70• I Can't Belive.

Seperti biasa. Follow, vote, & comennt.
Makasih💙

__________
*****

Chivar benci dengan pribadinya yang sekarang. Mudah sekali terbawa suasana hati saat perasaan dilema kembali datang. Dulu ia bukan orang yang mau pusing-pusing memikirkan masalah. Jika tak bisa diselesaikan dengan uang, lebih baik diabaikan.

Bukan!

Chivar bukan pria yang tak bertanggung jawab karena mengabaikan masalahnya sendiri. Hanya saja ia berpikir, untuk apa menyiksa diri memikirkan hal yang membuat otot dan otaknya lelah. Hadapi semampunya jika tak kunjung selesai maka tinggalkan saja. Namun, kali ini sekeras apa pun ia lari dan menenggelamkan diri dari perasaan marah bercampur rasa takut pada pengaruh alkohol, otaknya tetap saja tertuju pada wanita yang hari ini memohon agar ia pulang dengan keadaan sadar.

Jadi, saat gelas berisi tequilla ada dalam genggaman, bukan menenggaknya habis Chivar malah berakhir menatap minuman itu dengan perasaan yang menyebalkan. Dan sekarang ia merasa jadi pria idiot karena sudah lebih dari tiga puluh menit duduk bersandar di dalam kursi penumpang. Mobil yang hari ini dikendarai Cecep sudah masuk ke dalam garasi, berbaris rapi dengan tiga mobil miliknya yang lain. Sebenarnya Chivar ingin mengabaikan permintaan Webhi, ia tetap akan pulang dalam keadaan setengah sadar. Tak mau membuka obrolan apa pun yang mungkin berakhir menyakitkan.

Namun, lagi-lagi Chivar berakhir mengumpati diri sendiri saat bar yang ia masuki seorang diri, nyatanya tak mampu mengalihkan pikiran dari wajah sendu Webhi yang memintanya pulang dalam keadaan waras.

Luar biasa!

Seumur hidup, Chivar tak pernah merasa seperti robot yang setelannya telah direset dan sekarang sudah dikuasai oleh orang yang membelinya.

Kembali menarik napas berat yang tak terhitung sudah berapa kali ia lakukan, Chivar sugar rambutnya setelah mengusap kasar wajah. Lantas mendorong pintu penumpang untuk berjalan memasuki rumah. Bahkan tiap langkah yang ia bawa membuat perasaan takut makin terasa.

Selain merasa jadi robot, Chivar juga merasa menjadi pria pengecut akhir-akhir ini.

"Kamu pulang, Chi?"

Jika tak dalam masalah apa pun, Chivar mungkin akan melangkah lebar dan membawa wanita yang saat ini menggunakan kaus lengan panjang miliknya ke dalam pelukan. Menyaksikan bagaimana wajah itu berbinar saat melihat dirinya, Chivar mulai berpikir apa Webhi setega itu mengkhianatinya?

Ah, entahlah. Ia bahkan takut mencari jawabannya.

"Udah makan malam belum? Tadi Mbok Jum masak sup kepala ikan. Mau aku temenin makan?"

Mengambil posisi selangkah di belakang Chivar, Webhi tersenyum saat pria itu pulang tanpa menguarkan aroma alkohol yang menyengat. Ia sengaja menunggu Chivar pulang dengan duduk sofa sambil membaca buku. Namun, sekarang ia merasa harus ekstra sabar karena ucapannya hanya dianggap angin lalu.

Sampai memasuki kamar pun, pria itu masih bisu dan Webhi yang merasa kesulitan mencari topik basa basi hanya ikut diam. Bahkan saat Chivar dengan santai melangkah menuju kamar mandi, Webhi hanya duduk di bibir kasur sambil sesekali meremas kaus yang ia kenakan. Meski perasaan menyenangkan karena berbadan dua sudah mulai ia rasakan, tetapi jengkel kerap kali muncul karena tiba-tiba saja ingin melakukan hal aneh yang jauh dari sikap aslinya.

Seperti sekarang ini, saat Webhi ingin memakai kaus suaminya. Mencoba mengabaikan hal itu, nyatanya ia tak bisa menahan keinginan yang terus saja menari-nari di kepala jika belum dituruti.

Beberapa menit berlalu dengan perasaan ragu, Webhi akhirnya bisa melihat Chivar keluar dari kamar mandi. Walk in closet yang menyatu dengan kamar mandi membuat pria itu keluar dengan memakai piama satin berwarna biru gelap.

Memilih sofa untuk mendaratkan bokong, Chivar tatap wanita yang masih duduk di bibir kasur. "Apa yang mau kamu bicarain?" katanya dingin.

