64• Sama-Sama Terluka.
Vote dulu lurr!
________
****
Hari ini, seharusnya Chivar tersenyum lebar atau menampilkan cengiran konyol mendengar salah satu benihnya berhasil tumbuh menjadi janin. Karena sebelumnya, jangankan memiliki anak bahkan memikirkan pernikahan saja Chivar tak pernah. Seperti alasan yang pernah ia sebutkan, baginya pernikahan adalah penjara transparan yang menghukum seseorang karena kesalahan-kesalahan tak masuk akal.
Namun, siapa sangka? Lima bulan menjadi suami yang berkomitmen setia, Chivar justru merasa mendapat berkah luar biasa. Jika selama melajang ia pikir pulang ke bar dan berakhir tidur bersama jalang adalah hal paling menyenangkan, maka setelah bertemu dengan sosok wanita yang menunjukkannya pintu pahala, Chivar berubah pikiran. Ia akan mengatakan jika terbangun bersama sang istri setiap pagi adalah pemandangan indah yang tak pernah ia dapati.
Hanya saja, Chivar belum tahu jika perjalanan berumah tangga tak selalu mulus. Karena untuk mencapai singgasana kiani, mereka harus berada dalam bahtera yang diatapi cinta dan rasa saling percaya. Hal itu jelas sangat tak mudah. Banyak lubang, jalan terjal, bahkan persimpangan.
Kini pasangan yang baru mencecap rasa manis dalam mahligai rumah tangga tersebut sedang diuji Tuhan.
Saat itu, Chivar sedang tersenyum tipis setelah menyelesaikan pertemuan dengan kepala TBB yang harus ganti rugi padanya. Duduk di kursi dalam kantor sementara, ia pandangi beberapa potret sang istri dalam ponselnya. Gambar yang diam-diam Chivar ambil saat Webhi sedang terlelap, duduk di kursi rias, atau sibuk di taman bunga, ternyata membantu Chivar meminimalisir perasaan rindu yang sewaktu-waktu datang tak tahu malu.
Namun, saat sedang menikmati kegiatannya, notifikasi pesan dari nomor yang tak Chivar simpan dengan sebuah nama, mulai bermunculan. Awalnya Chivar abaikan saja sebelum rentetan pesan terus saja meneror, hingga mau tak mau ia buka pesan dari wanita yang pernah mengatakan hal-hal tak masuk akal.
Saat Chivar buka pesan tersebut, ada sebuah video berdurasi kurang dari 10 detik yang tak bisa ia abaikan. Video yang mampu menyulut api emosi Chivar hingga tak butuh pikir panjang, ia langsung bergegas dari sana dan membawa roda empatnya dengan perasaan campur aduk.
"Dev! Kirimin Abang nomor Ardaf!" perintah Chivar saat sambungan yang tertuju pada adik iparnya mendapat jawaban. Tak ada waktu untuk berbasa basi.
Chivar tak peduli apa pun selain bertemu Ardaf dan melampiaskan kemarahan yang benar-benar seperti wujud api di atas kepala. Apa pun yang ia pikirkan saat ini hanya tentang bagaiaman mematahkan tangan Ardaf karena telah lancang menyentuh miliknya. Chivar bahkan tak mau pusing memikirkan bagaimana Grace dapat video itu. Jika tindakan memasang cctv dalam apartemen seseorang seperti yang dilakukan Grace adalah hal gila, maka saat ini Chivar lebih gila karena melihat dengan nyata perselingkuhan istri dan kakak iparnya.
Sial!
"Oh, Mas Ardaf. Kebetulan lagi ada di rumah Mamah, Bang. Abang mau ngomong--"
Tak mendengar ucapan Devan hingga tuntas, Chivar putus sambungan itu. Kemudian, seperti mendapat angin segar karena tahu keberadaan mangsanya, tanpa banyak berpikir Chivar bawa roda empat itu menuju kediaman Andreas dengan hati yang bergejolak penuh emosi. Bahkan saat mobilnya sampai, ia seperti orang yang tak memiliki etika karena menekan kelakson berkali-kali hingga satpam yang sudah tahu siapa dirinya, langsung buru-buru membuka gerbang tinggi rumah itu untuk mobil yang langsung ia lesatkan dengan cepat.
