59• Belum Kiamat, kan?
Vote ya, baru baca.
_______________
*******
Kisah mereka tak rumit hanya saja sedikit sulit. Chivar dan Webhi menikah dengan alasan berbeda, lalu membiarkan semesta mengolah romansanya. Tanpa dasar cinta mereka tinggal di atap yang sama. Mengarungi bahtera rumah tangga tanpa pernah menduga bagaimana kedepannya.
Sepasang insan itu berdiri berdampingan, tak menggenggam rasa percaya dan saling menatap ke arah yang berbeda, tetapi keduanya memberanikan diri berjalan di garis yang sama.
Mereka pikir tak masalah hidup seatap walau tak sehati. Toh, semua bisa berjalan selama tak mengganggu urusan pribadi. Namun, rencana Tuhan memang tak ada yang tahu. Sebulan berlalu semua masih terasa semu hingga tanpa sadar rasa itu terus tumbuh, beriringan dengan masalah hati yang belum selesai dan keraguan meninggalkan kenakalan. Kemudian tak lama, mereka putuskan untuk saling setia meski cinta belum terucap nyata.
Lantas sang Cupid yang kerap kali memainkan hati manusia ikut andil di tengah-tengah mereka. Melesatkan anak panah ke titik sasaran sebelum tersenyum puas melihat hasilnya. Senyumnya persis seperti milik Webhi yang hari ini meluangkan waktu untuk membaca salah satu kisah romantis dalam novel. Menyelam jauh pada alur cerita yang dibuat sang penulis hingga keadaan itu teralihkan oleh pergerakan kecil pria yang masih bergelung dalam selimut tebal.
"Udah bangun?" tanya Webhi santai.
Masih mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam netra, Chivar mengernyit saat pening hebat menekan kepala. Ditambah sensasi mulut yang terasa pahit dan kering makin mengganggu. Mengubah posisi menjadi telentang, tangannya terangkat memegang rambut dan memberi pijatan keras di sana. Lantas mengerjap sambil memaksa otaknya mengingat kejadian sebelum terbangun dalam keadaan buruk seperti ini. Detik selanjutnya, kilasan memori yang membuat pening makin menjadi-jadi menjejali isi kepala Chivar.
Oh, sial! Chivar lebih suka membayangkan hal vulgar ketimbang masalah yang belum kelar.
Sekarang dugaan Chivar, jika bukan meringkuk di sofa lounge vip, ia pasti sedang tidur di dalam apartemennya. Lalu kibasan kemungkinan yang melintas di kepala membuat Chivar melebarkan mata. Ia takut. Takut menemukan dirinya telanjang dengan seorang jalang. Dulu tak apa, tetapi sekarang jika itu terjadi akan memperumit masalah.
Menoleh mendengar suara buku yang ditutup kasar, Chivar terbelalak saat mendapati wanita dengan blouse merah muda bersandar santai pada headboard yang ia tempati.
"Kepala kamu pasti pusing, kan?"
"Webhi!" Bangun dengan gerak cepat hingga membuat kepalanya makin berdenyut hebat, Chivar menatap wanita yang ia harap itu memang istrinya. "Webhi, ini beneran kamu atau ... nanti dulu ...," jedanya sambil mengusap wajah dan beberapa kali mengucek mata.
Plis ini beneran Webhi, bukan perempuan bar yang ikut gue tidur. Chivar tatap kembali wanita yang mulai melipat tangan ke bawah dada sambil menatap tak ramah. Bener, ini Maleficent minus tanduk yang lo pelihara di rumah, Var. Oke, masih aman! Seenggaknya semalam lo nggak nyoblos sembarangan, batinnya merasa lega.
