57• It's Okay to Not Be Okay. #3

Vote dulu ya, baru baca.

_______________
*******

"Kamu tahu kenapa Ardaf pilih tinggal di apartemen setelah kamu dan Webhi menikah?"

Chivar belum bersuara, hanya mendengarkan wanita di depannya bicara. Membiarkan kalimat yang seperti suara cakaran tembok, memasuki telinga. Lebih tepatnya, Chivar tak tahu harus merespons apa saat Grace membeberkan tentang hubungan terlarang Webhi dan Ardaf yang katanya sudah terjalin sebelum ia dan Webhi menikah.

"Aku awalnya kaget denger pernikahan kalian meskipun merasa seneng ternyata kecurigaanku selama ini terbukti nggak bener. Aku pikir pernikahan kamu sama Webhi bisa menegaskan kalau kakak adik itu nggak ada hubungan seperti yang aku pikirkan. Tapi ...." Grace jeda ucapannya. Sengaja ingin menarik atensi pria yang mulai menatapnya penasaran. "Ternyata pernikahan kamu dijadiin tembok sama mereka biar hubungannya nggak terendus siapa pun."

Sambil mengeraskan rahang, otak Chivar yang masih berusaha tak termakan cerita Grace, secara alami menyangkutpautkan kejadian sebelum pernikahan. Dari mulai sifat Webhi yang tak tersentuh, sikap yang begitu tak acuh, sampai syarat pranikah yang sebenarnya sangat tabu.

Chivar mulai berpikir, apa selama ini ia hanya dimanfaatkan?

"Gue nggak bisa percaya gitu aja. Lo cuma kasih cerita yang siapa aja bisa. Nggak ada bukti kalau mereka terlibat hubungan."

Karena Chivar masih ingat betul bagaimana Webhi merasa risih dan gemetar ketakutan saat pertama kali ia sentuh. Wanita yang sering melakukan seks tak akan bersikap seperti itu dan Grace baru saja mengatakan kalau Webhi dan Ardaf sering tidur bersama di apartemen pria itu.

Atau ... apa mungkin Webhi hanya memasang gimik di depannya? Pertanyaan yang muncul karena keraguan kembali datang.

"Terserah kamu, sih, Var. Aku cuma nggak mau lihat kamu terus-terusan jadi tembok yang nutupin kebusukkan mereka."

Grace tersenyum penuh kemenangan saat menangkap sorot yang mulai marah dan gelisah. Menyandarkan punggung pada kursi restoran, ia tatap wajah yang tak berkurang sedikit pun ketampanannya meski raut gusar terlihat jelas di sana.

Ah, ada yang membuat hati Grace tergelitik. Selain tampan dengan karismatiknya, Chivar juga pria yang mudah dipengaruhi dan memiliki hati yang tak sulit untuk disentuh. Meskipun bibir itu menyangkal semua yang dikatakannya, tetapi raut wajah Chivar yang mulai memikirkan tak bisa disembunyikan.

"Perselingkuhan kadang nggak perlu bukti fisik, Var. Kamu pakai hati aja buat nerka bagaimana hubungan mereka. Bayangin aja Webhi dan Ardaf lagi ketawain kamu karena dengan bodohnya nutupin aib mereka."

"Lo publik figur yang sering akting di layar kaca dan nggak menutup kemungkinan lo juga lagi akting di depan gue!" balas Chivar tegas.

Masih memasang wajah tenang, Grace tersenyum tipis menanggapi ucapan itu. "Terserah kamu, Var. Suatu saat nanti kamu bakal berterima kasih karena aku udah kasih tahu kamu sebelumnya, seenggaknya kamu nggak terlalu kaget pas tahu kebenarannya."

Setelah menenggak segelas vodka, Chivar embuskan napas kasar saat obrolannya dengan Grace kembali menari-nari di kepala. Ia sandarkan punggung pada sofa di dalam lounge vip yang malam ini disewa. Membiarkan para wanita bayaran bernyanyi gembira di sana, sementara ia menikmati sesuatu berisik yang mengganggu pikiran.

"Gue pastiin ini terakhir kali gue dateng. Setelah itu, meskipun bartender atau yang punya bar nelepon gue karena lo nggak sadar diri, gue bener-bener nggak peduli, Var!" Adam berkata sewot pada pria yang tak mengindahkan ucapannya. Mendesah kesal, ia raih jaketnya berniat keluar dari sana. Sudah sejam ia menemani pria yang masih bisu meski sudah menghabiskan satu setengah botol vodka.