Tanpa aba-aba, Chivar masuki rumah besar Andreas setelah keluar dari kereta besinya. Kemudian, memberi pelajaran pada pria yang kebetulan sedang ada di ruang tengah.
***
Webhi berhasil mengikuti Chivar yang masih tersulut api emosi. Memasuki mobil yang dikendarai pria itu dengan perasaan takut dan ragu. Namun, Webhi merasa harus memberi tahu segalanya meskipun kebingungan karena kemarahan Chivar masih menari-nari di kepala. Ia mulai menerka, apa mungkin kejadian semalam adalah bibit emosi Chivar? Tetapi bagaimana mungkin Chivar tahu karena melihat wajah terkejut Ardaf saat Chivar datang, sudah memberi tahu jika Ardaf mungkin tak berpikir melakukan hal sejauh itu.
Selama perjalanan yang untung saja menuju arah pulang, sudah tak terhitung berapa kali Webhi menarik napas gemetar sambil meremas cardigan yang ia kenakan. Kereta besi itu melaju di atas kecepatan tinggi. Mungkin saja jika Chivar tak sengaja atau sengaja melakukan kesalahan, bukan rumah yang akan mereka datangi.
Melirik pria yang masih mengeraskan rahang dengan tatapan tajam pada jalanan, Webhi mulai terisak melihat jemari Chivar yang terdapat bercak darah Ardaf. Sekali pun tak pernah ia bayangkan tontonan menyeramkan tadi terjadi di depan matanya. Mendengar umpatan dan makian yang keluar dari mulut Chivar membuat ia benar-benar takut untuk membuka suara.
Sesampainya di rumah, Webhi yang turun mengikuti Chivar mulai merasa mual dan pening hingga hampir saja tersungkur saat menaiki anak tangga menuju pintu
utama.
"Chi ...," panggilnya saat sudah memasuki rumah. "Aku mau bicara."
"Apa yang mau kamu bicarain?!" Memutar tubuh dengan raut yang tak berubah sedikit pun, Chivar tatap wanita itu dengan dada yang turun naik.
"Kamu kenapa? Aku takut, kenapa kamu tiba--"
"Takut?!" balas Chivar defensif. Ia raih kasar dagu Webhi dengan sebelah tangan sambil menatap penuh kebencian. "Takut aku bunuh selingkuhan kamu atau takut ketahuan?! Takut yang mana, Bhi?!"
Menggeleng dengan air mata yang merembes di sudut mata, Webhi tak berani menatap iris gelap yang menyorotnya dengan segudang kemarahan. Meski belum sepenuhnya mengerti, Webhi rasa Chivar sudah mengetahui kejadian semalam dengan menyimpulkan kesalahpahaman.
"Chi, sakit ...," rintih Webhi pelan sebelum terhuyung saat Chivar melepaskan cengkramannya kasar. "Dengerin penjelasan aku dulu!" Tak memedulikan rasa sakit pada rahang, Webhi coba meraih tangan pria yang hendak pergi.
"Penjelasan apa lagi?!"
Meski amarah benar-benar menyelimuti pria itu, Webhi bisa melihat dengan jelas sudut mata yang basah dan berkaca-kaca. Chivar tak hanya marah, tetapi kecewa dan terluka. Hal itu membuat hatinya benar-benar merasa sakit.
"Sebenernya apa rencana kamu dalam pernikahan kita?!" Chivar singkirkan lengan Webhi yang masih menggenggam tangannya, lalu menarik rambutnya kasar demi menghalau keinginan mencekik wanita itu. "Apa yang sebenernya kamu rencanain! Apa dari awal kamu cuma jadiin aku tembok buat nutupin hubungan kamu sama bajingan itu?!"
Webhi tak mampu melihat kekecewaan di sepasang manik gelap itu. Ia menggeleng sambil berujar maaf dengan nada penyesalan. Dari awal, ia memang salah karena menggunakan Chivar demi mengalihkan perasaan. Namun, detik ini hatinya benar-benar sudah terkunci dalam ruang baru yang dihuni Chivar.