Sambil turun dari badframe-nya, Webhi kembali bicara. "Aku tadi search di internet. Setiap tahun di Indonesia ada 17,4% orang meninggal karena miras." Mengambil air putih di atas nakas, ia berjalan ke sisi kasur tempat Chivar terbengong tanpa mengenakan kemeja. Tadi siang, karena melihat pria itu tampak tak nyaman memakai kemeja saat tidur, Webhi dengan susah payah membantu melepaskannya. "Aku pikir kamu bakal jadi salah satu dari mereka," pungkasnya sambil menyodorkan air minum yang langsung disambar Chivar.
Setelah menenggak habis air itu, Chivar berdeham samar. Tangannya refleks mengusap dada gugup, lalu berujar, "Bhi--"
"Mau makan atau mandi dulu?"
"Emm ... kayaknya mandi dulu." Chivar kembali berdeham saat wanita yang memegang gelas kosong, menatapnya tajam. Ia edarkan pandangan hingga menatap jendela yang mempertontonkan warna jingga. "Masih pagi, ya. Aku pikir udah siang."
"Itu senja. Sejak kapan matahari terbit di barat?" Webhi sebenarnya tak marah. Perasaan itu hilang entah ke mana sejak tadi Subuh, hanya saja memang seperti itulah cara bicaranya.
"Eh, udah sore?" Chivar sedikit terkejut.
Lantas Webhi mendengkus sebelum duduk di depan pria yang refleks beringsut mundur. "Chi, aku nggak suka sama cara marah kamu yang tiba-tiba pergi tanpa kasih tahu masalahnya ke aku. Aku nggak suka tiba-tiba kamu nonaktifin ponsel dan ngilang gitu aja. Mulai sekarang bisa, kan, bicarain dulu biar aku tahu?" Karena Webhi sadar betul dirinya begitu kaku dalam sebuah hubungan dan tak memiliki sedikit pun pengalaman bagaimana cara memperlakukan pasangan.
Chivar yang mendengar itu sempat terkejut sebelum berdecak malas. "Chi jangan gini, Chi jangan gitu, Chi aku nggak suka, ya ... bla bla bla ...," katanya memperagakan cara bicara Webhi jika melarang sesuatu. "Terus gimana sama kamu, Bhi? Aku nurutin maunya kamu. Gimana sama--"
"Kasih tahu aku." Webhi sorot pria itu dengan pendar serius. "Kasih tahu aku. Jangan suruh aku nerka-nerka, aku nggak bisa kalau disuruh peka. Aku kadang bingung, Chi. Bingung gimana memulai obrolan, bingung harus bersikap--"
"Eh, eh! Kamu ...." Chivar yang awalnya biasa saja mendengarkan Webhi bicara, berubah panik saat melihat mata yang berkaca-kaca.
Webhi menggeleng, ia buang pandangan ke segala arah karena ikut terkejut saat merasa begitu emosional. Padahal ia hanya ingin mengatakan bahwa dirinya payah dalam urusan peka terhadap sekitar. Sekaligus ingin meminta maaf karena tak memberi banyak perhatian sebagaimana pria itu memperhatikannya.
"Aku bilang Mbok Jum dulu buat bikin teh."
"Bhi?" Chivar menahan tangan wanita yang sudah berdiri, lalu menatap ke dalam manik karamel itu sebelum turun dari kasur dan mengambil posisi di depan Webhi. "Aku minta maaf karena tiba-tiba pergi," tuturnya sambil membawa tubuh Webhi ke dalam pelukan. Banyak hal yang ingin Chivar katakan, tetapi untuk saat ini ia sadar jika tindakannya pergi dari rumah tanpa mengatakan apa-apa tak patut dibenarkan.
Menghidu aroma alami yang menguar dari tubuh Chivar, Webhi balas pelukan itu. Mulai merasa bingung karena begitu sentimental dalam dekapan Chivar.
"Omong-omong kamu yang buka baju aku?" Menunduk sambil memberi kecupan di puncak kepala Webhi, Chivar terkekeh saat wanita itu mengangguk ragu. "Tangan kamu nggak gemeteran, kan?"