Wira yang berada di sana menahan tangan Adam agar tak pergi. Ia ajak duduk kembali pria yang sejak datang sudah mencak-mencak. "Dari awal gue udah duga kalau bangsat satu ini nggak bakal bisa setia. Lo kenapa sih, Var? Katanya lagi giat cari pahala lewat Webhi. Eh, sekarang malah maksiat."

"Udah mau subuh! Kalau lo masih diem aja, gue sama Wira bakal pergi." Adam kembali memberi peringatan.

"Dam ...," panggil Chivar tak memedulikan raut kesal sahabatnya. "Emang gue tipe orang yang mudah dimanfaatin, ya? Gue keliatan kekanakkan banget, ya?" Lalu mengusap wajah kasar sebelum membenarkan posisi duduknya. Chivar sorot dua pria yang sengaja ia seret untuk menemani kegundahannya.

"Tunggu! Ini masalah proyek atau rumah tangga?" Wira todongkan pertanyaan.

Sementara Adam yang mulai duduk di samping Chivar, mengusir wanita yang sejak tadi bergelayut manja di lengan sahabatnya. "Gue nggak tahu apa masalah lo, Var. Tapi kalau ini menyangkut rumah tangga, gue sama Wira mungkin nggak bisa bantu banyak."

"Lagi pula kalau masalah keluarga, lo salah, Var. Gue sama Adam nikah aja belum, gimana mau sharing coba?" Wira ikut menatap serius pria tinggi dengan jaket parka berwarna hijau tua di samping Adam.

"Nggak! Bukan itu, gue cuma mau nanya. Emang gue tipe orang yang mudah dimanfaatin, ya?" ulang Chivar dengan suara memelan.

"Kalau boleh jujur sih, iya." Wira kembali berujar santai, lalu meringis melihat sorot tak bersahabat dari sepupunya.

"Sekarang lo pulang. Kalau lo punya masalah sama Lea, jelasin, omongin, keluarin apa yang ganggu pikiran lo! Jangan kabur." Adam mulai sewot lagi.

Sejak dulu Chivar memang kerap kali seperti ini. Jika ada masalah, pria itu memilih menghindar daripada menghadapi. Katanya malas memakai otak meladeni hal yang membuat kepala pusing. Jika masalahnya hanya tentang bolos sekolah dan mangkir dari panggilan guru BK, Adam tak heran lagi. Namun kali ini, pria itu sudah berumah tangga. Siapa lagi yang akan menyelesaikan masalah mereka jika bukan orang yang terlibat di dalamnya.

"Pulang, Var." Adam kembali memberi titah. Ia tahu semalam Chivar tidur di apartemen yang dibeli pria itu di dekat unitnya.

"Gue takut dia selingkuh ...," lirih Chivar sambil menyugar rambutnya kasar.

Sementara itu, dua pria yang masih sedarah refleks saling bertukar pandang sebelum memberi atensi pada pria yang terlihat begitu gusar.

"Ada buktinya?" tanya Adam dan mendesah saat Chivar menggeleng pelan.

"Nah, ini ... lo orang yang terlalu mudah berasumsi, Var. Sekarang si Webhi mungkin lagi kebingungan kenapa lo nggak pulang. Lo bilang takut, berarti itu baru prasangka aja, kan? Mending lo bicarain, lo tanyain, atau kalau perlu lo selidikin sendiri. Manfaatin tuh, duit sama koneksi Kakek lo. Tapi jangan cepet-cepet asumsiin sesuatu sebelum terbukti, nanti kalau nggak bener yang dirugiin bukan cuma Webhi tapi diri lo juga."

"Tumben omongan lo bener, Wir? Habis gajian?" Adam sempat tercengang sebelum mendengkus kecil saat pria yang baru ia puji memberi senyum jemawa.

Bagai dihantam benda keras, kepala Chivar tiba-tiba saja berdenyut sakit mendengar ucapan Wira. Bukan karena kebijakan langka yang kidungkan sahabatnya, melainkan kesadaran yang dipaksa ada saat ia merasa bodoh karena mempercayai Grace begitu saja. Benar, harusnya ia bicarakan saja apa yang terjadi atau jika perlu, ia bisa menyelidiki Webhi dengan memanfaatkan uangnya. Namun, mendengar Grace bicara begitu yakin membuat Chivar takut. Ia tak bisa berpikir positif karena takut kalau fakta yang ditemui benar-benar yang sekarang ia curigai.

