68• Dilema.

Yeee! Kita ketemu Papah ChiBhi.
Bang Toyib magangnya dah selesai😃

Oh, ya. Mau mengingatkan.
WirDam tuh punya saya titik saguede kalapa pokona mah!✌😌😂

Seperti biasa, follow, vote, & komen.
Makasih💙

________
***

Beberapa waktu lalu, Wira mengirim pesan singkat yang mengabarkan jika malam ini Chivar pulang ke rumah. Dan sekarang, dengan hati yang harap-harap cemas Webhi sedang duduk gelisah di sofa dalam ruang tamunya. Tak banyak yang Webhi harapkan dari pertemuan setelah keributan hari itu karena Wira mengatakan kalau Chivar dalam kondisi mabuk berat. Mungkin malam ini tak akan ada obrolan penting yang harusnya terjadi di antara mereka.

Kendati demikian, Webhi sudah tak sabar menanti kedatangan pria itu sambil sesekali mengusap perutnya. Berharap janin yang terus berkembang dalam rahim bisa merasakan kehadiran sang ayah dan menumpahkan rindu yang beberapa hari ini terkurung pilu.

Menoleh saat pintu yang terhubung dengan garasi terbuka, Webhi beranjak cepat melihat Wira dan Cecep memapah Chivar yang benar-benar dalam keadaan kacau.

"Chi ...." Webhi memanggil pelan. "Mang Cecep, tolong langsung bawa ke kamar aja!" sambungnya memerintah.

Sopir yang tadi berjaga di pos gerbang, mengangguk patuh. Ia dan Wira berusaha tetap menjaga keseimbangan saat menaiki anak tangga menuju kamar utama. Karena jujur saja, begitu sulit membawa orang mabuk yang hampir tak sadar karena kondisinya lebih berat dari keadaan normal. Terlebih lagi Chivar memiliki bobot tubuh yang tinggi dan besarnya mengalahkan mereka berdua.

Berhasil mengikuti suaminya diantar dengan selamat sampai kamar, Webhi yang berdiri melihat Wira dan Cecep menjatuhkan tubuh Chivar ke kasur, masih diam dengan wajah kebingungan. Setelah Cecep keluar dengan napas yang ngos-ngosan, Wira yang tak jauh beda dari kondisi Cecep sedang meregangkan otot tangan.

"Wira." Memanggil ragu pria dengan jaket jin berwarna biru gelap itu, Webhi menatap sekilas sang suami di atas tempat tidur sebelum kembali memberi atensinya untuk Wira. "Makasih banyak," katanya tulus.

Wira terkekeh kecil. "No big deal," jawabnya mengangkat bahu. "Sebenernya Adam yang lebih kewalahan karena selama tiga hari dia yang ngurusin cecunguk ini." Wira beranjak ke arah wanita yang malah terdiam sambil meremas kantong hoodie yang dikenakan. "Santai aja, Bhi. Gue bakal sampein rasa terima kasih lo juga buat Adam."

Webhi mengangguk menyetujui. "Wira ... apa Chivar bilang sesuatu sama kamu?"

Wira tersenyum tipis melihat raut khawatir bercampur ragu itu. "Ada cuma nggak banyak, sih. Gue sama Adam nggak bisa kasih solusi kalau kalian aja yang punya masalah belum coba runding. Cuma saran gue, omongin masalah itu saat kalian udah bener-bener ngerasa stabil sama emosi masing-masing. Jangan terlalu didengerin ocehan Chivar pas lagi senewen kayak gini. Biar aja dia istirahat dulu."

Webhi mengangguk lagi.

"Ya udah, gue balik dulu." Menepuk singkat bahu Webhi, Wira menoleh pada sahabatnya yang benar-benar sudah tak sadar. "Malam ini istirahat aja. Kalian berdua sama-sama dalam kondisi capek." Karena ia mulai merasa prihatin dengan wajah wanita yang terlihat begitu lelah.

Setelah itu, Webhi berjalan keluar kamar mengantar Wira yang syukurnya tak banyak bertanya tentang masalah yang sedang terjadi. Webhi mengira mungkin pria itu sudah tahu atau sebenarnya tak terlalu nyaman jika banyak bicara dengannya. Mengingat ia bukan orang yang pintar menempatkan diri dalam suatu obrolan.

