69• Aku Kangen Kamu.

Seperti biasa. Follow, vote, dan komen.
Makasih💙

____________
******

Saat pertama kali membuka mata, tentu saja denyut nyeri di kepala yang Chivar rasa. Masalah terbangun dari tidur yang beberapa hari ini menyambutnya. Tak menyesal sama sekali, Chivar justru bersyukur karena alkohol bisa mengantarkannya tidur tanpa harus memikirkan sesuatu yang mengganggu. Namun, ternyata rasa sakit yang menyekapnya dalam ruang ilusi akan kembali datang saat dirinya diseret dalam kesadaran.

Menatap langit-langit di tempatnya terbangun, Chivar mengernyit saat menyadari pemandangan itu bukan di dalam apartemen melainkan kamar utama yang menjadi saksi kisah palsunya dimulai.

"Kamu udah bangun?"

Masih mengumpulkan kesadaran untuk memasuki dunia fana, Chivar mendesah samar saat kepalanya bahkan tak perlu berpikir untuk menebak siapa sosok yang baru saja bersuara. Karena mendengar nadanya saja ia sudah tahu. Bangun dari tidur yang terasa melelahkan, Chivar usap wajahnya sebelum menatap wanita yang sudah duduk di ujung kasur.

"Kamu mau mandi dulu atau sarapan?"

Tak menggubris perhatian kecil Webhi, Chivar memilih menyibak selimut untuk beranjak menuju kamar mandi. Mengabaikan tatapan sendu wanita itu dengan hati yang sebenarnya ikut sakit. Namun, sekali lagi Chivar bukan Webhi yang pandai mengontrol raut ketika emosi. Ia tak bisa beramah tamah selagi hatinya dirajai api amarah.

Mengembuskan napas lelah, Webhi hanya diam saja melihat Chivar hilang dibalik pintu kamar mandi. Mungkin belum tepat bicara dengan pria itu untuk saat ini. Setidaknya, menunggu Chivar menyesuaikan diri setelah bangun dari tidurnya adalah pilihan tepat.

Memilih keluar dari kamar, Webhi berjalan menuju lantai bawah. Kemudian, memerintah Mbok Jum untuk menyiapkan menu sarapan favorit Chivar meski jam 11 siang jelas tak pantas disebut waktu sarapan. Webhi sendiri sudah terbangun jauh sebelum Chivar membuka mata. Ajaibnya, tak ada mual yang ia rasa saat aroma alami dari tubuh pria itu tercium dan sepertinya hal itu jadi obat mujarab dari masalah morning sickness yang ia alami beberapa waktu ini.

Bahkan untuk waktu yang cukup lama, Webhi curi kesempatan membingkai iras rupawan itu dalam ingatan. Menelisik tiap garis tegas yang dipahat Sang Esa untuk menyombongkan keajaiban lewat sosok pria dengan paras yang hampir menyentuh sempurna. Namun, Webhi tak punya nyali untuk mendaratkan kecupan yang kerap kali ia berikan saat pria itu sedang dibuai alam bawah sadar.

Meski begitu, Webhi tak mau menyia-nyiakan keadaan. Saat Chivar bergerak untuk mengambil posisi berhadapan dengannya, Webhi dengan perasaan ragu dan takut membawa tangan Chivar menyentuh perutnya. Membiarkan jemari panjang itu jatuh di tempat yang menaungi buah cinta mereka. Dan Webhi tak percaya, dalam keadaan pilu beberapa jam lalu, dirinya tersenyum merasakan euforia aneh meletup-letup di balik dada saat kulit perutnya bersentuhan dengan telapak tangan Chivar.

Tak ada yang Webhi bicarakan. Bahkan dalam hati pun ia tak pandai merangkai kata untuk memperkenalkan kepada Si Jabang Bayi jika yang menyentuhnya adalah sosok pria konyol yang berhasil mengalihkan dunianya.

"Non?"

Terenyak dari lamunan yang membuat dadanya berdebar, Webhi menoleh saat wanita yang hari ini memakai daster bermotif batik memanggilnya.

"Aden mau sarapan di bawah atau di kamar?" lanjut Mbok Jum sambil meletakkan semangkuk ayam jahe di atas meja makan.

"Saya belum tahu, Mbok." Webhi menoleh sebentar ke arah tangga saat tak ada tanda-tanda kedatangan Chivar. "Mungkin bentar lagi Chivar turun, tapi kalau dalam 15 menit nggak turun, nanti saya aja yang antar ke kamar."

Mbok Jum hanya mengangguk saja meski mata tuanya masih jeli menangkap gerak tangan yang gugup di atas meja. Ada sirat takut dan ragu disepasang manik wanita itu, meski sebenarnya tak heran jika mungkin saja hubungan pasutri ini memang belum dalam kondisi baik.

"Non, kemarin Non kepingin sup kepala ikan, kan? Mbok hari ini mau ke pasar, Non mau kepala ikan apa?"

Webhi diam sejenak sebelum mengangkat bahunya. "Terserah Mbok Jum aja. Saya cuma kepingin nyeruput kuah supnya aja."

Asisten rumah tangga itu sudah selesai dengan tugasnya dan kini memberi atensi penuh pada wanita muda yang duduk di kursi makan. "Non nggak ada niatan buat periksa gitu. Diperiksa aja Non, ke dokter atau bidan. Akhir-akhir ini Non malah mirip Aden, menu makannya beragam. Biasanya kan, Non paling anteng soal menu makanan."

