58• Mencuri Kecupan.
Mereka hanya sedang belajar,
belajar memahami dan menghadapi.
_____________
*******
"Kenapa, Bhi?" Kembali duduk di tepi kasurnya, Chivar terdiam sejenak setelah melempar tanya bernada iba. "Kenapa?"
"Chi ...," panggil Webhi sambil melangkah pada pria yang baru saja mengusap wajah. Saat hendak menyentuh bahu lebar Chivar, pria itu lebih dulu menangkis tangannya kasar.
"Kamu selalu begitu! Kamu nggak pernah peduli sedikit pun tentang aku, Bhi?! Kenapa?!" bentak Chivar, lalu tertawa hambar sesaat setelahnya. Ia keluarkan semua rasa kecewa dan kesal yang sebenarnya hanya segilintir masalah di kepalanya. "Sulit banget, ya, buat tanya keadaan aku? Buat kirim pesan tanyain aku lagi di mana atau sekedar basa basi tentang menu buat makan malam. Aku tahu itu kelihatan kekanakan, tapi aku cuma mau rasain perhatian kecil dari kamu," sambungnya pelan.
Meski terkejut, ada sesuatu yang membuat hati Webhi tergelitik. Harusnya Webhi sudah hafal dengan sifat Chivar yang mudah sekali tersinggung seperti ini, tetapi mendengar langsung pernyataan pria itu membuat Webhi benar-benar tahu kalau Chivar memiliki hati yang begitu sentimental. Memilih duduk di samping Chivar, Webhi belum berniat menjawab racauan pria mabuk itu.
"Jangan bilang kalau kamu lupa lagi udah punya suami! Sampai suaminya nggak pulang pun nggak kamu cari!" lanjut Chivar terus menggerutu.
Webhi masih diam sambil menyembunyikan senyum geli yang tiba-tiba saja datang. Tangannya bergerak membuka ritsleting jaket yang berbau alkohol sementara Chivar masih saja mengomel dengan suara cegukan yang ditahan. Setelah berhasil membukanya, Webhi sibak rambut di kening Chivar yang sudah memanjang hingga menyentuh mata.
"Besok potong rambut, ya. Nggak usah pendek banget, model yang persis waktu kita akad aja." Seolah tak terjadi apa-apa, Webhi bicara di luar topik. Menurutnya percuma bicara serius dengan seseorang yang kesadarannya saja sudah berada di awang-awang.
Chivar makin menggerutu dengan racauan tak jelas. Pandangannya mulai tak fokus dan kepalanya terasa berayun-ayun, ia pikir sebentar lagi badannya akan limbung. Namun, tangan Webhi yang menyentuh kulit lehernya untuk membuka kancing kemeja, membuat ia sedikit terkesiap.
"Kamu denger nggak, sih, kalau aku lagi--"
"Iya. Aku denger, kok, Chi."
Walaupun terkejut saat lengannya kembali disingkirkan kasar, Webhi benar-benar tak bisa memarahi pria itu. Perasaan marah tentang pesan seseorang dan parfum beraroma vanilla, seketika lenyap begitu saja mendengar Chivar mengoceh tentang kekesalannya yang ingin diperhatikan.
Kegiatan mengirim pesan basa basi memang benar-benar tak pernah Webhi lakukan, bahkan Ardaf sekali pun. Webhi berpikir itu sesuatu yang mengganggu. Namun ternyata, Chivar mengharapkannya. Ia juga tak menyangka hal itu menjadi alasan Chivar marah hingga tak pulang ke rumah.
"Besok aja kita ngobrolnya, ya."
Sebagai orang yang masih waras menjaga kesadarannya, Webhi tak mau membuang energi meladeni emosi Chivar yang tak stabil.
"Kamu mau ketawain aku, kan? Kamu ...."
Ucapan Chivar berhenti saat wanita di hadapannya beringsut memberi pelukan. Mengusap kepalanya lembut sebelum beralih pada punggung. Chivar yang benar-benar merindukan aroma bunga dari ceruk leher Webhi tak bisa menolak pelukan itu. Ya ... meski dengan gerutuan tak jelas, ia tetap membalas dekapan dengan tak kalah erat.
"Kamu peduli nggak sih, Bhi?"
Webhi mengangguk menjawabnya.
"Kamu percaya, kan, kalau aku nggak main perempuan?"
Memberi sedikit jeda, Webhi akhirnya mengangguk yakin. Ia eratkan pelukannya saat merasakan Chivar makin menghidu aroma lewat perpotongan lehernya.
"Kamu kangen nggak kalau aku nggak di rumah?" Suara Chivar terdengar samar karena beradu dengan kulit leher Webhi.
Kali ini Webhi tak mengangguk, ia lepas pelukannya. Kembali bergerak membuka kancing kemeja Chivar. "Bukan cuma napas kamu yang bau alkohol, baju kamu juga, Chi." Baru dua kancing yang terbuka, Webhi malah menghentikan kegiatan itu karena merasa aneh dan malu sendiri. "Kamu buka sendiri, nanti aku ambilin kaus ganti. Atau kamu mau ke kamar mandi dulu--"
"Tadi aku tanya, kamu kangen aku nggak, Bhi?" pungkas Chivar kembali memeluk tubuh sang istri. Tak lama ia rasakan usapan lembut dan anggukan yang ragu atau ... entahlah, mungkin malu-malu. Jika dalam keadaan sadar Chivar pasti akan terkekeh geli menggoda wanita itu. "Tapi kamu nggak pernah cariin aku kalau aku nggak pulang?"
