6• Pilihan
Sulur-sulur keemasan dari ujung cakrawala, mulai mengintip malu-malu. Menyentuh bumi pertiwi yang bersiap menyambut matahari, merayu tetes embun yang menempel pada dedaunan untuk berkilau sebelum lenyap tak bersisa.
Suasana pagi yang memukau dengan embusan angin sejuk, nyatanya tak mampu membuat Webhi merasa tenang.
Keraguan berbisik nyaring di telinga, memaksanya memberi perhatian dari apa yang telah ia putuskan. Hari ini pria itu akan kembali setelah satu bulan menetap di luar negeri karena urusan pekerjaan. Webhi tak yakin kalau perintah pria yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya itu, akan membuat ia tetap pada keputusan yang dipilih.
Batalin sebelum aku kasih pendapat!
Bahkan pesan itu seperti memiliki suara yang berasal dari lelaki berperangai hangat dan tegas. Perlahan Webhi pejamkan matanya, membayangkan wajah Ardaf yang akan diam sambil menatapnya tajam. Menuntut ia memberi penjelasan panjang. Webhi yakin, pria itu tak akan mengerti sebelum alasan yang ia buat dapat meyakini.
"Mbak?"
Dari jendela yang menyuguhkan sang fajar mengawali hari, Webhi menoleh saat Devan masuk ke kamarnya tanpa repot-repot mengetuk pintu.
"Kenapa, Dev?" Beranjak dari lamunan paginya, Webhi menghampiri pria yang sudah siap dengan seragam putih abu-abu. "Mau minta uang?" lanjutnya santai.
Devan menggeleng. Bokongnya sudah mendarat sempurna pada tepi kasur dalam kamar beraroma bunga itu. Ia menggaruk belakang kepala sebelum menatap wanita yang mulai sibuk memasukkan sesuatu ke dalam tas.
"Nanti buatin buket bunga, ya? Aku ada janji sama temen." Suara Devan memelan seiring berakhirnya kalimat. "Jangan mawar tapi ...."
"Bunga apa, kamboja?" Webhi menjawab setengah hati.
"Janganlah, Mbak! Dikira mau ziarah," sanggah Devan setengah terkejut, lalu berdecak saat kakak perempuannya terkikik geli. "Temen aku wisuda hari ini, jadi mau ucapin selamat."
"Yakin temen?" Duduk di kursi yang menghadap meja rias, Webhi menyambar botol sunscreen yang berbaris rapi dengan alat kosmetik lainnya.
"Iya, cuma temen," balas Devan sambil bangun dari duduknya. "Jam sebelas aku ambil ya, Mbak?"
Refleks menoleh, Webhi mendelik kaget. "Kamu bolos dong?!"
Pemuda yang memiliki tubuh lebih tinggi dari Webhi itu, menggeleng panik. Ia letakkan jari telunjuk di depan bibirnya sambil berjalan mendekati wanita yang memelotot tajam.
"Satu hari doang, janji! Lagian bolosnya nggak seharian, tapi habis istrirahat." Devan memelas sebelum meringis mendapat tamparan keras di lengan atasnya. "Jangan bilang Mamah, Mbak."
Belum sempat Webhi memberondong adiknya dengan omelan, ponsel di atas nakasnya bergetar mencari perhatian. Ternyata hal itu dijadikan kesempatan Devan untuk kabur dari omelan.
"Nanti jam sebelas aku ke toko, ya! Aku berangkat!"
Secepat Devan keluar dari kamar itu, secepat itu pula Webhi menyambar ponsel yang menampilkan pesan dari pria yang sebenarnya tak ia harapkan.
Chivar.
Jadi ketemu hari ini, kan?
Chivar.
Ada tempat yang mau lo saranin nggak?
Chivar.
The Cats Caffe aja kali, ya?
Webhi.
Ok.
***
Sejak awal Webhi tahu ini hal gila, menjadikan pernikahan seperti mainan. Namun, saat perasaan yang tak kunjung terbalas makin menyesakkan, ia menyerah lalu membuat pilihan. Bukan menyerah, lebih tepatnya mengalihkan rasa dari pria yang tak bisa ia ajak merajut asa.
Kemudian, sang ibu menawarkan pernikahan yang saat itu Webhi butuhkan.
Kendati demikian, Webhi tak sedikit pun merasa bersalah pada calon pasangannya. Ia tahu pria yang baru saja sampai di tempat yang mereka janjikan, juga mendapatkan keuntungan dari pernikahan ini. Warisan memang selalu menjadi primadona dalam keluarga berada. Webhi beruntung saat ibunya menyinggung tentang ancaman yang dilayangkan pada Chivar jika tak mau dijodohkan.
"Sori, Bhi. Ternyata ada meeting di kantor utama. Lo udah sampai lama?" Chivar mendaratkan bokong pada kursi di hadapan Webhi. Mengatur napas setelah berlari kecil memasuki kafe.
"Lumayan bikin bosen," jawab Webhi tanpa basa basi.
Seorang pelayan pria datang pada mereka, lalu menawarkan menu yang ada di sana. Chivar memesan beberapa makanan serta minuman segar kesukaannya sebelum menawari Webhi yang hanya menggeleng karena sudah lebih dulu memesan minuman.
"Aku nggak bisa lama-lama."
