62• Sebuah Pengakuan.
💙
Sudah siap mereog?🙂
Vote dulu, ya. Yang belum follow, silakan follow dulu. Aku tunggu!
☆☆☆☆☆☆☆
"Mbak nginep di sini aja, ya?"
Dengan punggung tangan yang terpasang selang infus, Devan menatap Webhi yang sibuk membenahi meja belajarnya. Ia turunkan kaki dari atas kasur sambil terus memperhatikan kakak perempuannya yang beberapa jam lalu sampai di rumah.
"Nggak bisa, Dev. Mbak ada janji sama Chivar."
Berjalan menghampiri pemuda itu, Webhi tersenyum melihat Devan mendengkus. "Kurangi dong begadangnya. Kamu tuh, bener-bener nyusahin banget kalau kayak gini. Nggak mau ke rumah sakit, obat aja dari pagi nggak kamu minum. Mau sembuh pakai cara apa coba kalau lagi sakit gini?" cecarnya santai.
"Dengerin Mbak Webhi, tuh!" Lulu berseru setelah berhasil membuka pintu kamar Devan. Ia berjalan menuju anak bungsunya sambil membawa nampan berisi buah dan camilan. "Masih nggak mau minum obat juga?" Kemudian, memeriksa kening Devan setelah meletakkan potongan buah di atas nakas.
"Nggak usahlah, Mah. Aku udah nggak demam juga, kok."
Mendengkus mendengar jawaban Devan, Lulu yang sudah duduk di tepi kasur kini menatap Webhi yang memilih kursi belajar untuk ditempati. "Mas Ardaf juga lagi sakit, Bhi," katanya khawatir.
"Mas Ardaf sakit, Mah? Kenapa nggak pulang ke sini?"
Terkejut mendengar kabar pria yang beberapa minggu ini tak menghubunginya, Webhi yang sejak tadi menahan-nahan kabar bahaginya, berubah panik sekaligus khawatir dengan keadaan Ardaf. Sejak datang ia memang ingin bertanya tentang pria itu karena setelah acara makan siang sebulan lalu, Ardaf tak pernah menghubunginya lagi dan Webhi pun sebaliknya.
Entahlah. Webhi baru sadar jika ketidakhadiran Ardaf membuatnya tak merasa aneh atau kehilangan seperti yang dulu-dulu. Justru saat pikirannya masih melanglang buana, tangannya kembali menyentuh perut. Mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba saja melintas di kepala.
Apa sekarang ia benar-benar sudah melupakan Ardaf sebagai pria nomor satu di hatinya?
"Mamah juga nggak tahu. Ardaf nggak kasih kabar ke orang rumah. Itu aja tahu karena Papah tadi main ke perusahaan dan pas mau ketemu Ardaf, sekretarisnya bilang Ardaf udah dua hari nggak masuk. Katanya sakit." Mendesah khawatir Lulu menoleh pada Devan. Kemudian, mendengkus saat pemuda itu mulai asyik bermain game dalam ponsel sambil mengunyah potongan buah yang ia bawa.
"Terus Mamah udah nelepon Mas Ardaf belum?" Webhi kembali menarik atensi sang ibu yang sepertinya hendak memarahi Devan.
"Udah, tadi pagi langsung Mamah telepon, katanya cuma sedikit kelelahan dan mau istirahat di apartemen aja. Mamah pusing karena khawatir, Bhi. Udah adik kamu susah banget diurusnya kalau lagi sakit, sekarang Ardaf sakit nggak bilang-bilang. Kamu tahu kan, Ardaf kalau sakitnya masih bisa jalan, dia nggak akan ambil cuti di kantor. Kalau sampai libur gini pasti parah. Udah Mamah suruh pulang, tapi Anaknya keukeuh nggak mau." Lulu bicara dengan raut gusar yang tak bisa ia sembunyikan.
"Mamah tadi buat bubur, kamu nanti pas mau pulang bisa nggak anterin ke Ardaf? Mamah mau tahu kabarnya dari kamu, kalau suruh sopir pasti Ardaf langsung usir sopirnya," imbuhnya lagi sambil menatap Webhi yang terdiam sejenak sebelum mengangguk ragu.
