55• It's Okay to Not Be Okay. #1
Karena biasanya, yang paling kecewa adalah dia yang paling besar menaruh rasa percaya.
______________
*******
"Pak ... anu, kita sudah sampai rumah."
Chivar masih menyandarkan kepala pada kursi penumpang saat sopirnya berbicara, menatap hampa langit-langit mobil sepanjang perjalanan pulang. Sambil membuang napas kasar, ia usap wajah yang kusut dan kacau, lalu menoleh pada pria tambun yang sudah membukakan pintu untuknya.
"Mau saya bantu, Pak?"
Mengibaskan sebelah tangan, Chivar keluar dari kereta besinya. Menjejaki anak tangga menuju ke pintu utama sambil menyeimbangkan tubuh yang sedikit goyah. Chivar belum sampai pada batas mabuk hingga sempoyongan. Ia memang menenggak tiga gelas wine setelah bertemu dengan Grace, tetapi kesadaraannya masih terbilang cukup baik. Bahkan isi kepalanya masih dipenuhi dengan rentetan kalimat yang jika diingat membuat rahangnya mengeras.
"Saya nggak apa-apa, Cep. Kamu istirahat aja sana!" Seraya mendengkus, Chivar menoleh pada sopir yang mengikutinya dengan raut khawatir.
"Eh, anu ... baik, Pak. Kalau begitu saya pamit." Cecep tak mungkin membantah titah sang tuan. Ia yang sudah ada di ujung tangga memilih berbalik dan pergi dari hadapan pria tinggi itu.
Kembali menarik napas, Chivar bawa tungkainya masuk ke rumah. Berjalan dengan perasaan gamang menuju kamar sebelum melirik arloji yang menampilkan jarum jam di angka satu. Untuk beberapa saat, Chivar mematung di depan pintu kamarnya. Merasakan kembali keraguan yang makin menyelinap masuk. Hingga dirinya yang malam ini dijejali opini tentang sang istri melangkah mundur dari sana. Kemudian, beranjak menuju kamar yang dulu ditempati Webhi sebelum tidur dengannya.
Biarlah. Malam ini ia ingin tidur sendiri sambil berusaha melupakan segala bayangan buruk tentang Webhi.
***
Setelah selesai membersihkan diri, Webhi yang pagi ini dikejutkan dengan ketidakhadiran suaminya di kamar, sedang sibuk membuka salah satu aplikasi dalam ponselnya. Semalam, Webhi memang tidur lebih awal. Biasanya jika pulang telat atau tak bisa makan malam di rumah, Chivar akan memberi kabar lewat pesan singkat. Atau terkadang, meski pergi tidur sendiri paginya Webhi akan menemukan pria itu memeluk tubuhnya bak bocah yang kedinginan.
Namun, kali ini hal biasa itu tak terjadi. Beranjak keluar kamar, Webhi yang ingin pergi ke lantai bawah untuk bertanya pada Mbok Jum atau Cecep yang selalu menemani Chivar, dibuat terkejut saat pria yang pagi ini mencipatkan banyak pertanyaan di kepala, muncul dari kamar lain.
"Chi, kamu tidur di sana?" Webhi berjalan menghampiri Chvar dengan raut bingung.
"Hm, aku semalam pulang larut banget. Takut ganggu kamu, jadi tidur di sini." Meski berniat bicara dengan nada biasa, tetapi raut bingung Webhi dari ketidakacuhan yang tertangkap, membuat Chivar menghela napas. "Aku minum semalam, kamu nggak suka baunya, kan?"
Webhi masih mengamati pria itu. Memang tercium bau alkohol saat Chivar bicara. Bahkan skleranya terlihat memerah seperti orang yang semalaman terjaga. "Kamu ada masalah?"
Tanpa diduga Chivar berdecih lirih. "Kalau iya, kenapa? Emangnya kamu mau peduli?"
Webhi mengernyit mendengar kalimat sarkasme itu. Ia raih tangan Chivar yang hendak melewatinya sebelum menatap ke dalam iris segelap obsidian.
"Kenapa?"