Kembali memasuki kamar, Webhi mengernyit saat kasur yang tadi diisi pria mabuk terlihat kosong. Lantas kakinya terayun cepat menuju kamar mandi karena mendengar suara di dalam sana.

"Chi ...."

Refleks memijat tengkuk pria yang berjongkok di depan kloset, Webhi meringis iba melihat Chivar begitu tersiksa mengeluarkan isi perutnya sendiri. Padahal setiap pagi ia melewati hal yang lebih buruk dari itu.

"Udah lebih baik?" tanya Webhi sambil menarik beberapa lembar tisu tak jauh darinya, lalu mengelap mulut Chivar tanpa rasa jijik. Ia basahkan tangannya di wastafel sebelum membasuh wajah pria itu dan membuka kabinet berisi handuk kecil untuk mengeringkan wajah Chivar.

"Bajunya ganti, ya?" Meski tak mendapat persetujuan, Webhi tetap menarik kaus yang dipakai Chivar karena sudah kotor terkena muntahan.

"Chi ...," panggil Webhi sambil menepuk pelan pipi pria yang bersandar pada dinding kamar mandi. Mengusap sebentar perutnya, Webhi mulai merasa bingung. Ia tentu tak bia membawa tubuh besar Chivar ke tempat tidur. "Chi, kita keluar dari sini, ya. Kamu bisa jalan, kan?"

Membuka mata perlahan, Chivar yang kesadarannya sudah di awang-awang mulai berdiri tegak semampunya. Denyut nyeri di kepala benar-benar cocok dipadukan dengan sisa-sisa mual di tenggorokan. Lantas, saat merasa ada tangan dingin yang mengusap rambut di keningnya, ia mengernyit sebelum menajamkan penglihatan yang mulai mengabur. Meski dalam keadaan mabuk, Chivar hafal siluet wajah mungil dan aroma manis milik wanitanya.

Wanitanya?

Chivar rasanya ingin menertawakan diri sendiri mengingat wanita yang ia claim sebagai miliknya ternyata juga dimiliki pria lain.

Menepis tangan Webhi, Chivar berdecih kasar. "Nggak usah sok peduli!" ketusnya sambil membawa diri keluar dari kamar mandi. Menjadikan tembok untuk menopang bobot tubuh, Chivar akhirnya berhasil mencapai bibir kasur dengan langkah terseok-seok.

Tangannya terangkat meremat rambut untuk menghilangkan denyut nyeri yang kian hebat. Kemudian, Chivar mendongak saat leher kaus memasuki kepalanya. Diiringi tangan yang menuntun lengannya untuk masuk kecelah baju pendek. Selesai memakai itu, ia coba untuk menatap wanita yang berjongkok melepas sepatunya sebelum memberi segelas air padanya. Tak lama, Webhi kembali mempertemukan manik karamel yang selalu membuat Chivar ingin terus terjebak di sana.

"Kamu pergi ke kamar yang lain!" Chivar pejamkan matanya saat sadar bahkan dalam keadaan mabuk pun, tatapan itu masih mampu membuatnya tenang.

"Chi ...," lirih Webhi lelah. Menarik napas tak kentara, ia genggam tangan Chivar sambil menatap ke dalam manik gelap yang sayu. Kemudian, melihat ke arah punggung tangan yang menyisakan bekas luka. "Aku tahu kita nggak bisa bicara sekarang, tapi aku mau tetep di sini. Biarin aku temenin kamu."

Menarik kasar tangannya, Chivar mendengkus sebelum mengeluarkan tawa sumbang. "Nggak usah sok peduli sama aku, Bhi! Berhenti jadiin aku orang tolol di mata kamu!"

Webhi menggeleng. Mulai merasa sesak saat tatapan kebencian itu kembali dilayangkan. Namun, ia mengerti jika kondisi seperti itu harusnya tak ia anggap serius. Chivar mabuk dan ia yang masih waras harus bisa menghadapinya.