"Bisa, Mah."
Webhi juga khawatir dan ingin bertemu dengan pria itu. Ia tak bisa menghindar karena bagaimana pun juga, Ardaf masih menjadi seseorang yang penting. Meskipun saat ini posisinya tampak samar jika dihadirkan dengan sosok Chivar.
Melirik jam yang ada di pergelangan tangan, Webhi mengangguk yakin. Masih lama untuk waktu makan malam bersama Chivar, ia rasa tak masalah menjenguk Ardaf untuk tahu kondisi sebenarnya.
Setelah berpamitan pada ibunya dan Devan--karena sang ayah sedang berada di rumah orang tua Sabil--akhirnya Webhi memberanikan diri menyambangi apartemen Ardaf. Ia sengaja masih belum membagikan kabar gembira yang sejak tadi berada di ujung lidah. Menurutnya tak etis jika bukan Chivar yang menjadi orang pertama mengetahui kabar ini. Webhi benar-benar tak sabar memberikan test pack yang sejak tadi tersimpan rapi di dalam tas pada pria dengan gaya terkonyol yang pernah ia temui.
Sambil membawa lunch box berbahan stainless steel, Webhi tekan bel apartemen yang pernah beberapa kali ia datangi. Cukup lama ia berdiri di sana, mulai merasa bingung dan khawatir karena pemilik unit itu tak kunjung membukakan pintu. Hendak menyambar ponsel dalam tas untuk menghubungi Ardaf, tiba-tiba saja benda yang sudah lima kali ia bunyikan belnya diiringi ketukan-ketukan tak sabar, terbuka menampilkan pria yang terlihat kacau.
"Mas?"
"Webhi?"
Seolah dua orang yang tak pernah bertemu selama bertahun-tahun, mereka sama-sama melempar tatapan tak percaya. Webhi dengan keraguannya untuk masuk karena bau alkohol yang menyengat saat pintu terbuka, sementara Ardaf yang masih memiliki sedikit kesadarannya tak menyangka wanita yang mengganggu pikirannya, berdiri di depan pintu apartemen.
"Kata Mamah, Mas Ardaf sakit?"
Menggeser tubuh untuk memberi jalan pada Webhi, Ardaf berdeham samar sebelum menjawab pertanyaan itu. "Cuma sedikit pusing," katanya dan merasa bersyukur karena baru beberapa jam lalu ia bereskan kekacauan ruang tengahnya.
"Mamah nyuruh aku bawain bubur. Devan sakit--"
"Devan parah sakitnya?" sela Ardaf sambil menyandarkan bokong pada meja pantri sementara Webhi sudah duduk tenang di sofa yang memiliki jarak tak jauh darinya.
"Kata dokter cuma demam biasa, sih. Devan susah banget diajak ke rumah sakitnya. Jadi dokter belum bisa kasih diagnosa yang detail. Selama demamnya nggak naik lagi, katanya itu cuma efek kurang tidur." Webhi berdeham saat tatapan Ardaf benar-benar tak putus selama ia bicara. "Mas ... minum?" tanyanya ragu dan pria itu mengangguk tanpa beban.
"Ada masalah sama perusahaan, ya?" Webhi mulai tak nyaman saat Ardaf yang biasanya menatap hangat kini terlihat begitu mengamati.
Berdecak samar, Ardaf bawa tungkainya menuju lemari es. Menyambar botol air mineral sebelum kembali menoleh pada wanita yang bisa ia rasakan ketidaknyamanannya. Seumur hidup, baru kali ini ia melihat Webhi seperti itu. Kembali berdiri di posisi semula, Ardaf hela napas sambil menyalurkan perasaan gusar pada botol air dalam genggaman.
"Mas Ardaf mending pulang aja ke rumah, biar Mamah nggak khawatir."
Biasanya jika berkunjung, Webhi akan aktif di tempat itu. Entah menggeledah lemari es Ardaf atau sekedar memeriksa persediaan makanan dalam kabinet yang biasanya terisi mie, pasta, atau kapsul kopi yang menjadi favorit pria itu.
