63• Hanya Pengalih Rasa.
Vote dulu baru baca.
Sudah beranj*ng-anj*ng pada Ardaf.
Mari temani Chivar berbingsit-bingsit🙂
___________
Memang sulit jika bicara tentang perasaan. Bagi orang-orang yang ekspresif, mungkin mudah menjabarkan rasa yang bersemayam di palung jiwa. Namun, bagaimana dengan mereka yang terbiasa bersembunyi bahkan memilih untuk tak peduli meski sadar betul tindakannya malah menyakiti diri sendiri.
Benar, kan?
Memendam rasa tak pernah ada yang benar-benar bahagia.
Hanya saja, sekarang rasa yang pernah Webhi pelihara sudah sirna bagai bunga dendelion yang ditiup angin musim gugur. Menerbangkan kelopaknya seperti kapas ke udara lepas. Hingga Webhi benar-benar yakin jika rasa yang sempat membuat hatinya lara kini hanya meninggalkan seberkas kenangan indah, karena ruang baru yang ia buat berhasil mengalihkannya.
Kendati demikian, kini hatinya kembali terluka hebat dengan rasa marah dan kecewa yang mulai merambat.
Hah! Lelucon apa lagi yang dibuat semesta?
Setelah berhasil mendorong Ardaf yang makin menggila ingin menjamah tubuhnya, Webhi meraung dalam tangis yang tak berkesudahan, lalu memungut dress merah di lantai yang dibuka paksa oleh kakaknya sambil merasakan denyut nyeri yang kian menggerogoti hati. Sudah berhasil mengenakan pakaian meski berantakan, Webhi secapatnya pergi meninggalkan Ardaf yang diam mematung di atas tempat tidur setelah ditampar oleh kesadaran.
Cukup lama Webhi menangis di dalam kereta besinya, merasakan harga diri yang terluka, menikmati bagaimana kepungan rasa bersalah dan marah makin merajam jiwa. Kemudian, tak pikir panjang lagi ia lajukan roda empat itu menuju kediamannya. Hanya satu hal yang Webhi butuhkan, bertemu Chivar dan memanfaatkan pria itu untuk menyentuhnya di mana-mana. Berharap sentuhan sialan Ardaf hilang dari tubuh dan ingatannya.
Hingga pagi menjelang tanpa sedetik pun rasa kantuk datang, Webhi yang merasakan ciuman di tengkuknya mulai menoleh ke belakang. Mendapati pria yang mungkin menyimpan banyak tanya di kepala, tersenyum menatapnya. Webhi bersyukur Chivar tak memaksanya membuka suara untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Karena ia yakin, pria itu pasti kebingungan dengan kejadian semalam.
"Morning." Memberi kecupan pada kening sang istri, Chivar tarik selimut hingga menutupi dada Webhi. "Bhi?"
Wanita itu tak menjawab hanya menatap lekat sebelum masuk ke dalam pelukan dan menghidu aroma tubuhnya dengan iringan napas berat. Chivar gatal sekali ingin bertanya apa yang saat ini Webhi rasakan, karena semalam meski puncak gairah mereka dapat dengan rasa puas seperti biasa, Chivar tak buta untuk tak melihat bagaimana sorot gelisah sesekali berkelebatan di sepasang telaga bening istrinya. Namun, ia yang tak ingin memaksa Webhi mengatakan hal dalam kondisi tak siap, memilih menunggu hingga pagi saja.
"Bhi?"
"Maaf karena kita gagal dinner." Tak memberi kesempatan Chivar bicara, Webhi mendongak setelah berhasil mematri senyum tipis di bibir pucatnya. "Hari ini kamu sibuk nggak?" Karena ia benar-benar menginginkan Chivar tetap ada di sampingnya saat ini.
"Hmmm, kamu mau aku sibuk atau nggak?"
"Aku serius, Chi." Tangan Webhi bergerak, mengusap rahang tegas Chivar sebelum merasakan kecupan-kecupan singkat menyapa telapak tangannya.
