54• Mulai Berulah.
Jangan lupa votenya.
_____________
******
Tenang. Romansa yang digodok semesta banyak yang berakhir indah meski cara mencapainya penuh dengan luka. Namun, rasanya tak masalah selama di ujung jalan disambut tawa bahagia. Pernah dengar jika Tuhan tak memberi cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya, bukan? Jadi, tak perlu khawatir dengan aral melintang yang sebentar lagi datang. Karena beberapa orang bilang, Tuhan punya cara berbeda memberi kebahagiaan.
Bak puisi yang tak bisa dimengerti sebelum dibaca berkali-kali, kadang maksud Tuhan pun sulit untuk dipahami. Sang Esa punya rencana, bahkan sebelum meniup roh pada jabang bayi yang ada dalam rahim hamba-Nya. Makhluk yang lemah itu hanya perlu menjalankan hidup sebaik mungkin, sambil diarahkan ke jalan yang sudah ditentukan. Setelah itu, serahkan saja semuanya pada takdir yang ada. Tak apa jika semesta kadang tertawa melihat penghuninya merana. Toh, yang sedang dijalani memang terkadang tak mudah.
"Kapan-kapan gini lagi, ya. Duuh, Mamah seneng banget loh, hari ini!" Lulu berseru antusias. Makan siang bersama anak dan menantunya baru saja selesai. Kini mereka yang mengisi meja makan sedang menikmati puding buah buatan Webhi tadi pagi.
"Jangan sering-sering, Mah. Takut mereka sibuk." Yazir berujar setelah mengeluarkan dehaman samar. Ia lirik sebentar putranya yang sejak duduk di ruang makan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian, menoleh pada pasangan suami istri di sisi kiri. "Proyek kamu lancar, Var?"
"Lancar, Pah. Udah 65% jadi." Pria yang ditanyai menyahut santai. Chivar memang merasakan ada hal yang berbeda dari Webhi dan Ardaf. Dua orang itu sejak tadi tak bertegur sapa bahkan setahunya, menukar pandang pun tidak.
"Daf, aku denger kamu jalin kerjasama sama pengusaha Jerman, ya?" Lalu ekor mata Chivar menangkap gerak tangan Webhi yang meremas sendok puding.
Seperti biasa, wanita itu selalu mampu memainkan raut tenang. Namun, Chivar sudah hafal jika ada sesuatu yang menggangu, tangan Webhi pasti bergerak tak nyaman.
"Hm," sahut Ardaf setengah hati. Sambil menyentil pelan gelas yang baru diletakkan, ia sorot wanita di samping Chivar sebelum menatap pria yang tadi berujar. "Kamu udah nggak suka keluar masuk bar, kan?" Suaranya terdengar sinis.
"Ardaf."
"Mas ...." Lulu menegur pelan setelah suaminya, lalu melirik Chivar yang bersandar santai pada kursi makan.
Sementara itu, pria yang baru saja kena ulti membalasnya dengan tawa kecil tanpa humor. Kemudian, menurunkan tatapan saat tangan Webhi jatuh di pahanya untuk menarik perhatian. Kembali menatap Ardaf, Chivar lempar seringai tipisnya. "Nggak lah, Daf. Kan udah punya istri. Kamu kok, tahu aku dulu sering ke bar. Langganan juga? Kawasan mana?"
"Aku nggak suka dateng ke sana. Jijik." Ardaf bangun dari kursinya setalah melempar jawaban menohok, lalu melihat sang ayah. "Pah, Mas ada meeting jam dua."
"Oh, mau pergi sekarang, Mas?" Lulu mulai tak enak pada menantunya karena sikap Ardaf yang ia rasa begitu tiba-tiba. "Ayo, Mamah antar!" Lantas berjalan mendampingi Ardaf yang tak melempar ucapan lagi. Bahkan, jika biasanya Webhi selalu mendapat pelukan perpisahan, kali ini pria itu melewatinya begitu saja.
"Papah juga mau minum obat, Var. Habis itu langsung istirahat." Yazir menarik atensi pasutri yang terdiam setelah kepergian putra pertamanya. "Bhi, Chivar ajak istirahat juga."
"Iya, Pah." Webhi mengangguk dan menatap sang ayah yang melenggang sebelum menghela napas. Ia alihkan atensi pada pria yang tersenyum menatapnya. Hal itu membuat Webhi mengernyitkan kening. Ia pikir Chivar akan marah karena ulah Ardaf. "Kenapa? Ada yang aneh sama wajahku?"
"Nggak ada. Tadi Papah suruh kamu ajak aku istirahat, kan? Ya udah, yuk! Istirahat di kamar."
Lantas pasutri itu dikejutkan dengan kaki kursi yang bergeser nyaring di lantai granit. Mereka menoleh pada pemuda yang sejak tadi tak bersuara, lalu terkekeh geli melihat Devan mengusap tengkuknya salah tingkah. Tak menunggu waktu lama, anak bontot keluarga Andreas itu melenggang pergi tanpa basa basi.