"Kenapa, Bhi?" Suara yang sarat akan kekecewaan itu makin melemah. Chivar menarik gusar napas yang rasanya sulit untuk terasa normal.
"Maaf, aku minta maaf," tutur Webhi sambil menunduk penuh sesal.
Lantas air mata yang bahkan tak pernah muncul setelah kematian sang ayah, kini benar-benar menetes melewati pipi Chivar. Melangkah untuk melampiaskan marah pada tembok dengan raung tangis yang tertahan di tenggorokan, Chivar benar-benar merasa hancur. Ia abaikan rasa sakit dan darah yang mulai mengucur ke sela-sela jari, menulikan telinga dari teriakkan Mbok Jum dan Webhi yang memintanya berhenti. Saat ini hatinya luluh lantak. Bahkan sakit pada tubuh tak ia rasakan karena sanubari yang tak pernah tersentuh siapa pun kini terluka hebat oleh orang yang sedang ia puja.
Lantas Chivar harus bagaimana?
Semua sudah terjadi. Hatinya jatuh pada wanita yang hanya menggunakan dirinya sebagai wadah menampung kecurangan, lalu mentertawakan ketololannya dengan pria lain. Setidaknya saat ini, itulah yang Chivar rasakan.
"Chivar, please berhenti!" pinta Webhi masih dengan tangis yang makin tak terkendali.
"Kamu nggak berhak, Bhi!" Menoleh kembali pada wanita itu, Chivar lempar tatapan penuh luka yang tak pernah ada sebelumnya. "Demi Tuhan, kamu nggak berhak!" Kamu nggak berhak nyakitin aku sampai kayak gini! lirihnya dalam hati.
"Aku minta maaf, aku minta maaf." Meraih tangan Chivar yang terluka, Webhi makin terisak saat lengannya kembali ditangkis kasar. "Kamu perlu obat, Chi."
"Nggak usah munafik! Seberengseknya aku, nggak pernah sekali pun berpikir buat mainin pernikahan." Tak mampu lagi menyembunyikan isaknya, Chivar usap wajah yang sudah sangat kacau dengan air mata. "Kamu nggak berhak kayak gitu, Bhi!"
"Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya. Aku mohon, kamu salah paham, Chi." Webhi yang masih bisa menahan tubuh agar tak jatuh karena pening hebat di kepala, kembali memohon untuk didengarkan. "Aku mohon, dengerin penjelasan aku dulu."
Mereka sama-sama terluka. Sama-sama tenggelam dalam rasa kecewa. Webhi yang masih terguncang dengan kejadian semalam dan Chivar yang tak pernah menyangka akan mendapat penghianatan.
"Aku mohon, kasih aku kesempatan buat jelasin ini."
Bukannya mereda, Chivar makin emosi mendengar permintaan itu. Selama ini, ia selalu menuruti Webhi tanpa pikir panjang hingga rasanya hanya ia yang berperan dalam pernikahan. Kembali mengetatkan rahang, Chivar pegang lengan Webhi kasar. Menggenggamnya dengan rasa benci hingga ringisan sakit yang muncul di wajah wanita itu tak ia pedulikan.
"Aku nggak pernah ketemu perempuan selicik kamu, Bhi! Kamu bener-bener licik!" Lalu Chivar lepas pegangannya kasar sebelum pergi meninggalkan Webhi yang kembali menangis di belakang.
Nulis bab ini, kepala saya ikut berdenyut🙂
Chivar, gapapa kamu mending keluar rumah dulu buat nenangin diri. Tapi jangan ngehubungin Grace, ya!
Habis itu balik rumah dan dengerin penjelasan Webhi. Istri kamu bawa kabar gembira meski pengakuannya yang lain bikin kamu terluka. Gapapa Sayang, sekarang hati Webhi udah Tok di kamu kok.
Ardaf mah udah masuk jaman jahiliyah.😭 masa laluuu banget.
Spoiler konflik utama guys!
Maren-maren kan baru ecek-ecek.
Nah, konflik ini mungkin bakal jadi puncaknya.
Yang pinisirin silakan mampir, kasih komen juga yaa di akun yutupku~~
See you💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top