"Mungkin iya. Ada sedikit masalah sama produsen material. Kemarin sopir truk yang kirim batu split sama beberapa bahan lain kabur. Naren udah bilang kalau pemilik TBB bakal datang hari ini dan aku mau ketemu sama dia." Chivar hela napas panjang setelah bicara demikian. "Kamu baik-baik aja, kan, Bhi?"
Webhi terdiam dengan tangan yang meremas selimut, lalu bersyukur karena berhasil mengangguk meski dalam hati benar-benar sedang menjerit menahan sakit.
"Sebelum makan siang kayaknya udah selesai. Kenapa, Bhi? Kamu nggak mau aku berangkat?"
Webhi benar-benar merasa sesak sebelum membiarkan kepalanya menggeleng dengan tangan yang masih megusap wajah Chivar. Mungkin belum tepat membicarakan hal ini, selain pikiran yang belum sepenuhnya tenang, ia juga butuh sedikit istirahat dengan memejamkan mata agar pening di kepala sedikit mereda.
Webhi ingin jujur, bukan hanya tentang kabar baik yang sejak kemarin berada di ujung lidah. Namun juga tentang segalanya, tentang alasan ia menikah, juga tentang penghianatan hati yang sejak awal ia lakukan. Jika ia sanggup, mungkin tentang perlakuan bejat Ardaf semalam. Meskipun untuk yang terakhir mungkin akan ia pikirkan ulang hingga benar-benar siap.
Webhi tak ingin menutupi apa pun karena hatinya saat ini benar-benar sudah digenggam Chivar. Sekarang pria ini yang menjadi dunianya, ia tak mau datang menjadi awan kelabu yang menggantung di wajah cerah pria itu. Meski tak tahu bagaimana reaksi Chivar, setidaknya Webhi tak ingin lagi membebankan hati karena menyembunyikan semuanya sendiri.
"Ya udah."
"Ya udah?" ulang Chivar dengan nada bertanya. "Itu aja? Nggak ada yang mau kamu bicarain?"
"Ada."
"Ya udah sekarang aja, ketemuan sama kepala TBB bisa digantiin Naren, kok."
Webhi tersenyum mendengar nada penasaran itu. Beringsut memberi kecupan yang sudah tak ragu-ragu lagi ia lakukan, wanita itu bangun sambil menahan selimut di dadanya. "Nanti siang aja, habis kamu pergi aku mau tidur lagi. Sekarang kamu mandi, ya," jelasnya lembut.
Mengangguk patuh, Chivar daratkan kecupan pada punggung telanjang Webhi sebelum beranjak menuju kamar mandi.
Setelah berhasil mengistirahatkan diri dan memberi sugesti agar tak mengingat kejadian semalam, Webhi yang baru selesai menelan vitamin dan menghabiskan sarapan dengan segelas susu hamil, sedang duduk di kursi balkon sambil menatap riak air kolam yang terlihat menyegarkan.
Merasakan kegamangan yang kembali datang, ponsel di hadapannya berbunyi menampilkan kontak yang ia beri nama Mamah. Tanpa pikir panjang, Webhi raih benda itu dan mengangkat panggilan sang ibu. Baru beberapa sapaan terlontar lemah dari mulutnya, mata Webhi dibuat melebar dengan informasi yang ia dengar. Lantas bagai dikepung puluhan zombie yang akan memakannnya hidup-hidup, ia gegas pergi dari rumah untuk mengunjungi kediaman orang tuanya.
****
Masih dengan perasaan tergesa saat sang ibu mengabarkan jika ayahnya bertengkar hebat dengan Ardaf, kaki Webhi yang baru menjejaki lantai granit berwarna hitam itu harus terhenti saat mendapati tontonan yang mengejutkan. Di ruang tengah yang hanya terdapat ibu, ayah, dan pria yang semalam melecehkannya, Webhi mematung tak percaya melihat satu tamparan sang ayah mendarat keras di pipi Ardaf.
Para pekerja berkumpul di halaman belakang. Meski digerayangi rasa penasaran, 12 orang yang memiliki tugas berbeda itu bisa apa saat majikannya menyuruh mereka semua keluar.