Setelah mendapat titah yang sedikit memberi solusi, Chivar pulang dengan Cecep yang kebetulan sudah menunggu berjam-jam di basement bar. Tangannya sudah menggenggam satu buket bunga mawar beraneka warna.

Saat sampai, Chivar begitu antusias. Ia ingin memeluk istrinya sambil meminta maaf karena sikapnya yang kekanakan. Dibantu Cecep menaiki tangga menuju rumah, Chivar yang sudah sampai di depan pintu kamar, bersikap seperti anak kecil. Pria itu malah mengetuk-ngetuk benda berbahan kayu tersebut dengan gerak tak sabar.

"Webhi!" Chivar buka pintu kamar yang sebenarnya tak perlu ia ketuk-ketuk. Kemudian, tersenyum saat matanya menangkap wanita yang baru turun dari kasur dengan wajah terkejut. "Bhi, aku bawain bunga buat kamu!"

"Chi, kamu ... astaga!" Webhi yang baru dua langkah meninggalkan kasur dibuat terkejut saat pria itu memeluknya sambil berjalan. Hingga membuat mereka terduduk di atas tempat tidur secara bersamaan. "Kamu mabuk?!" hardiknya tak santai.

"Nggak!" sangkal Chivar menggeleng cepat. Ia lepas pelukannya sambil menahan cegukan. "Aku minum sedikit tapi nggak mabuk." Lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Jadi kamu nggak pulang dan nggak kasih kabar karena kepingin mabuk kayak gini?!" Mengendus kemeja yang digunakan Chivar, Webhi berdecak kasar. "Sejak kapan kamu pakai parfum aroma vanilla gini?"

Dengan polos, Chivar endus sendiri aroma tubuhnya sebelum mengernyit kebingungan. "Bukan! Ini bukan parfumku, ini pasti parfum perempuan yang tadi nyanyi-nyanyi." Tanpa rasa bersalah, Chivar sodorkan bunga yang katanya mawar warna-warni, padahal itu seikat bunga taman yang dicuri Cecep di jalanan.

Cecep yang sejak jam tiga sore menunggu di basement bar, terpaksa memetik bunga di pinggir jalan. Ia bingung harus mencari ke mana sebuket bunga permintaan tuannya yang sedang mabuk. Sementara jam baru menunjukkan pukul 04:14 WIB. Toko bunga mana yang buka?

Di jam-jam seperti itu, mungkin babi ngepet saja baru pulang ronda.

"Bunga ini aku beli di jalan. Kamu suka bunga, kan? Cuma kata Cecep yang punya tokonya buru-buru, jadi nggak rapi bungkusnya. Cuma diiket doang." Chivar tak sadar kalau sorot istrinya benar-benar tak bersahabat. Bahkan tampaknya begitu enggan menerima pemberiannya. "Ambil ini, Bhi!" Ia paksa Webhi untuk menerima bunganya.

Webhi berdecih sinis saat melihat bunga di atas pangkuannya. "Kamu ternyata belum berubah, Var. Masih suka main perempuan."

Chivar menggeleng cepat. Matanya terbelalak mendengar tuduhan Webhi. Ia memang mabuk dan kacau, tetapi pikirannya masih mampu mencerna ucapan itu.

"Nggak! Aku nggak main perempuan, Bhi! Sumpah! Mereka cuma temenin aku doang, tapi aku nggak nyentuh mereka. Aku nggak ngapa-ngapain, Bhi. Aku--"

"I don't care!" Webhi berdiri setelah memotong kalimat Chivar. Mengabaikan ucapan pria mabuk yang mencoba memberi penjelasan. Namun, ia terkejut saat Chivar menarik tangannya dan mengambil kembali bunga yang tadi diberikan. "Chi--"

"You don't cared! I know, i really know! But i'm your husband." Chivar banting bunga itu ke lantai sebelum menatap nyalang wanita yang mundur karena terkejut dengan teriakannya. "Why can't you care about me?!" lanjutnya dengan suara yang merendah pasrah.

Chivar😥😥 we cared with you~~

Menurut kalian siapa yang paling tersiksa?

Me : Cecep😭

Makanya Chi, ngomong kalau ada yang dipikirin.
Kamu juga, Bhi. Kasih sedikit perhatian buat suami kamu. Mungkin hal sepele, tapi buat dia berarti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top