"Udah awas, ah! Aku mau ke lantai bawah!" Webhi yang berusaha mendorong Chivar malah makin terkurung dalam lingkaran lengan besar itu. "Kamu ... mau mandi, kan?" sambungnya ragu.
"Mau temenin aku mandi, nggak?"
Kali ini Webhi benar-benar menggunakan tenaganya untuk mendorong Chivar yang tertawa menyebalkan. Baru lima belas menit lalu ia mandi. Menemani Chivar mandi bukan ide bagus karena kegiatan itu biasanya memakan waktu berjam-jam. Mengingat kondisinya yang terkadang masih mual dan pening, Webhi tentu menolak tegas.
"Aku nggak mau!" Webhi mendengkus kasar mencoba menyembunyikan rona merah di wajah yang malah mengundang seringai tipis pria di depannya.
"Beneran nggak mau?" goda Chivar.
Tanpa menjawab, Webhi yang sudah terbebas dari pelukan memilih memutar tubuh dan melenggang pergi meninggalkan Chivar yang kembali terkekeh sebelum mengakhirinya dengan seulas senyum tipis.
Menghela napas dalam-dalam, Chivar embuskan karbon dioksidanya dengan perasaan yang jauh lebih baik dari kemarin. Memang benar, takdir yang kadang terlihat transparan ternyata sulit untuk ditebak. Chivar pikir ia akan kehabisan tenaga menghadapi pertengakarannya dengan Webhi, tetapi hari ini ia disuguhkan tatapan yang berbeda dari sosok sang istri.
Mungkin sebentar lagi Chivar memang akan kehabisan tenaga, tetapi tentu saja karena alasan berbeda. Dan memikirkannya saja membuat ia tersenyum jemawa sepanjang jalan menuju kamar mandinya.
***
Tipu muslihat yang disuguhkan semesta kadang membuat manusia terlena hingga tertawa. Seperti halnya pertunjukkan pelangi setelah hujan badai reda. Tujuh warna yang dilukis Tuhan pada kanvas besarnya itu tak pernah bertahan lama. Hadir dengan keindahan yang megah dan hilang dalam sekejap mata. Padahal beberapa orang baru saja menikmatinya.
Ah, sudahlah!
Namanya juga hidup, justru patut dicurigai jika selalu berjalan mulus. Bahkan beberapa orang memakai filosofi roda yang berputar saat membicarakan takdir seseorang. Katanya, kadang ada di atas dan tak jarang juga di bawah. Namun, Chivar yang merasa sejak lahir sudah berada di atas kereta yang ditarik kuda kerajaan, memilih abai saja. Filsafat tentang di atas dan di bawah hanya ia gunakan untuk urusan ranjang, selebihnya ia lebih suka menyelesaikan segala urusan dengan uang.
Chivar merasa hidupnya sudah menyentuh level sempurna. Wajah tampan, uang tak kekurangan, dan sekarang memiliki istri cantik yang menggairahkan. Ah ... Chivar takut menjadi orang sombong karena Tuhan terlalu mengistimewakannya. Jadi, demi memperlancar jalan kehidupan yang sudah ditentukan, Chivar imbangi dengan gencar beramal, menyumbang di panti asuhan, memberi santunan pada yang membutuhkan, dan kadang mendengarkan pengajian lewat siaran. Ya ... walau yang terakhir ia masih suka kebingungan.
Chivar sempat merasa takut. Beberapa hari lalu, ia menyombongkan hubungan manis bersama Webhi kepada dua sahabatnya. Wira tentu saja merespons dengan decihan sinis dan guyonan tak beradab meski sama sekali tak ia pedulikan, tetapi Adam yang memiliki otak waras di antara mereka, mengatakan ada hal yang disebut istidraj.
Meski pengucapan yang Chivar gunakan beberapa kali salah, tetapi ia paham penjelasan yang diberikan Adam.
"Kayaknya kamu lagi seneng baca buku, ya?"