Kali ini meski kamar yang menjadi tujuan, Chivar bukan ingin mengetuk pintu pahalanya. Setelah membuka kemeja dan berganti kaus lengan panjang yang pernah ia tinggalkan di kamar Webhi, pria itu duduk di sofa yang pernah menjadi tempat tidurnya. Kemudian, melihat ke arah Webhi yang sejak tadi duduk di bibir ranjang.
"Chi--"
"Sini, Bhi!" Chivar tepuk sofa di sisi kosongnya, menyuruh Webhi bergabung.
"Maaf, tadi Mas Ardaf ... kayaknya dia lagi sibuk jadi langsung pergi." Duduk di samping Chivar, Webhi tak terkejut saat pria itu kembali menjadikan pahanya sebagai bantalan.
"Kayaknya dia belum bisa terima aku sebagai suami kamu, Bhi. Tadi aku ngerasa jadi anak SMA yang lagi diintrogasi sama kakak pacarnya." Chivar terkekeh meski hatinya sempat tersinggung dengan perkataan Ardaf.
"Maaf."
"It's okay." Chivar mendesah kasar. "Jadi begitu ya, cara dia jagain kamu. Pantas kamu masih segel waktu aku buka." Lalu tertawa merasakan cubitan gemas di bisepsnya. "Tapi Ardaf harus tahu, Bhi. Sekarang ada aku yang jagain kamu. Dia nggak perlu khawatir dan nggak usah ikut campur." Bersamaan dengan itu, ia tatap serius wajah wanita yang tampak diam mendengar ucapannya. "Aku nggak terlalu suka kalau ada yang nyinggung urusanku, apalagi nyentuh punyaku." Lalu berbalik hingga wajahnya beradu dengan perut Webhi.
***
Banyak anak perempuan yang membanggakan seorang ayah sebagai cinta pertamanya. Namun, tak sedikit pula yang mengalami patah hati terhebat karena sosok pria dewasa yang berkontribusi menghadirkan mereka ke dunia, salah satunya Grace. Wanita itu besar dengan luka yang tak terlihat dan ambisi untuk mengalahkan saudara-saudaranya. Hal itu ternyata memiliki efek samping, tak hanya hati yang didoktrin harus menang sendiri, tetapi jiwanya sudah lama mati. Sekalinya bangkit, itu pun karena menemukan pria yang ia kira membawa cinta sejati. Sayangnya Grace malah menelan pil pahit lagi.
Hari ini, wanita yang pernah menjebloskan kakak tirinya masuk ke dalam jeruji besi, sedang duduk manis di salah satu kursi restoran. Mengetuk santai meja kayu dengan kuku terawatnya sambil menyusun apik rencana licik dalam kepala. Berada dalam salah satu tempat makan mewah, Grace sengaja memesan ruang vip untuk bertemu pria yang semalam mengabari ingin tahu sesuatu darinya. Sepertinya, rencana menyeret Chivar ke dalam skenario, berjalan lancar. Grace mulai tak peduli jika Ardaf tak bisa ia miliki lagi karena menonton penderitaan orang-orang yang sudah mempermainkan hidupnya, sudah menjadi hiburan menyenangkan.
Menyunggingkan seringai tipis, Grace menoleh pada pintu ruangan yang terbuka. Menampilkan Ness yang tak lama diikuti pria tinggi di belakangnya.
"Harus banget, ya, di ruang vip?" Pria itu bertanya tak ramah.
"Grace baru putus, dia nggak bisa sembarangan ketemu lelaki. Takut ada yang ambil gambar dan nyebarin hoax." Ness masih berdiri di dekat pintu saat menimpali ucapan pria itu.
Sementara Grace yang sudah bangun, mengulas senyum pada pria yang berjalan ke arahnya. "Hai, aku pikir kamu berubah pikiran dan nggak mau dateng." Ia julurkan tangannya sopan. "Lebih baik kita kenalan dulu meskipun udah saling tahu. Aku Grace."
Walaupun berdecak malas, pria itu tetap menyambut tangan Grace. "Chivar." Lalu segera melepas jabatannya. "Gue kadang nggak suka basa basi. Lo nggak ngada-ngada cerita, kan?" Ia tatap serius wanita yang hari ini mengenakkan dress merah dengan belt kecil yang menegaskan lingkar pinggangnya.
Mereka pernah bertemu di acara pernikahan dan rumah sakit. Hanya saja tak sempat bertegur sapa karena durasi pertemuan yang terlalu sedikit. Namun kali ini, Grace benar-benar bisa mengamati wajah maskulin, postur gagah dengan kemeja biru bermotif sederhana dan gaya rambut slebor yang sepertinya begitu pas melengkapi kerupawanan pria itu. Ada sesuatu yang membuat Grace tertarik saat sorot mata Chivar menatapnya penuh peringatan. Pria itu memiliki karisma unik, jemawa sekaligus berbahaya. Benar-benar memiliki kesan menarik dalam sekali tatap.
Dan Grace makin bersemangat menjalani rencananya.
🏃♂️Run, Chivar! Dia perempuan cantik berhati~~~
Makanya! Nggak usah rapi-rapi kalau ketemuan sama perempuan!
Kecantol kan, si Gres😂
Cipar said:
ya... gimana ya. Gue koloran aja ganteng.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top