"Kepala aku pusing, Bhi. Jadi jangan diajak ngobrol dulu, nanti jawabannya nyakitin kamu." Chivar tarik lengannya pelan dan mengernyit saat Webhi memilih mengeratkan pegangannya. Ia embuskan napas jemu sambil memejamkan mata sejenak.
Sebenarnya, semalam Chivar tak benar-benar tertidur nyenyak meski pengaruh alkohol membuat kepalanya terasa berat. Otaknya terus saja memikirkan sesuatu yang membuat ia berkali-kali mengembuskan napas kasar. Dan makin menjengkelkannya lagi, tak ada satu pun pesan khawatir dari wanita di depannya.
Chivar tak peduli jika dianggap childish karena terlalu emosional tentang hal sepele seperti itu. Namun jika diingat-ingat, Webhi memang tak pernah peduli sekali pun ia tak pulang ke rumah. Dulu Chivar bisa memaklumi karena keadaan mereka yang belum baik-baik saja, tetapi bukankah saat ini semua sudah berbeda?
Atau selama ini hanya Chivar yang merasa seperti itu?
Menganggap hubungan yang terjalin di antara mereka sudah masuk ke dalam tahap berbeda. Apa hanya ia yang memakai hati dalam hubungan ini? Membayangkan itu menciptakan senyum miris di sudut bibirnya.
"Oke, kalau belum bisa bicara sekarang, tapi kamu istirahat di kamar kita aja. Nanti aku bawain sarapan sama teh herbal." Webhi akhirnya membebaskan lengan pria itu dan membiarkan Chivar pergi dari hadapannya.
Sambil membawa nampan berisi sepiring nasi merah, semangkuk sayur capcay, tuna krispi, dan segelas air minum, Webhi dorong pintu kamarnya dengan hati-hati. Kemudian, melihat pria yang dalam posisi tengkurap di atas tempat tidur. Ia letakkan sarapan pagi pada meja di depan sofa sebelum beranjak menghampiri Chivar yang sepertinya mulai tertidur. Melirik cangkir teh di atas nakas yang sudah kosong, Webhi tatap punggung lebar yang dilapisi kaus putih polos.
Perlahan ia usap pinggang pria itu. Webhi yang sudah mengambil posisi duduk di samping Chivar sambil menatap lekat wajah lelah suaminya. "Chi ...," panggilnya pelan. "Aku bawa sarapan. Kamu mau makan sekarang atau nanti?"
Chivar terusik. Meskipun matanya masih terpejam, tangannya meraih lengan Webhi yang ada di pinggang. Lantas menyingkirkannya santai. "Aku mau tidur. Nanti aja sarapannya."
Walaupun merasa aneh dengan sikap pria itu, Webhi harus apa kalau Chivar memilih tidur lagi dengan posisi memunggunginya. "Aku bawa ke bawah ya, sarapannya. Nanti kamu turun aja kalau laper."
Hingga Webhi sampai di depan pintu dengan tangan yang membawa kembali nampan berisi makanan, Chivar tak ingin bersuara sedikit pun karena hati dan pikirannya benar-benar kacau.
***
"Bhi, lihat ini!" Sabil tunjukkan gambar dalam ponsel. Memperlihatkannya pada wanita yang sejak tadi melamun dengan gunting tanaman. "Festival tulip udah buka mulai akhir Februari, loh. Ke sana, yuk!" ajaknya antusias. "Eh, tapi ... aku lupa kamu udah married. Kira-kira Chivar izinin nggak kamu traveling tanpa dia?"
"Di mana itu, Bil?"
Menjawab setengah hati, Webhi beri atensi wanita yang meskipun sudah bergelar S2 sebulan lalu, tetapi masih setia menemaninya di toko. Padahal perusahaan keluarga yang saat ini dipimpin Ardaf sudah menyediakan kursi jabatan yang menggiurkan. Katanya ingin mendinginkan otak dulu dari panasnya tekanan tesis dan tetek bengeknya yang sempat memporsil waktu dan tenaga.
"Belanda. Turki masih lama, Bhi. Tapi mending Turki nggak, sih? Kita belum pernah ke sana."