Webhi menoleh sebentar. Buku di atas pangkuan ia tutup setelah memberikan bookmark pada halaman yang selesai ia baca. Kemudian, kembali memberi atensi pada pria yang baru selesai dari kamar mandi. Rambut Chivar yang baru selesai dikeringkan menguarkan aroma mint yang entah sejak kapan menjadi kesukaannya.
"Aku lihat di bufet bawah juga banyak buku baru. Novel-novel gitu." Chivar kembali bersuara sambil beranjak untuk bergabung bersama Webhi, lalu menarik selimut sampai ke pinggang.
Sudah sebulan berlalu tentang insiden minggat dari rumah, Chivar sudah banyak mengalami perubahan dalam diri istrinya. Meski perubahannya bukan hal mengejutkan seperti; Webhi yang tiba-tiba saja telanjang di depannya atau mengajak lebih dulu memasuki pintu pahala. Namun, Chivar merasa senang karena Webhi mulai sering bertanya lewat pesan singkat jam berapa ia pulang dan terkadang memberi tahu hal-hal sepele.
Ya ... meskipun dalam sehari-hari, wanita beraura Maleficent yang lahir dengan jiwa setengah patung sejarah itu tak terlalu banyak mengubah ekspresinya. Namun tak apa-apa, Chivar berniat membuat banyak Webhi versi mini yang aktif sepertinya.
Baiklah, semoga saja lekas terkabul.
"Nggak tahu aku juga. Aku baca karya Lisa Kleypas yang genre historical romance, eh malah keterusan baca genre lainnya," jawab Webhi santai.
Chivar mengangguk paham. "Terus kenapa berhenti baca?" Ia lirik buku yang sudah di letakkan Webhi di atas nakas.
"Bisa aku lanjut besok." Webhi ikut berbaring saat Chivar mengambil posisi itu. "Chi, besok aku mau ke rumah Mamah. Mau tahu keadaan Papah. Katanya kemarin waktu chek-up ada sedikit perubahan."
"Perubahan?" tanggap Chivar sambil menarik Webhi masuk ke dalam pelukan.
"Kata Mamah perubahannya baik. Dokter jantung yang tangani Papah juga bilang nggak perlu operasi kalau kondisi Papah udah nggak sering kambuh, tapi aku mau lihat langsung keadaan Papah."
"Ya udah, besok aku anterin ke sana." Chivar menunduk saat Webhi refleks mendongak menatapnya. "Kenapa? Kamu nggak mau aku anterin ... eh." Ia mengerjap kaget saat Webhi mendaratkan kecupan seringan kapas di pipinya. "Kamu cium aku duluan, Bhi?" katanya tak percaya.
Jika saja Chivar tahu, akhir-akhir ini Webhi selalu mencuri kecupan saat ia tidur. Webhi juga tak mengerti kenapa ia selalu tergoda dengan wajah lelap Chivar yang begitu tenang dalam buaian mimpi.
"Bhi?" panggil Chivar saat wanita itu memilih masuk ke dalam pelukan dan menempelkan pipi di dadanya. "Di luar belum ada tanda-tanda kiamat, kan?" Dan Chivar harus menahan sakit saat perutnya dicubit kesal oleh wanita yang berbalik cepat memunggunginya.
Kendati demikian, Chivar malah tertawa sambil memeluk Webhi dari belakang dan menghidu aroma alami lewat tengkuk sang istri.
Kalau antrean makanan, Webhi tuh udah keabisan. Ckckck, para readers udah tercipar-cipar dari chapter berapa tahu. Webhi baru sekarang coba? Tapi alhamdulillah ygy, Maleficent yang berjiwa patung sejarah ini sudah mulai memerankan karakter putri salju yang perhatian dan baik hati.
Betewe guys. Bantu folow akun ku dong
Biar kalian gak ketinggalan cerita lain dari aku, biar gak ketinggalan info penting di wall, biar aku seneng sih lebih tepatnya.✌🤗 yang udah follow makasiih ya.
See you~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top