66• Menyesal.

Selain mengganggu, penyesalan juga semenakutkan itu.

Vote, follow, & komen.
Makasih💙
___________

"Jangan!" Makin terisak dalam rintihan tangis, Webhi tak tahu harus berbuat apa lagi saat Ardaf begitu kesetanan menarik dress yang ia kenakan. "Jangan, Mas. Aku mohon!" pintanya putus asa.

"Kamu harus tahu, Bhi! Dia bajingan! Dia bajingan yang suka tidur sama perempuan di bar! Kamu harus tahu itu!" teriak Ardaf frustrasi.

Webhi menggeleng saat Ardaf yang sedang diselimuti emosi dengan gairah seperti api, kembali mencium bibirnya. Mendorong lidah untuk masuk ke dalam mulutnya, lalu menuruni cumbuan itu ke rahang, leher, dan dadanya. Tak bisa diungkapkan bagaimana hancur lebur hati Webhi, saat pria yang pernah menjadi dunianya bertindak kejam seperti ini. Lantas seperti diberi tepukan pada bahu, bibir yang bergetar karena tangis yang tak berkesudahan mengeluarkan kalimat yang kontan membuat semua pergerakan biadab Ardaf berhenti detik itu juga.

"J-jangan, Mas. Ada anak aku ... ada anak aku sama Chivar. Jangan ... aku mohon, jangan!" rintih Webhi tergugu.

Ada anak aku. Ada anak aku sama Chivar.

"Argh!" Geraman kasar meluncur dari mulut Ardaf.

Kilasan tentang perlakuan bejatnya kembali diputar dalam ingatan. Rintih tangis dari wanita yang selama ini ia jaga, seperti mendorongnya berjalan di ujung jurang yang curam. Meski begitu, ia dengan tolol meminta orang tuanya memisahkan Chivar dan Webhi.

"Maaf, Bhi. Maaf ... maaf," racaunya penuh penyesalan.

"Pak Ardaf?"

Olin yang masuk ke dalam kantor Ardaf, sedikit terkejut saat penghuni ruangan itu tertunduk setelah berteriak. Kotak P3K yang berisi beberapa kain kasa dan obat-obatan, ia letakkan di atas meja sementara tangannya refleks menepuk punggung pria yang jika tak salah dengar sedang terisak kecil.

Awalnya Olin sedang membersihkan meja kerja Ardaf yang sudah lima hari tak ditempati. Kemudian, matanya melebar saat atasannya datang dengan wajah yang babak belur. Pergi mengambil P3K untuk mengganti kain kasa di wajah Ardaf yang terlihat basah karena darah, saat kembali Olin dibuat terkejut karena pria itu malah tertunduk setelah berteriak.

Lantas keterkejutan Olin tak sampai di sana. Saat mencoba menepuk punggung Ardaf lagi, pria yang benar saja sedang terisak malah memeluk pinggangnya bak bocah. Tak tahu harus berkata apa, Olin hanya memberi usapan canggung pada pria yang makin terisak kecil.

***

Tiga hari setelah keributan hebat itu. Sudah tak terhitung berapa tetes air mata yang menganak sungai melewati pipi Webhi. Di saat seperti ini, eksistensi sang anak dalam kandungan pun seolah minta perhatian lebih. Sebelumnya, Webhi tak pernah mengalami morning sickness yang parah. Ia terkadang memang merasa mual dan pening, tetapi tak sampai pada tahap yang melelahkan karena harus mengeluarkan isi perutnya setiap pagi.

Biasanya jika mulai merasa mual, menghidu aroma tubuh Chivar adalah obatnya. Namun, pria itu bahkan tak pulang sejak pergi membawa kemarahan. Dua hari lalu, Webhi tiba-tiba mengingat pria yang ia kenal dengan nama Wira pernah bertanya tentang Sabil, lalu ia coba peruntungan dengan meminta nomor sahabat Chivar pada sepupunya.

Webhi merasa bersyukur karena Sabil langsung memberikan kontak Wira tanpa memberondongnya dengan pertanyaan. Meski awalnya khawatir dan takut jika Chivar hilang kabar dari orang-orang terdekat, akhirnya Webhi bisa sedikit bernapas lega mengetahui Chivar sedang berada di apartemen milik pria itu.

"Kebetulan apartemen Adam sama Chivar satu lantai, jadi Adam bisa mantau. Nggak apa-apa, Bhi. Chivar mungkin cuma lagi butuh waktu sendiri, walaupun dengan cara minum-minuman. Soalnya percuma bicara sama dia kalau lagi emosi karena gue sama Adam juga susah ngatasinnya kalau dia lagi kayak gitu. Gue nggak tahu masalahnya apa karena Chivar sampai sekarang masih bungkem, tapi gue harap kalian bisa lewatin. Chivar bukan orang yang sulit diambil hatinya, kok. Kecuali kalau dia udah kecewa banget."

Begitu kata Wira saat Webhi tanpa basa basi menanyakan keberadaan Chivar.

"Non?" Membuka pintu kamar sambil membawa nampan berisi susu cokelat, puding, potongan buah, bubur kacang hijau, dan stoples kukis permintaan Webhi, Mbok Jum melangkah masuk menghampiri wanita yang duduk sambil menatap keluar jendela. "Mbok simpen di sini, ya, sarapannya," sambungnya pelan.