"Mas, ngomong yang bener! Mamah nggak ngerti." Lulu sudah banjir air mata saat putra pertamanya mengatakan hal yang tak pernah ia sangka-sangka.
Bagaimana tak terkejut saat Ardaf datang ingin bicara dengan ayah dan ibunya dan meminta maaf karena semalam hampir memperkosa adiknya. Kemudian, Lulu yang marah sambil menjerit dalam tangis, menatap suaminya yang bahkan tak banyak bereaksi dengan hal menggemparkan itu. Lantas dengan tak tahu malu, Ardaf berujar menginginkan Webhi menjadi istrinya. Respons seperti apa yang harus Lulu keluarkan, jika bukan menggeleng tak percaya dengan tangis yang makin histeris.
"Mah ...," panggil Webhi ragu. Tali tas yang menggantung di bahu menjadi pengalihan rasa gusar. Ia remas benda itu kencang sambil menatap tiga orang yang memberi atensi padanya.
"Webhi, Sayang ... kamu baik-baik aja, kan?" Berjalan cepat menuju putrinya yang mematung tak jauh dari mereka, Lulu yang langsung memeluk Webhi lantas menangis saat mendengar isak lolos dari wanita muda itu. Lalu makin tak kuasa saat tubuh Webhi bergetar ketakutan dalam pelukan. "Astaga ...," lirihnya penuh kekecewaan.
"Webhi ... Mas minta maaf, semalam--"
"Jangan, Daf!" Yazir yang merasa bersyukur bisa mengontrol emosi hingga tak membuat jantungnya sakit lagi, berujar saat Ardaf ingin menghampiri Webhi. "Sekarang kamu pergi dulu. Webhi nggak bisa lihat kamu."
"Pah ... Mas salah, Mas mau minta maaf."
"Jangan sekarang," sahut Yazir saat dua wanita yang masih saling memeluk terlihat makin menangis. "Papah bener-bener kecewa sama kamu, Mas. Kenapa kamu sampai sejauh itu!" Meradang menatap pria yang baru saja mendapat tamparannya, Yazir memilih beranjak meninggalkan ruang tamu.
Ardaf yang urung menghampiri Webhi, kembali menunduk. Kebejatannya semalam memang terpengaruh oleh alkohol, tetapi tetap saja dibantu keegoisan yang entah sejak kapan begitu pongah bersemayam dalam dirinya. Bahkan mengingat tangis dan permintaan memelas Webhi agar dibebaskan saat ia begitu brutal mencumbunya, bagai ujung katana yang tanpa ampun merobek kulitnya. Ardaf menyesal melampiaskan marah, kecewa, dan kecemburuannya dengan cara bejat seperti itu.
"Ayo ke kamar Mamah, Bhi." Merangkul wanita yang sudah tergugu hebat, Lulu menoleh sekilas pada sang putra yang berpendar putus asa.
Baru saja langkah dua wanita itu menjauh dari ruang tengah, suara teriakkan membuat mereka berdua menoleh dengan raut terkejut. Di sana, dengan langkah lebar dan wajah bengis yang tak repot-repot disembunyikan, Chivar tatap pria yang juga terkejut dengan kedatangannya.
"BANGSAT!" Menerjang tubuh Ardaf sambil melayangkan pukulan keras pada rahang pria itu, Chivar yang datang dengan kabut emosi yang begitu tebal menyelimuti hati, menatap nyalang pria yang seharusnya ia hargai sebagai kakak ipar.
"SETAN! GUE NGGAK PERNAH NGAMPUNIN SIAPA PUN YANG BERANI NYENTUH PUNYA GUE!" Kembali memberi pukulan bertubi, Chivar menulikan diri pada pekikan nyaring dua wanita di sana.
"Papah!" jerit Lulu sambil berlari memanggil suaminya.
Sementara Webhi yang terkejut bukan main, hanya mampu menutup mulut melihat Chivar begitu kesetanan memukuli Ardaf dengan posisi tubuh menduduki pria itu.
