lulu lebih dulu menyapa saat keponakannya berdeham gugup.
"Tan, ada yang mau aku bicarain." Sabil berujar sebelum membagi atensi pada dua pria yang ada di sana. "Aku bicarain di kamar aja, ya, Tan," sambungnya memohon.
"Bicarain di sini!" timbrung Ardaf tegas dan ikut berdiri di dekat wanita itu.
Sabil menggeleng pada Ardaf, ia lirik sebentar pria tambun yang masih duduk tenang di sofa meski sorot penasaran terpancar jelas dari balik lensa kaca mata. "Mas ...," ucapnya memberi pengertian.
"Bicarain di sini, Bil. Om udah siap sama kabar apa pun yang kamu bawa." Yazir tutup buku tentang kesehatan yang sedang ia baca sebelum melipat tangan di bawah dada. "Duduk di sini!" perintahnya lembut.
Menatap sebentar pada wanita baya yang sudah memasang raut cemas, Sabil melangkah menuju sofa. Kemudian duduk di sana didampingi Lulu.
Sabil menarik napas lagi sebelum berseru, "Webhi pergi dari rumahnya, Om."
"Ke mana?" seru Lulu terkejut, lalu menoleh pada sang suami yang tak jauh beda dengannya.
"Aku nggak tahu, Tan. Cuma ini ...," kata Sabil sambil membuka pesan dalam ponselnya. Memperlihatkan kalimat singkat yang dikirimkan Webhi untuknya. "Dia cuma bilang gini doang, Tan. Sekarang nomornya udah nggak bisa dihubungi."
"Astaga!" Lulu suarakan rasa khawatir dan perasaan gusarnya lewat tangis.
Menyambar ponsel Sabil, Ardaf baca tiap kata yang ditulisakan Webhi. Pesan singkat itu hanya berisi untuk ayah dan ibunya agar tak khawatir. Kemudian, tanpa bicara apa-apa ia bangun dari sofa setelah mengembalikan benda pipih itu pada sang pemilik dan beranjak keluar rumah dengan gerak terburu-buru.
***
Chivar sedang berdiri di halaman belakang rumah, menatap hamparan taman bunga yang begitu indah dipandang mata. Namun, pemandangan itulah yang menjadikan alasannya mengetatkan rahang. Sambil meremas tangan yang bertaut di belakang punggung, ekor matanya melirik pada tukang kebun yang berlari menghampiri setelah ia panggil.
"Bapak panggil saya?" Dodi, pria baya yang bekerja sebagai tukang kebun berdiri mantap di samping pria yang menggajinya.
"Hancurin taman bunga itu!" perintah Chivar tegas dengan tatapan yang masih mengarah pada taman seluas puluhan meter.
Meremas gunting taman di tangan, Dodi mulai merasa gugup. "Eh, Bapak mau ... maksud saya, itu tamannya mau dipindah?"
"Nggak! Hancurin aja semuanya. Jadiin kolam ikan!"
Dodi meringis mendengarnya. Melihat gelagat pria kaya itu, ia menggaruk tengkuk sebelum kembali bertanya ragu. "Baik, Pak. Itu ... emm, pohon bunganya mau dipindah ke--"
"Buang semua tanaman yang ada di sana!"
Tanpa menoleh pada pria yang masih memegang gunting rumput, Chivar melenggang pergi dengan raut dingin. Baru saja memasuki rumah, Mbok Jum yang masih memegang spatula tergopoh menghampirinya.
"Den!" panggil Mbok Jum setengah berteriak. "Den, di depan ada Kakaknya Non Webhi. Kata Dayat dia dateng marah-marah."
Chivar mengernyit tak kentara. Untuk apa bajingan itu mendatangi rumahnya? Sebesar apa nyali Ardaf hingga berani menginjakkan kaki di wilayah kekuasaannya? Sekarang Chivar mulai takut. Bukan takut pada Ardaf, takut pada emosi yang mungkin tak akan bisa terkendali. Di kediaman Andreas saja rasa ingin membunuh tak bisa terbendung lagi, apa lagi di sini?
Memakai celana cargo sebatas lutut dengan paduan kaus v-neck berwarna hitam, Chivar berjalan keluar rumahnya. Menyembunyikan kepalan tangan pada saku celana sambil mengetatkan rahang untuk meredam emosi yang menggila. Sial! Di saat seperti ini, ia kesal karena jarak antara gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Namun, karena emosi yang menggebu dan langkah lebar yang buru-buru, Chivar sampai di tempat tujuan dalam waktu kurang dari dua menit.
Mobil Audy hitam terparkir di balik gerbang. Chivar mendesis melihat punggung pria yang sedang bicara dengan satpamnya.
"Pak!" Cecep buru-buru menghampiri Chivar yang berjalan angkuh menuju pintu gerbang.
"Anu ... Pak Ardaf ngamuk-ngamuk mau ketemu Non Webhi, padahal saya udah kasih tahu si Non udah seminggu lalu pulang ke rumah orang tuanya. Tadinya mau Dayat bukain gerbang, cuma saya tahan karena Pak Ardaf keliatannya emosi banget," jelas sopir pribadi Chivar itu.