"Makasih, Mbok." Webhi sengaja meminta Mbok Jum menyediakan banyak menu sarapan.

Meski nafsu makannya berkurang drasatis, tetapi Webhi tak boleh egois menyiksa diri dengan menghentikan asupan makanan ke dalam perut hanya karena perasaan yang sedang kacau balau. Sekarang sudah ada kehidupan lain yang bergantung pada tubuhnya. Kehidupan yang setiap detik ia harap dalam keadaan baik-baik saja. Beranjak menuju kasur, Webhi menatap sebentar pada wanita yang masih berdiri tak jauh darinya.

"Non ... emm, Non nggak mau periksa ke dokter?"

Sudah tiga hari belakangan Mbok Jum dikejutkan dengan suara muntahan wanita itu. Bahkan tadi pagi, saat ia ingin memeriksa keadaan Webhi yang akhir-akhir ini terlihat sangat pucat, wanita berbadan gempal itu dibuat panik karena mendapati Webhi terduduk lemas di dalam kamar mandi setelah meladeni mualnya sendiri.

Meski tak punya pengalaman pribadi tentang sebuah kehamilan, Mbok Jum punya beberapa pengetahuan jika gelagat wanita muda itu kemungkinan sedang mengalami masa ngidam yang kata kebanyakan orang begitu menyiksa.

"Non, diperiksa aja ke dokter atau bidan. Takutnya Non ... lagi isi," usul Mbok Jum ragu-ragu.

Webhi yang sudah duduk di bibir kasur hanya diam saja. Ia raih gelas berisi susu hamil. Sengaja, saat memberikan pada Mbok Jum dan memerintah wanita itu menyiapkannya setiap pagi, kemasan yang bergambar wanita hamil dalam box susu sudah ia copot. Entahlah, rencananya ingin menjadikan Chivar orang pertama yang mendengar kabar gembira ini memang sudah gagal. Namun, ia masih berharap dan memastikan Chivar mendengar langsung dari bibirnya tentang anak dalam kandungan. Webhi ingin melihat bagaimana reaksi pria itu saat tahu, meski keinginannya harus tertunda karena masalah yang tak diduga-duga.

"Nggak usah, Mbok."

Meminum segelas susu itu dengan susah payah, Webhi memejamkan mata sambil merasakan mual yang kembali datang setelah menelan habis cairan kalsium tersebut. Jangan dimuntahin lagi, Nak. Jangan ..., pintanya dalam hati.

"Non?"

"Ya, Mbok."

"Ibu lagi di Medan, tapi kalau Non mau ditemani Zeya sama Zoya biar Mbok kasih tahu. Biar Non nggak ... kesepian." Mbok Jum berdeham sebentar setelah berujar demikian.

Webhi menghela napas pelan. Saat ini ia sedang mengenakan kemeja Chivar yang sengaja disemprotkan parfum pria itu. Berharap besar bisa memanipulasi janin yang sepertinya sejak awal ada, tak ingin berjauhan dengan sang ayah. Kembali menoleh, Webhi mencoba mengulas senyum tipis pada wanita dengan daster hijau tua di dekat tempat tidur.

"Nggak usah, Mbok."

"Kalau begitu Mbok pamit dulu, nanti telepon aja kalau butuh sesuatu. Jangan turun ke lantai bawah kalau masih lemes, ya."

Webhi mengangguk mendengar titah Mbok Jum yang mulai pergi meninggalkannya, lalu berbaring perlahan di atas kasur yang terasa dingin tanpa sosok sang suami. Menyelimuti diri sambil mengatur napas pelan, Webhi nikmati perasaan rindu yang benar-benar mengganggu. Kemudian, membaui aroma dari kemeja biru yang sering digunakan Chivar. Mencoba meminimalisir rindu dan menyugesti pikiran dengan hal-hal positif. Syukurlah, mual yang tadi terasa mulai hilang meski tak sepenuhnya.

Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Membuka ruang chat bersama suaminya sebelum mengirim pesan pada nomor yang masih saja tak bisa dihubungi. Mengusap perutnya lembut, Webhi tak menyangka mendapati dirinya tersenyum di tengah kekacauan yang terjadi. Mencoba meresakan keberadaan darah dagingnya bersama Chivar sambil berharap jika kehadiran janin itu akan membawa kisah yang lebih baik bagi mereka semua.

Webhi ingin sekali mengajak makhluk dalam rahimnya bicara. Bercerita tentang kelakuan konyol yang selalu mengundang decak kesal dan tawa geli dari sosok pria yang sudah tiga hari tak pulang ke rumah. Namun, pada dasarnya Webhi bukan manusia yang pintar bicara hal-hal seperti itu. Jadi, saat tangannya sudah berada di atas perut yang masih rata, bukannya bertutur sapa pada jabang bayi yang keberadannya belum diketahui Chivar, bibir Webhi malah bergetar menahan tangis yang akhirnya pecah menjadi isak kecil saat keinginan berada dalam pelukan Chivar mulai mengusik hati.

Sabar ya, Bhi. Suamimu kospley jadi bang toyib dulu. Aaah cini aku aja yg peluk😥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top