"Bang Chivar!" Devan yang terlihat masih pucat, menuruni anak tangga tergesa dengan raut tak kalah terkejut.
Keadaan makin gaduh saat dua satpam masuk ke rumah bersama tiga orang tukang kebun. Mereka yang ingin membantu malah menonton perkelahian itu dengan sorot bingung dan takut.
"Bajingan! Gue nggak akan keluar sebelum lo mati!"
Kembali mendaratkan pukulan yang kali ini mungkin saja bisa meremukkan tulang rahang Ardaf, Chivar makin mengeraskan rahang saat pria itu menghindar dan secepat kilat membalas pukulannya. Namun, meski postur tubuh mereka sama-sama kuat untuk sebuah perkelahian sengit, tetapi emosi yang sudah menutupi akal sehat Chivar membuatnya memiliki kekuatan yang sulit ditaklukan Ardaf.
"Webhi nggak cinta sama lo! Dia cintanya sama gue! Lo cuma pelarian!" seru Ardaf saat berhasil bangun dari kurungan Chivar.
"Keparat!" Beralih mencekik leher Ardaf yang baru saja melontarkan ocehan, Chivar yang seperti memanggil iblis neraka untuk mengisi jiwanya tak peduli jika hari ini akan melenyapkan nyawa dengan tangannya sendiri.
"Chivar, berhenti!"
Bahkan suara Webhi yang mulai ketakutan tak Chivar pedulikan.
Dengan pasokan udara yang makin menipis, Ardaf sama sekali tak merasa takut meski kucuran darah sudah menetes lewat keningnya. Ia malah menantang Chivar dengan tatapan serupa. "L-lo cuma pelarian! Lelaki kayak lo emang pantes dijadiin pelarian!"
"Astaga, berhenti!" Yazir memerintah tegas saat kembali memasuki ruang tengah. Dadanya mulai sakit melihat kejadian itu.
Dua satpam yang bergerak meraih tubuh besar Chivar agar berhenti mencekik, terkena imbas tendangan yang membabi buta.
"Ardaf, Chivar! Udah Sayang!" Lulu memanggil dengan raung tangis yang tak di pedulikan.
"Chi, please berhenti!" Webhi yang ragu-ragu mendekati Chivar, makin menangis saat pria itu terlihat sangat berhasrat untuk membunuh Ardaf. "Plesae, berhenti! Aku mohon!"
Perlahan cekikannya mulai mengendur dan keadaan itu dimanfaatkan dua satpam untuk menarik pinggang Chivar, sedangkan tukang kebun dengan sigap membawa tubuh Ardaf yang hampir limbung ke lantai.
"Lepasin! Bangsat!" maki Chivar pada dua satpam yang memerangkapnya. "Lo bilang jijik masuk bar, tapi kelakuan lo nggak jauh beda sama binatang!" Ia sorot pria yang sudah sangat babak belur. Meski begitu Ardaf tak sedikit pun terlihat gentar.
"Chi, udah ...," bujuk Webhi ketakutan sambil memegang lengan Chivar.
Lantas seperti diguyur seember air saat kobaran api hampir melahap tumpukan kertas, Chivar yang tiba-tiba saja mendapat pelukan saat dua satpam membebaskan tangannya, menarik napas dalam sebelum merasakan tangis wanita dalam pelukan. Bukan membalas seperti biasa, Chivar justru mendorong Webhi sebelum melempar tatapan tajam pada wanita itu. Kemudian, melenggang pergi meninggalkan kagaduhan yang ia lakukan di dalam rumah besar Andreas.
Kamu tahu dari mana Chi? Aku belum cepu padahal, Ardaf juga baru bilang sama ortunya doang😥 gak nyangka ya, yang sejak chapter pertama sebaik itu ternyata bingsit, yang begajulan dan selengean hatinya soft banget.
Masih ingat? Perkara kursi digeser aja Chivar merengut, apalagi ini punyanya di jamah paksa😥😭
Betwe bantu folow akun ini ya~~
Atau kalau mau liat promosi cerita ini berseliweran, kalian bisa follow ig ku di atas tuh. Tencuuu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top