52• Tak Apa, Hadapi Saja.

Merasa sudah percaya sembuh dari luka, ternyata hanya sekedar lupa. Karena saat menyentuh tempat yang sama, sakitnya masih saja terasa.

______________

******

Layaknya pemeran utama dalam sebuah cerita, Webhi sudah mengira jika dalam hidupnya semua tak selalu berjalan mudah. Kisah yang diciptakan penulis saja ada aral melintang yang diselipkan dalam narasinya, apa lagi manusia yang sebelum lahir ke dunia sudah digariskan Tuhan tentang takdirnya. Namun, meskipun sadar jika hidup dan masalah bak satu paket yang dibawa manusia, Webhi tetap akan menumpahkan air mata saat dirasa ujian takdir tak bisa ia terima.

Sekarang, dengan tangan yang meremas ponsel dalam kantong apron, Webhi kuatkan hati seraya berbisik pada diri sendiri agar sosok pria yang ada di depan tak membuatnya lupa diri.

"Bhi?"

Dulu, Webhi begitu senang saat mendengar panggilan itu keluar dari mulut Ardaf. Sekarang ada yang berbeda. Ia mulai takut, takut jika hatinya yang tak sengaja terluka kembali berdarah-darah.

"Mas Ardaf?" Sambil mendoktrin diri agar senyum itu tak lagi mengusik hati, Webhi beranjak menuju pria yang muncul di ambang pintu tokonya.

Tersenyum melihat wanita itu mulai berjalan meski dengan raut terkejut menatapnya, Ardaf mengambil langkah yang sama. Lantas, karena sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan saat bertemu, Ardaf berikan pelukan singkat meski kali ini terasa berbeda. Tak ada balasan yang ia terima.

"Kamu udah makan siang, Bhi?" Melepas pelukan itu, Ardaf yang hendak mengecup kening sang adik malah berakhir dengan dehaman samar karena Webhi mengambil langkah mundur sambil memalingkan wajah.

"Belum ... Sabil lagi beli makan, Mas." Ingin menyentuh keningnya karena merasa bersalah menghindar begitu saja, Webhi alihkan keinginan itu dengan meremas apron cokelat yang ia kenakan. "Mas Ardaf ada meeting di luar lagi?"

Berjalan bersamaan, mereka duduk pada  sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Sama-sama menarik napas gugup saat merasakan suasana berbeda. Hampir satu minggu mereka tak bertemu lepas kejadian sore itu. Mungkin, mulut mereka bisa mengatakan hal basa basi agar keadaan saat ini tak terlalu sunyi. Namun, bagaimana dengan gerak tubuh yang bahkan mulai takut untuk saling menyentuh.

Sebenarnya hanya Webhi. Ardaf yang mengambil posisi di tengah sofa merasa aneh saat wanita itu duduk dengan menyisakan ruang kosong di antara mereka.

"Aku denger Kak Grace sakit, Mas?"

Sejujurnya Webhi tak ingin membawa nama wanita itu masuk ke dalam obrolan, tetapi ia tak tahan dengan suasana saat ini. Dalam hati, ia berharap Sabil yang pergi setengah jam lalu lekas kembali.

"Mamah kemarin ajak aku jenguk dia."

Webhi tak berbohong, kemarin sore ibunya memang mengirim pesan ajakan ingin menjenguk wanita yang sempat berpotensi menjadi bagian dari keluarga Andreas.

"Belum." Ardaf turunkan tatapannya pada vas bung di atas meja. Menahan senyum getir saat merasa Webhi sudah bisa menebak perasaannya. "Bhi--"

"Tadi aku tanya, Mas Ardaf ada meeting di luar?"

Baiklah, Webhi sudah tak tahan. Rasanya saat ini ia ingin teleponnya bergetar dan memunculkan nama Chivar.

"Nggak ada. Aku memang mau ke toko kamu, Bhi."

Mengangguk skeptis, Webhi lihat layar ponselnya demi mengusir gugup. Seumur hidup baru kali ini ia ada dalam situasi canggung bersama Ardaf.

"Mas udah makan siang?"

Ardaf menggeleng.

"Aku telepon Sabil, ya, buat beliin makanan. Tadi awalnya mau pesan lewat aplikasi, cuma ada sesuatu yang mau Sabil beli. Jadi sekalian keluar. Atau Mas Ardaf mau pesan sendiri aja?"