Webhi terdiam sejenak. Perasaan sakit itu datang lagi saat mata yang dulu berpendar jenaka kini diganti dengan sorot tak acuh saat menatapnya. Sambil memilah kata dalam kepala, ia beranjak menghampiri Chivar. Tak ikut duduk di sana hanya memastikan jarak yang dipakai cukup agar ucapannya mudah didengar.

"Aku minta maaf."

Dan satu kalimat itu saja sudah mampu membuat Chivar mengeluarkan decihan sinis. Ia jatuhkan pandangan pada meja yang ada di depan, melipat tangan di bawah dada sambil mengontrol emosi yang mungkin tak akan bisa ia tahan jika percakapan ini terus berjalan.

"Sejak awal pernikahan aku yang salah. Aku tahu, nggak sepatutnya aku pakai pernikahan kita sebagai bahan pengalihan. Aku seret kamu ke dalam masalah hati yang nggak bisa aku selesaiin." Berusaha untuk tetap biasa saja, nyatanya Webhi tak bisa menyembunyikan perasaan takut dan gugupnya. "Aku minta maaf, Chi."

"Sekarang keluar!" desis Chivar tanpa mengubah posisi sedikit pun. Bahkan tatapannya tetap terpaku di tempat yang sama.

"Chi--"

"Keluar!"

"Aku tahu aku salah! Dan aku minta maaf untuk itu!" seru Webhi tak tahan.

Chivar berdiri menatap wanita yang baru saja berteriak dengan mata yang berkaca-kaca. "Dan aku nggak akan maafin seseorang yang udah berkhianat!" Mengusap wajahnya kasar, Chivar tahu obrolan ini akan berakhir menyakiti hati. "Sejak awal harusnya aku tahu kalau kamu punya niat lain dalam pernikahan ini!"

Webhi remas tangannya sendiri. Menunduk penuh penyesalan karena ia sadar, sejak awal ialah pemeran antagonis yang egois dalam kehidupan seseorang.

"Kenapa aku, Bhi?" Chivar ingin membentak, tetapi yang keluar justru nada lirih memprihatinkan. "Kenapa aku yang kamu jadiin pria bego buat nutupin perselingkuhan kamu sama--"

"Aku nggak pernah selingkuh dari kamu," sanggah Webhi cepat.

"Terus apa yang kamu lakuin di apartemen bajingan itu! Hah?!" erang Chivar sambil menarik kasar rambutnya. Ternyata kesabaran dan sugesti positif yang sempat ia lakukan untuk tak terbawa emosi, tak mempan. Ia benci saat hatinya merasa sakit, netranya ikut memanas hingga yang bisa ia lakukan hanya berteriak. "Argh!"

Webhi menggeleng sambil menutup mulutnya. Jadi benar, dugaannya selama ini jika kemarahan yang begitu terpancar dari mata Chivar adalah karena kejadian malam itu.

"Aku nggak pernah selingkuh," kata Webhi lagi sambil terisak. Ia tak yakin dengan ucapannya sendiri karena sejak awal, ia tahu hatinya sudah berkhianat dalam pernikahan mereka. Namun, itu bukan sesuatu yang ia sengaja. Cinta untuk Ardaf sudah tumbuh jauh sebelum ia bertemu Chivar. "Aku nggak selingkuh, Chi."

"Kamu pikir aku percaya?! Sejak awal harusnya aku curiga sama persyaratan gila yang kamu kasih. Harusnya aku tahu perempuan sok suci kayak kamu nggak bisa dipercaya!" bentak Chivar dengan napas yang bergemuruh di dada. "Tapi aku kasih semua rasa percaya aku ke kamu, aku kasih hati aku ke kamu. Dan sekarang semuanya kamu hancurin, Bhi! Semuanya hancur!"

Webhi makin terisak. Tangannya refleks memegang perut saat perasaan takut untuk mengungkapkan kehadiran buah hati mereka mulai menggerayangi. Harusnya Webhi katakan saja sejujurnya, jika malam nahas itu ialah yang jadi korban. Ardaf hampir memperkosanya meski Webhi setengah yakin jika pria itu melakukannya karena dorongan alkohol. Namun, Webhi justru membungkam mulutnya rapat. Membiarkan Chivar ditelan asumsi sendiri karena ia takut. Takut jika Ardaf kembali celaka saat Chivar tahu yang sebenarnya.

Hal itu Webhi lakukan bukan karena cinta yang tersisa di hatinya, tetapi karena ia masih menyayangi pria yang pernah menjaga hidupnya. Webhi yakin ini bukan tentang cinta, ini hanya tentang perasaan seorang adik yang ingin melindungi kakaknya.

"Sekarang aku harus gimana, Bhi?"

Ucapan itu kembali Webhi dengar. Bahkan dengan nada yang lebih hancurnya dari malam itu. Dan lagi-lagi, Webhi hanya mampu menggeleng sambil menangis tersedu.