Webhi hela napas pelan saat menanggapinya. Dulu ia dan Sabil sering mengunjungi festival bunga di luar negeri, kadang bersama Ardaf jika pria itu memiliki waktu luang. Namun, saat ini festival yang membuat Webhi biasanya antusias malah terdengar biasa saja. Pikirannya justru tersedot oleh pria yang tadi pagi terasa berbeda.
"Kenapa, sih?" Sabil kembali bersuara.
"Bil, aku kayaknya pulang aja, deh."
Sambil melirik jam analog yang ada di atas meja konter, Webhi beranjak dari sofa. Meninggalkan Sabil yang tampak kebingungan.
Sebenarnya Sabil tak heran jika ucapannya yang panjang lebar hanya mendapat jawaban singkat dan padat. Namun, kali ini ia dibuat bingung oleh sikap Webhi yang beberapa kali tertangkap melamun dan tak fokus jika diajak bicara.
"Bhi, kamu ada masalah sama Chivar?"
Gerakan tangan yang sedang membuka tali apron, sontak berhenti. Webhi sudah berada dalam konter saat menoleh pada wanita yang masih duduk santai di sofa. "Aku nggak tahu, Bil," desahnya pasrah. Webhi rasa baru kali ini ia begitu terganggu dengan perubahan sikap Chivar.
"Bhi, sejak dulu aku nggak pernah denger kamu cerita tentang cowok. Bahkan aku sempet hesitate sama kamu, loh. Alasannya karena sejak dulu kamu nggak pernah sekali pun gibahin cowok, kepoin lelaki ganteng, atau sharing kriteria pria idaman." Sabil tak berniat mengubah posisi santainya, tetapi sorot serius tampak jelas di matanya. "Makanya selain Mas Ardaf yang kaget sama keputusan kamu, aku juga. Sekarang mungkin nggak penting aku nanya alasan kenapa kamu terima perjodohan itu, tapi Bhi ... kamu baik-baik aja, kan?"
Meremas apron yang belum sempat ia tanggalkan, Webhi tak menyangka pertanyaan sederhana Sabil begitu mengusik hati. Sekarang apa ia baik-baik saja? Webhi pikir seperti itu, tetapi lama-lama perasaannya mulai merasa gamang. Entah karena perubahan sikap Ardaf atau kehadiran Chivar yang tanpa sadar berhasil masuk ke dalam hidupnya. Hingga saat ada yang berubah dari pria itu perasaanya tiba-tiba saja resah.
"Aku baik-baik aja--"
"Tapi ...?" desak Sabil.
Webhi jatuhkan tatapannya pada vas bunga yang menghiasi meja konter. "Aku ... aku nggak tahu, Bil."
Mendesah pelan, Sabil mengangguk paham. Jika kebanyakan wanita lebih suka menumpahkan keluh kesahnya lewat selorohan kalimat panjang lebar, maka Webhi bukan salah satunya.
"Cerita kalau kamu ada masalah, Bhi. Jangan dipendem sendiri. Aku nggak mau kamu depresi lagi karena sembunyiin masalah. Sharingnya nggak harus ke aku, ada Mamah Lulu sama Om Yazir yang pasti dengerin kamu."
"Bil, bukan gitu--"
"Aku ngerti, Bhi. Aku ada kalau suatu saat kamu butuh."
Setelah percakapan itu selesai, Webhi langsung melajukan mobilnya menuju arah pulang. Mengirim pesan singkat pada Chivar jika dirinya sudah ada di rumah. Namun, sampai waktu makan malam selesai pria itu tak kunjung pulang. Bahkan saat ini, sambil meringkuk dengan perasaan resah di atas tempat tidur, Webhi terus menatap ponsel di atas nakas yang tak memunculkan notifikasi apa pun. Padahal pesannya sudah lama terbaca.
Kembali melirik jam digital, wanita dengan gaun tidur itu mendesah gelisah melihat waktu sudah menunjukkan pukul 01:55 WIB. "Kamu di mana sih, Chi?" monolognya sambil menarik selimut hingga ke dada.
Wah, Cipar dikelonin siapa malam ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top