Namun, kali ini Webhi merasa asing. Entah dengan tempat itu atau perasaannya sendiri. Ditambah sorot Ardaf yang begitu berbeda dari biasanya. "Buburnya masih hangat, Mas. Dimakan sekarang aja," perintahnya ragu.
"Aku pusing, Bhi." Setelah menimang kalimat yang tumpang tindih di kepala, akhirnya Ardaf keluarkan yang benar-benar bisa ia cerna.
"Mas udah periksa ke dokter belum?" Bangun dari sofa, Webhi beranjak menuju pria itu dengan raut khawatir. "Pulang aja deh, Mas. Bukan cuma Mamah yang khawatir, aku juga."
"Aku terlambat ya, Bhi?" Meletakkan botol yang sama sekali belum dibuka, Ardaf menyisir rambutnya dengan jari. "Aku telat banget ya, sadarnya?"
"Mas ...." Meski belum sepenuhnya mengerti, Webhi mulai merasa takut menatap Ardaf.
"Sekarang aku sadar, Bhi. Aku suka kamu bukan sebagai kakak. Tapi sebagai pria dewasa," terang Ardaf tanpa ragu. Ia sorot wanita yang begitu terkejut di hadapannya. "Aku harus gimana sekarang, Bhi?" Karena selama sebulan ia sedang gila-gilaan menyibukkan diri agar tak memikirkan wanita ini.
Melupakan perasaan yang tumbuh kian pesat sambil mematikan ego yang ingin memiliki Webhi seorang diri. Rencananya hampir berhasil meski Ardaf menyiksa tubuh dan para bawahannya yang mau tak mau harus ikut di jam kerjanya yang gila. Namun, bagaimana mungkin rencana yang sebulan ini menyiksa diri harus kacau karena ucapan Grace beberapa hari lalu.
"Aku tahu ini terlambat, Bhi." Sambil menunduk dan mengusap wajahnya, Ardaf halau perasaan ingin menyekap Webhi hanya untuk dirinya. "Tapi aku--"
"Jangan, Mas!" Suara Webhi mulai bergetar. Ia tahu, perasaannya mudah sekali emosional akhir-akhir ini. Namun, untuk sekarang ia harap bisa menghadapi situasi membingungkan ini dengan tenang. "Aku kayaknya harus pergi, Mas. Aku--"
"Bilang kalau kamu nggak pernah nyimpen perasaan lebih ke aku, Bhi?"
Tersentak saat tangannya diraih Ardaf, Webhi yang hendak menyambar tas di sofa untuk bergegas pergi, kembali berhadapan dengan pria itu.
"Mas Ardaf lagi mabuk, kita nggak bisa bicara serius. Aku--"
"Aku sadar, Bhi!" Suara Ardaf tiba-tiba meninggi hingga membuat Webhi mundur selangkah karena terkejut. "Aku sadar kamu ada di sini, aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu, dan aku sadar kalau sekarang kamu udah punya suami!" lanjutnya dengan nada kian melemah di akhir kalimat. Sudut bibir Ardaf tersungging miris.
Sementara itu, bibir Webhi bergetar menahan tangis yang ingin keluar. Tangannya mulai gemetar dengan perasaan yang campur aduk. Ia tatap pria yang tanpa aba-aba seperti menodong pisau tepat di hatinya. Sakitnya masih sama, tetapi bukan karena pernyataan itu melainkan tatapan berpendar putus asa yang dilayangkan Ardaf. Beberapa bulan lalu jika ia memiliki keberanian sebesar ini, mungkin tatapannya akan seperti itu.
"Bhi?" Ardaf raih kembali tangan yang gemetar, menyorot wajah yang ternyata sudah banjir air mata. "Kasih tahu aku?"
Webhi menggeleng cepat. "Aku mau pulang, Mas." Lalu terisak saat tubuh yang dulu memberi kenyamanan baginya, mendekap erat. "Aku mau pulang ...," sambungnya makin terisak.