Sampai di depan gerbang, atensi Ardaf teralih sepenuhnya. Chivar sengaja tak melangkah keluar gerbang demi menemui pria yang benar-benar mampu mengobarkan api amarah di dadanya.
"Punya nyali sebesar apa lo sampai berani nginjek ke sini!" desis Chivar.
Ardaf berjalan mendekat. Jeruji besi setinggi dua meter menjulang di hadapannya. Rahangnya mengeras melihat pria yang sejak awal tak pernah ia sukai.
"Bajingan! Di mana Webhi?!"
Chivar tertawa sumbang sebelum mengambil langkah ke depan. Tangannya masih tersimpan rapi di dalam saku celana karena jika keluar, ia tak yakin untuk tak mendarat pukulan di rahang pria itu. Chivar sedang malas memakai tenaganya yang akhir-akhir ini mudah sekali lelah.
"Di mana Webhi sekarang, bangsat!" sambung Ardaf sambil menggebrak pintu gerbang yang ternyata sudah dikunci oleh satpam yang tadi bicara padanya.
"Dia udah nggak di sini! Sekarang lo pergi sebelum muka lo yang baru sembuh babak belur lagi."
"Berengsek! Kasih tahu di mana Webhi!"
Dalam hati Chivar mulai bingung. Selama seminggu ini dia memang tak mau tahu ke mana wanita itu pergi karena menurutnya kediaman Andreas adalah tujuan terakhir Webhi. Jadi, saat Ardaf berteriak demikian ia mulai ragu jika wanita yang pergi seminggu lalu ada di kediaman orang tua pria itu.
Namun, kebenciannya pada kakak beradik Andreas tak mampu membuat rasa empati Chivar datang begitu saja. Ia justru menyeringai culas menatap sepasang manik gelap milik Ardaf.
"Kenapa? Lo jijik tidur sama perempuan bar dan maunya cuma sama Webhi doang?!"
Setelah berujar seperti itu, ternyata Chivar tak bisa lagi mengontrol kesabaran dan mengambil langkah cepat untuk memberi tendangan keras di gerbangnya. Hingga suara gaduh dari getaran besi itu membuat suasana jadi mencekam.
Hal itu refleks membuat Ardaf yang tiba-tiba saja terdiam dengan ucapan Chivar, mundur dari posisinya. Dua pria yang sejak tadi berdiri di belakang Chivar juga ikut terkejut dengan tindakan spontan tuannya.
"Sekarang lo pilih! Mau mati di sini atau di luar gerbang!" Chivar menoleh dengan wajah bengis pada satpam ber-nametag Dayat di atas saku seragamnya. "Dayat, buka gerbangnya!"
Pria yang mengabdikan diri pada Chivar itu jelas kebingungan. Melihat bagaimana kemarahan merajai tuannya, ia mulai panik dan sedikit takut. Dayat menoleh pada Cecep yang memberikan gelengan samar.
"28 tahun Webhi nggak pernah hidup di luar rumah." Ardaf tarik atensi pria itu lagi. "Dia nggak pulang ke rumah. Nomornya nggak bisa dihubungin, dia nggak punya temen deket selama ini."
Lantas di saat seperti ini, Ardaf sadar setoxic apa dirinya pada Webhi. Sejak dulu ia tak pernah membiarkan Webhi hidup mandiri. Ia selalu membuat wanita itu bergantung padanya tentang apa pun. Ia tak pernah memberikan akses pada pria mana pun untuk mendekati Webhi, bahkan teman wanita saja ia batasi.
Apa pun yang dibutuhkan Webhi dan apa pun yang wanita itu mau, semua harus melewatinya. Dengan sombong, Ardaf dirikan labirin keegoisan untuk mengurung Webhi. Tak pernah sedikit pun memikirkan jika suatu saat nanti kehidupan wanita itu akan lepas dari tanggung jawabnya.
"Webhi nggak tahu gimana dunia luar. Dia nggak pernah hidup di luar selama ini," katanya mulai melemah.
Riak emosi perlahan sirna karena berganti dengan perasaan khawatir luar biasa. Merogoh ponsel dalam saku, Ardaf berjalan mundur sambil melayangkan tatapan tajam pada Chivar.
"Keparat kayak lo emang nggak akan bisa jagain Webhi. Kalau sampai terjadi sesuatu, gue nggak akan keberatan masuk penjara karena udah bunuh lo!" tandas Ardaf sebelum memasuki mobilnya dan membawa kereta besi itu melesat pergi meninggalkan tiga pria yang salah satunya sedang bertarung menyurutkan lautan emosi yang hampir menenggelamkannya.
Siapa yang paling kasihan di sini?
Oh, tentu saja Kakek Sigit karena pasti kena penalti lagi gegara udah reservasi venue di Bali tapi gagal deui😭✌
Yang tanya kapan konflik berakhir, tahaan ya. Ini jalan menuju pendewasaan bagi dua karakter utama kita. Tsaaah bahasanya berat.🌚 Grace sama Ardaf aja belom kita senggol masa udahan aja konfliknya. Wkwkw🙏😭✌
Vote ya jangan malas😃
Tahaaan dikit lagiii sampaii.
See you~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top