"Aku harus gimana sama kamu?!" Chivar kembali berteriak marah. Menyorot tajam wanita yang terlihat gemetar karena ketakutan.

"Kamu salah paham, Chi." Susah payah Webhi berujar dalam tangis yang menyesakkan. "Kamu salah paham," sambungnya makin terisak.

"Aku nggak bisa percaya lagi sama perempuan munafik kayak kamu!"

Mencoba mengambil langkah mendekat, Webhi tatap pria yang terlihat begitu hancur. Ia remas baju di bagian perut sebelum berhenti saat isak lelaki itu terdengar pilu. Situasi seperti ini membuatnya benar-benar takut untuk mengungkapkan kehadiran makhluk kecil di dalam rahimnya.

"Chi--"

"Kamu hancurin semuanya, Bhi." Chivar desahkan kekecewaan di dalam ruangan itu. "Kamu hancurin kepercayaan aku, Bhi. Aku harus gimana sekarang?"

Hati Webhi menjerit melihat kehancuran pria itu. "Aku minta maaf."

"Sekarang keluar, please! Obrolan kita cuma bakal nyakitin."

Webhi hanya bisa diam mematung saat Chivar memintanya pergi dengan isak yang tertahan. Jadi, inikah hasil dari keegoisannya? Menghancurkan hati seorang pria yang sudah tulus menerima kehadirannya.

Sambil menghapus air mata, Webhi kumpulkan keberanian untuk mengatakan satu kata yang ia tujukan pada Chivar dan anak mereka. "Maaf." Lalu melangkah pergi meninggalkan pria yang tertunduk dalam kesedihan.

***

Chivar pernah mengira, terbangun karena mabuk akan lebih baik ketimbang tidur dengan rasa sesak di hati setelah obrolan menyakitkan terjadi. Namun, ia tak menyangka jika pagi ini merasa beban tak kasat mata yang menekan dada terasa pudar setelah ia gaungkan kekecewaannya.

Sekarang dengan kemeja biru yang sudah melekat di tubuh kekarnya, Chivar beranjak untuk keluar kamar. Menarik napas tak kentara saat membuka daun pintu, lalu secara alami kepalanya menoleh pada pintu kamar di sebalahnya.

"Den! Aden udah bangun?!"

Tersentak karena panggilan mengejutkan itu, Chivar mengernyit saat Mbok Jum menghampirinya dengan raut takut bercampur ragu.

"Kenapa, Mbok?"

Mengatur napas tersengal setelah menaiki anak tangga, Mbok Jum menatap tuannya yang mengernyit kebingungan. "Itu ... Den, Non Webhi pergi."

Chivar terdiam dengan detak jantung yang mulai terasa aneh. Ia tak mengerti kenapa dadanya tiba-tiba saja berdebar hebat.

"Maksudnya?"

"N-non Webhi pergi, Den. Cecep bilang kalau Non pergi pas tengah malem."

Saat itu juga Chivar tahu arti dari detak jantung yang terasa aneh dan debaran yang seolah menggedor-gedor di balik dada. Ia mulai merasa bingung dan takut, bahkan tak sadar saat kakinya berlari untuk membuka pintu yang ia kira masih dihuni wanita itu.

Yang mikir. "Bhi, lo tinggal bilang kalau lo hamil. Pasti Cipar seneng deh. Terus Lo bilang aja malam itu lo diperkosa sama Ardaf biar Cipar makin punya alesan buat habisin si Ardaf."

Guys, dari awal aku ciptain karakter Webhi emang rada introvert. Mungkin bukan introvert banget sampe gak suka berbaur. Webhi tuh salah satu orang yang gak pinter mengekspresikan perasaan. Kalau dia terbuka, mungkin sejak awal dia udah confess tentang perasaannya ke Ardaf.

Di sini, Webhi berusaha kasih tahu kehamilannya ke Chivar dari mulutnya langsung menurutku usaha Webhi terbilang cukup manis meskipun dari awal kita tahu dia bukan orang yang romantis. Cumaaaa, sekarang situasi dia kayak ke dorong buat nelen kembali niatnya ungkapin tentang anak dalam kandungan.

Karna apaaaa, ya itu. Karena takut Chivar gak percaya. Sedangkan Chivar bener-bener udah ungkapin rasa kecewa sama rasa percaya yang hancur itu di depannya langsung.

Dua karakter utama yang aku buat di sini jauh dari kata sempurna. Dan makin ke sini, kalian makin lihat kan kalau Chivar ternyata punya perasaan insecure dalam dirinya. Dia selalu ngehindar buat selesain masalah karena takut faktanya nyakitin.

Oke deh see you~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top