"Aku kemarin chat kamu." Masih dalam posisi berpelukan, Webhi tersenyum saat mendengar dengkus lirih disusul suara cegukan.
"Kamu chat cuma mau kasih tahu kalau kamu pulang cepet, bukan tanyain keadaan aku."
"Aku nelepon, tapi nomor kamu nggak aktif."
"Sengaja. Aku terlanjur kesel sama kamu!" Merajuk bak bocah yang sudah dijanjikan jalan-jalan, tetapi gagal karena alasan lupa. Chivar gelontorkan kekesalannya dengan nada jengkel.
"Jangan kayak gitu lagi, ya!" Mendorong dada Chivar pelan, Webhi tatap pria yang matanya sudah sangat sayu. "Jangan matiin ponsel yang bikin aku bingung harus hubungi siapa kalau kamu nggak pulang." Lalu tersenyum melihat anggukan patuh pria itu.
Jika lebih ditilik, mereka seperti pasangan yang kepribadiannya tertukar. Bukankah biasanya pihak perempuan yang sering merajuk dan si pria akan pasang telinga sambil berusaha membujuk. Namun kali ini, yang lebih sensitif adalah Chivar. Sangat sangat sensitif malah.
"Bhi ...." Sambil membawa tubuh Webhi berbaring dengan posisi saling berhadapan, Chivar yang tak melepas sedetik pun tatapannya pada iras cantik sang istri, mulai merasakan kembali keresahan yang jadi alasan utama kenapa ia meninggalkan rumah. "Bhi ... kamu nggak punya hubungan lain, kan?"
Webhi tentu saja mengernyit bingung sebelum merasakan ibu jari Chivar menyentuh keningnya yang mengkerut. "Aku bahkan nggak punya hubungan apa pun sebelum sama kamu, Chi," tuturnya lembut.
Ada sesuatu yang membuat Chivar merasa lega sekaligus bersalah. Harusnya ucapan Grace tak langsung ia telan bulat-bulat, ia tak tahu alasan wanita itu putus dari Ardaf. Mungkin saja Grace memiliki alasan tertentu seperti ingin membuat hubungannya dengan Webhi maupun Ardaf jadi rusak.
"Kamu takut aku selingkuh?" Webhi kembali bersuara.
Tanpa pikir panjang Chivar mengangguk ringan. "Kamu nggak akan selingkuh, kan?"
"Lebih tepatnya aku nggak mau kehilangan uang dua milyar, Chi." Webhi terkekeh dengan ucapannya sendiri sementara Chivar justru tediam mengamati wajahnya.
"Aku cium kamu, ya, Bhi?"
Webhi mengernyit mendengar pertanyaan itu. Bukankah Chivar biasa melakukannya tanpa izin? Namun belum sempat menjawab, wajah Chivar sudah mendekat dan menempelkan bibir di atas bibirnya. Sedikit bergerak hingga membuatnya telentang sempurna. Tak ada pergerakan selain pertemuan sepasang kulit lembut itu, tetapi entah sudah terbiasa atau memang naluri alami yang mulai aktif saat berdekatan dengan Chivar, Webhi dengan sadar menggerakan mulutnya. Memberi lumatan lembut pada bibir yang mulai bergerak memberi balasan.
Aneh. Tadi sore mualnya benar-benar menyiksa. Bahkan setelah Webhi menghabiskan segelas teh herbal dan roti bakar buatan Mbok Jum yang hanya dimakan sedikit, ia masih harus berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan segalanya. Kali ini, meski tubuh Chivar berbau alkohol yang begitu menyengat dan bibir yang terasa manis bercampur pahit, mual dan peningnya hilang entah ke mana. Padahal saat mendengar ketukan Chivar di pintu kamar, Webhi masih menikmati perasaan tak menyenangkan itu.
Memegang rahang maskulin Chivar, desahan Webhi tertahan di mulut saat tangan Chivar memberi sentuhan lembut di area sensitifnya. Lantas saat pria itu menurunkan ciuman ke rahang dan lehernya, tiba-tiba saja Webhi kebingungan karena Chivar tak bergerak tepat saat cumbuan itu berada di perpotongan leher. Sama-sama terdiam, Webhi yang menunggu dengan napas terengah, makin bingung kala mendengar dengkur halus menabrak kulitnya.
"Chi ...," panggilnya sambil mengusap punggung Chivar. Sepertinya persepsi Webhi tak meleset, pria itu tidur atau mungkin pingsan karena tangan yang berada di pinggulnya berhenti bekelana. "Astaga!" Susah payah, ia dorong tubuh yang membebankan. Lalu mendesah lega saat berhasil membuat Chivar tidur dalam posisi telentang.
Memakai sebelah lengan untuk menopang kepala, Webhi mulai mengamati wajah Chivar setelah melirik jam digital yang menunjukkan angka lima. Ia tak berniat tidur kembali karena lebih memilih menatap raut lelap Chivar. Lantas, entah dorongan dari mana membuatnya beberapa kali mencuri kecupan singkat di sudut bibir yang sedikit terbuka.
Tak ada mual, pening, dan kantuk. Namun, Webhi tetap ingin berlama-lama dalam posisinya meneliti setiap garis wajah Chivar sambil merasakan debar aneh. Webhi menggeleng kala membayangkan hal-hal yang tak sempat terjadi beberapa detik lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top