"Aku cuma mau denger gimana perasaan kamu, Bhi?" Ardaf memohon lemah.
"Perasaanku udah selesai." Mendorong tubuh Ardaf, Webhi beranikan diri untuk menatap iras gelap itu. "Aku bener-bener udah selesai sama perasaan itu. Sekerang ...," lanjutnya sambil meraba perut. Bukan. Bukan janin itu yang membuat ia berhenti mencintai Ardaf melainkan pria konyol yang saat ini namanya ia ingat. "Aku ada janji sama Chivar--"
"Tapi kamu pernah mencintai aku, kan?" sela Ardaf mulai meradang saat nama pria itu disebutkan. "Jawab, Bhi!"
"Semuanya udah selesai, Mas. Perasaan apa pun itu udah selesai!" balas Webhi tak ragu-ragu.
"Nggak! Bahkan kita belum memulai dan sekarang aku mau semuanya dimulai."
Setelah ucapan itu selesai, Ardaf raih tengkuk Webhi. Memberi ciuman kasar dan menuntut, membiarkan tangannya terus berkelana meminta sesuatu dan ia benar-benar tak peduli dengan status Webhi.
***
"Mbok, Webhi belum pulang?"
Menuruni anak tangga, Chivar yang baru saja sampai rumah merasa bingung karena tak mendapati mobil sang istri dalam garasi. Melirik jam yang menunjukkan angka tujuh, Chivar merogoh ponsel dan melihat pesan Webhi yang mengabarkan jika kondisi Devan sudah membaik. Namun, pesan itu dikirim di jam tiga sore dan harusnya Webhi sudah pulang sekarang.
"Apa lupa? Ck, pikun banget sih, jadi manusia."
"Iya, Den. Non belum pulang."
Sibuk bermonolog di bawah tangga, Chivar memberi atensi pada wanita baya yang sudah berdiri di depannya.
"Oh," sahut Chivar sambil mengangguk, lalu kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Mungkin Webhi sedang di jalan pulang. Jadi, selama menunggu istrinya datang, Chivar memilih membersihkan diri. Duduk di tepi kasur, ia buka arlojinya setelah meletakkan ponsel di atas nakas. Kemudian, bangun sambil membuka satu per satu kancing kemeja yang digunakan. Lantas saat kakinya mulai terayun menuju kamar mandi, pintu kamarnya terbuka dan menampilkan wanita yang terlihat begitu tegang.
"Bhi, kamu baru pulang?" Chivar mengernyit saat melihat sisa-sisa air mata dan raut gusar Webhi. Wanita itu biasanya ahli dalam mengendalikan raut wajah. "Bhi ...," jedanya sambil berjalan menghampiri Webhi.
"Kamu nggak lupa--" Ucapan Chivar terpotong saat Webhi berjalan cepat menujunya, mengantarkan sebuah ciuman menuntut tanpa aba-aba hingga membuatnya refleks menahan tubuh wanita itu.
Tak berniat mengabaikan, Chivar balas ciuman itu meski kebingungan melingkupi diri. Chivar yakin, ini bukan ciuman rindu, tetapi tindakkan untuk mengalihkan sesuatu yang mengganggu. Entah apa itu.
"Bhi?" Menarik diri saat mendengar isak lolos dari mulut Webhi, Chivar makin mengernyit saat wanita itu menatapnya dengan air mata yang terjun bebas. "Kenapa?"
"Jangan berhenti ... aku mohon." Webhi raih tangan Chivar untuk memegang tubuhnya lagi. "Please, jangan berhenti ...," pintanya lirih.
Chivar yang mengerti hanya mengangguk samar, lalu mengangkat tubuh sang istri yang dengan sigap melingkarkan kaki di pinggangnya. Kemudian, kembali memagut bibir yang malam ini begitu lihat bermain di lidahnya. Perlahan Chivar membawa Webhi ke tempat tidur dengan perasaan bingung yang diserbu gairah tak biasa.
Ternyata kita diajak mereog sama Ardaf.
Besok mau aku up biasa atau malam lagi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top