Chivar berdecak pelan. Wanita di depannya ini benar-benar tak punya sedikit pun sifat basa basi. "Gue belum ada satu menit loh, duduk di sini, seenggaknya jangan kayak terakhir kali lo ninggalin gue gitu aja," katanya sewot.
Bersandar pada kursi kayu yang diduduki, Webhi menghela napas pelan. "Dan aku udah nunggu kamu ...." Lalu melirik sekilas pada arloji yang melingkar di tangan. "44 menit."
"Astaga Webhi, gue udah bilang ada meeting." Chivar mendesah kasar. "Oke, sori karena nggak kasih tahu lo tadi."
Lama-lama Chivar rasa ia bisa darah tinggi menghadapi jelmaan Maleficent ini. Wanita itu mungkin tak akan peduli padanya meski ia mengatakan harus buru-buru pergi dari kantor dan melewatkan makan siang.
"Kita bahas persyaratan setelah selesai makan! Gue laper dan nggak punya tenaga kalau mau debat!" tandas Chivar jengkel.
Lima belas menit berlalu, pelayan kafe mengantarkan pesanan pria itu. Merasa bosan dan aneh duduk di hadapan orang yang malah asyik makan, Webhi akhirnya memesan seporsi banana chips waffle dengan es krim vanilla di atasnya.
Selesai menghabiskan makanan dalam keadaan hening tanpa obrolan, mereka berdua kini mulai membahas topik utama yang menjadi alasan keduanya bertemu siang itu.
Melihat Webhi menyodorkan map merah di atas meja kafe, Chivar mengernyit heran. Ia harusnya tak perlu terkejut dengan persiapan yang Webhi lakukan. Namun, tetap saja. Melihat wanita tanpa ekspresi itu menatapnya serius, Chivar harus mengakui kalau Webhi tipe wanita konsisten dan mengurus semua rencana tidak setengah-setengah.
Meraih map tersebut, Chivar buka halaman pertama yang langsung disuguhkan judul besar bertulis 'perjanjian pranikah'. Kemudian terkekeh saat melihat materai 10.000 yang tertempel di pojok kiri.
"Gue males baca, Bhi. Lo jelasin aja intinya."
Webhi mengangguk tipis. "Jadi, ada dua pilihan yang akan aku ajukan. Kamu pasti udah tahu, bukan? Pertama setia sama pernikahan, kedua open relationship. Setiap pilihan ada konsekuensi dan aturan mainnya. Kalau kamu pilih setia, maka kamu harus setia sebagaimana mestinya seorang suami yang setia sama istrinya. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama.
Kalau kamu pilih nomor dua, kamu bebas di luar sana. Aku nggak akan larang kamu buat hubungan sama wanita mana pun, begitu juga sebaliknya," terang Webhi sambil menautkan kedua tangan di atas meja. Menatap pria yang mengangguk paham di seberangnya.
"Oke, sejauh ini gue paham. Terus apa konsekuensinya?"
Webhi tak buru-buru menjawab. Ia tatap lekat iris gelap pria itu tanpa rikuh sedikit pun. Mulai menyusun kalimat yang tak pernah ia sangka akan berada di kepalanya.
"Untuk pilihan nomor satu, kalau di antara kita ada yang selingkuh. Maka ada denda yang harus di bayar. Misal kamu selingkuh, kamu harus bayar denda ke aku sebesar dua miliar."
"Wow ...." Chivar berdecak tak percaya. "Kenapa jatuhin perumpamaan itu ke gue, sih. Bisa aja kan, lo yang khilaf."
Webhi mendesah pelan. "Ini cuma misal, Chi."
Chi ... sialan! Aneh banget gue dengernya.
"Oke, oke! Lanjut. Apa konsekuensi nomor dua," kata Chivar cepat.
Webhi kembali menghela napas dalam sebelum melempar susunan kata yang berputar di otaknya. "Sebenernya sama. Cuma ada peraturan buat pilihan nomor dua. Ya ... kita cuma sebatas nikah di atas kertas. Nggak ada hak apa pun di antara kita berdua, kita hidup satu atap dengan urusan masing-masing. Termasuk tidur. Kalau kamu langgar, maka tetap ada denda dua miliar yang harus kamu bayar.
Dalam surat itu tentu aja nggak aku tulis secara gamlang tentang dua pilihan tadi. Cuma hal normal dalam rumah tangga yang jika suatu saat nanti ada yang melanggar dan nggak mau bayar denda, maka surat itu bisa kita bawa kepengadilan atas tuduhan melanggar perjanjian. Aku udah buat dua surat serupa buat jadi bukti yang bisa kita pegang. Jadi, masing-masing dari kita pegang satu surat perjanjian itu. Bagaimana?"
Gila!
Chivar nyaris berseru demikian. Ia sampai berpikir kalau saat ini bukan sedang membahas tentang pernikahan melainkan perjanjian pekerjaan. Karena Webhi terdengar seperti kolega bisnis yang meminta kerja sama dengannya.
"Jadi, kamu mau pilih yang mana, Chi?"
Wanita itu kembali bersuara, membuat Chivar memberi atensi penuh padanya setelah membaca sekilas tentang perjanjian konyol ini.
Chivar tatap manik karamel yang menyorotnya tanpa ragu, tetapi jika ia tak salah kira ada kecemasan yang disembunyikan wanita itu. Menyeringai tipis, ia menjawab santai. "Oke, gue pilih ...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top