"Kita obati tangan kamu, ya. Aku ambil kotak obat--"

Menarik kasar pinggang Webhi, Chivar jatuhkan tubuh mungil itu ke kasur dengan ia yang mengurungnya di atas. Tak peduli pada pekikan terkejut Webhi saat ia melakukan hal itu karena selain benci dan marah yang masih menguasai, ternyata perasaan rindu pun tak kalah bersaing di dalam hati. Hanya saja, saat wajah mereka sudah sejajar, bukannya ciuman yang Chivar daratkan untuk memberi makan rindu yang merayu, justru isak kecil lolos darinya. Hingga rasa sakit yang mengoyak hati hanya mampu Chivar gambarkan dengan menjatuhkan wajah pada bahu sang istri.

"Kenapa, Bhi?" rintihnya tak tahan.

Ternyata bukan hanya Chivar yang tak disangka-sangka begitu mudah menumpahkan air mata, Webhi pun sama. Mendengar isak yang begitu terdengar rapuh membuat seluruh tubuhnya terasa luluh. Terlebih saat hatinya sedang merintih sakit.

Membalik badan menjadi telentang di samping Webhi, Chivar bawa lengannya menutupi kening. Menyembunyikan tumpahan air mata yang tak pernah ia sangka begitu mudah ada. Menarik napas gemetar saat tangis yang mati-matian ia tahan menggumpal di tenggorokan, Chivar desahkan rasa kecewa lewat bibirnya.

"Kamu nggak berhak mainan perasaan seseorang, Bhi." Sambil terisak, Chivar gaungkan sesak di dada dengan kalimat yang ia punya. "Kamu nggak berhak masuk ke dalam hidup seseorang cuma buat manfaatin dia. Sekali pun aku punya tujuan dalam pernikahan kita, aku nggak pernah berpikir mainin pernikahan ini."

"Aku minta maaf," lirih Webhi sambil menggenggam tangan Chivar yang terluka. Memeluknya di dada dan membiarkan air mata tumpah ruah menyaksikan pria jenaka hancur karena ulahnya. "Aku bener-bener minta maaf, Chi. Aku minta maaf."

"Sekarang aku harus gimana?"

Dalam keadaan sadar, mungkin Chivar akan berteriak marah sambil melayangkan tatapan tajam. Nyatanya, saat ini yang mampu ia lakukan hanya terisak merasakan kecupan pada punggung tangannya.

"Aku harus gimana, Bhi?"

Masih menutupi wajah dengan lengan, Chivar berharap dirinya ditelan kegelapan yang akan membuat ia lupa dengan kesakitan yang menikam.

"Aku harus gimana? Saat lihat kamu rasanya sakit, tapi sialnya aku nggak bisa kalau nggak ketemu kamu, aku nggak bisa lama-lama jauh dari kamu." Pria itu makin terisak di ambang batas kesadaran yang perlahan mulai lenyap. "Kasih tahu aku harus gimana sekarang, Bhi? Please, kasih tahu aku ... rasanya bener-bener sakit, Bhi."

Lantas Webhi tak tahan untuk tak membawa tubuh pria itu masuk ke dalam pelukan. Menangis tersedu sedan saat keegoisan ingin mengalihkan perasaan telah berhasil menghancurkan hati seseorang.

Bukankah dari awal Webhi tak memikirkan dampaknya?

Belenggu rindu yang pernah mengurungnya dalam ruang semu kini telah berlalu. Tak ada lagi sendu yang ia tutupi dengan senyum palsu, tak ada lagi rintihan pilu saat cinta yang tumbuh di hati hanya dia yang tahu. Semua benar-benar sudah berlalu.

Lantas kenapa Webhi masih saja tersedu-sedu?

Maaf membuat pagi kalian kelabu😥

Aku pernah bilang ini bakal jadi puncak konflik pasutri ini, kan? Jadi sedikit alot guys!

Seruwet apa pun, jangan tinggalkan aku menamatkan cerita ini🙏🙂 mari bertahan bersama ChiBhi dan babynya. Ingat, ada pelangi setelah badai🌈

Jangan malas vote ya meskipun bab ini isinya bawang🙂

See you~~♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top