Webhi membersit geli melihat wajah yang sarat akan rasa penasaran dan sedikit gegertan dari wanita baya itu. Ia kembali mengedikkan bahu tak acuh menanggapi pertanyaan Mbok Jum.

Mbok Jum mendesah pasrah. "Non tahu, nggak? Sup kepala ikan itu kesukaan mendiang ayahnya Den Cipar, loh. Aden juga suka banget sebenernya cuma semenjak ayahnya udah nggak ada, Aden nggak terlalu mau kalau makan sama sup kepala ikan."

"Eh, masa?" Mulai tertarik dengan obrolan itu, Webhi gunakan tangannya untuk menopang dagu sambil mengamati Mbok Jum yang sibuk mengelap meja pantri. "Mbok udah lama banget ya, kerja sama keluarga Chivar?"

"Lumayan, Non. Dari Aden sekolah SMP kalau nggak salah."

Mengangguk-angguk paham, Webhi kembali menoleh pada tangga yang tak memunculkan siapa pun. "Mbok, tolong siapin makanan di atas nampan. Biar saya aja yang anter sarapan Chivar ke kamar."

"Oh, baik, Non."

Namun, baru saja Mbok Jum membuka kabinet untuk mengambil nampan berbahan kayu mengkilap, pria yang sejak tadi ditunggu kedatangannya muncul sambil menggulung lengan kemeja yang dikenakan.

Berdiri menyambut Chivar, Webhi yang hendak membuka mulut untuk berujar sepatah dua patah kata, harus urung saat pria itu lebih dulu melontarkan kalimatnya.

"Saya makan di luar, Mbok." Chivar sudah berdiri di dekat meja makan.

"Eh ...." Mbok Jum refleks menoleh pada majikan wanitanya yang terlihat kecewa dengan ucapan itu. "Nggak makan di rumah aja, Den? Ini Mbok udah masak banyak."

"Chi--"

"Nggak, Mbok. Saya mau langsung ke proyek. Nanti aja cari makan di luar."

Tak berniat sama sekali melirik posisi Webhi, Chivar melenggang pergi meninggalkan ruang makan dengan raut dingin. Namun, baru beberapa langkah membawa tungkainya, ia dibuat terkejut saat tangannya diraih cepat oleh wanita yang ternyata mengikutinya.

"Kita perlu bicara."

Seperti biasa. Tak ada hal basa basi yang terlontar dari mulut Webhi. Ia rasa percuma mengatakan kalimat pembukaan jika pria di depannya saja terlihat begitu enggan menatapnya. Meski perasaan kecewa kembali datang, tetapi Webhi bersyukur Chivar tak menepis tangannya.

"Kita nggak bisa gini terus, Chi. Ada hal yang mau aku bicarain sama kamu. Dan aku yakin kamu juga--"

"Tapi untuk saat ini, bahkan berhadapan sama kamu aja aku muak!"

Mendesis marah, Chivar tatap wanita itu setelah melontarkan kalimat sarkasme dengan nada rendah yang nyaris seperti berbisik. Menarik tangan yang masih digenggam erat oleh Webhi, ia melengos saat sepasang manik favoritnya mulai berkaca-kaca.

Tak bisa dipungkiri, ucapan yang bertujuan untuk membuat wanita itu berhenti bicara justru malah ikut menyakiti hatinya. Menarik napas gusar, Chivar sugar rambutnya kasar. Kemudian, menoleh pada ruang makan yang sudah dalam keadaan kosong sebelum kembali menatap Webhi yang terdiam dengan tatapan kecewa.

"Sampai kapan, Chi? Kamu bakal sampai kapan ngehindar sama masalah kita?"

"Aku nggak tahu." Chivar mendesah sebelum mengatur napas untuk menetralkan emosi yang mudah sekali datang.

"Kasih aku kesempatan buat jelasin ke kamu, Chi."

Chivar terdiam. Tangan yang sudah masuk ke dalam saku celana mulai terkepal erat saat mendengar permohonan itu. Dadanya bergemuruh dengan perasaan sesak yang tak mampu ia halau. Aku takut penjelasan kamu lebih nyakitin, Bhi. Dan saat itu juga napas Chivar makin terasa sesak. Ia sadar, tak perlu waktu lama untuk membuatnya menangis saat bicara dengan Webhi.

Chivar berdecih lirih pada diri sendiri. Sehebat itukah eksistensi perempuan ini? Ia mulai benci dengan dirinya yang sekarang.

"Malam ini, aku mau bicara sama kamu. Please," pinta Webhi dan mungkin dorongan dari sang anak yang membuat ia berani bergerak memberi pelukan menenangkan untuk pria itu. "Aku harap kamu pulang dalam keadaan sadar, Chi." Webhi tempelkan kening pada dada bidang Chivar. Meski merasa kecewa tak mendapat balasan apa pun, ia tetap bersyukur Chivar tak mendorongnya. "Aku kangen kamu," sambungnya lirih.

Sayangnya Chivar terlalu pengecut untuk menanggapi perasaan Webhi. Karena yang ia lakukan setelah memejamkan mata untuk menetralkan emosi adalah melepaskan diri dari pelukan itu, lalu melenggang pergi meninggalkan wanita yang hanya bisa menatap sendu punggungnya menjauh.

Baby Utun takut banget gak diakuin. Baru zigot aja udah mirip sama bapaknya.

Besok kita masuk ke dalam obrolan pasutri ini. Jadi, siapkan popcorn karamel buatan Adam yaw. 😂

Jangan malas vote ya~~
Biar besok abis subuhan kita ketemu mereka lagi.

See you~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top