"Kamu aja yang pesenin, Bhi."

"Oh, oke." Sambil membuka aplikasi dalam ponsel, Webhi bersyukur saat perasaan resah tak membuat tangannya bergerak gelisah. "Mau makan apa, Mas?"

"Bhi, maaf buat obrolan sore itu."

Webhi harus bagaimana saat sebaris kalimat lirih itu masih mampu mengganggu sanubari. Mereka sama-sama terdiam setelahnya. Membiarkan keheningan menanggapi ucapan Ardaf, bahkan pergerakan ibu jari Webhi yang sedang men-scroll menu makanan dalam aplikasi online food, berhenti seketika.

"Jangan ngerasa bersalah." Ardaf masih memasang raut serius saat berhasil menarik atensi wanita itu. "Juga ... jangan ngehindar, Bhi."

Membuang pandangan ke segala arah, Webhi ingin menjerit marah. Kenapa saat ia merasa rencana mengalihkan hati sudah mencapai hasil yang memuaskan, masih ada saja debat meresahkan kala ucapan Ardaf terdengar.

"Mas jelasin sama Kak Grace. Mungkin dia salah paham."

"Aku nggak bisa."

Awalnya, Ardaf hanya ingin bertemu Webhi dan melupakan obrolan sore yang menjadi alasan wanita itu menghindar. Namun, ternyata saat bertemu justru rasa yang tumbuh cepat saat ia mulai menyadarinya tak membiarkan niat itu berjalan sempurna.

"Aku sama Grace memang udah bener-bener selesai," lanjutnya meyakinkan.

"Terus kenapa karena aku, Mas?" Dan Webhi benci saat netranya memanas karena melihat raut pasrah Ardaf.

Sementara Ardaf kembali menjadi pria bodoh yang diam saat pertanyaan itu mengusik ketenangan hatinya. Mencoba masuk ke dalam sepasang cakrawala yang indah itu, Ardaf benar-benar yakin kalau wanita itulah yang ia inginkan.

"Bhi--"

"Bhi, taichan kamu nggak ada! Aku beliin sesuai selera aku ajalah. Lagian kamu nggak punya refrensi lain kalau pesenan kamu nggak ada. Hapeku abis baterai jadi nggak bisa tanya kamu." Berceloteh setelah mendorong pintu kaca, Sabil sedikit terkejut saat mendapati Ardaf sudah ada di sana. "Eh, Mas Ardaf?" Lalu berjalan menuju sofa dan duduk tepat di samping sepupunya. "Udah lama?"

"Nggak, baru aja." Memberi atensi pada wanita yang baru bergabung, Ardaf lihat jinjingan yang baru saja diletakkan Sabil di atas meja. "Harusnya Mas bawa makanan, ya?"

"Mas Ardaf belum makan siang? Aku beli banyak makanan, kok. Makan aja itu."

"Tapi tadi Webhi udah pesen makanan."

"Eh, belum, kok." Webhi berdeham samar. "Mau aku pesenin juga, Mas?"

Ardaf tersenyum, lalu menggeleng sambil menoleh pada Webhi. "Nggak usah. Makan ini aja."

***

"Zeya sama Zoya gangguin kamu terus nggak, Bhi?"

"Nggak, kok."

"Tapi ...?"

Webhi meringis tipis pada cermin rias di depannya. "Mungkin sedikit berisik," katanya setengah berbisik.

Chivar yang duduk di tepi kasur tertawa kecil. Sudah ia duga, istrinya yang lahir dengan jiwa setengah patung sejarah, tak akan betah jika ada orang-orang yang berisik di sekitarnya.

"Ya ... mereka emang begitu. Berisik. Sebentar berantem, sebentar baikan."

Webhi mengangguk setuju. "Tapi nggak apa-apa, sih. Aku seneng mereka di sini."

"Hm, kamu harus sering dikelilingi orang-orang yang berisik, Bhi. Biar hidup kamu ada kagetnya sedikit."

"Kamu udah cukup bikin aku kaget terus!"

Chivar kembali tertawa. Ia amati istrinya yang mulai merapikan peralatan skincare setelah selesai digunakan. "Kayaknya kalau punya anak, harus mirip aku, deh."

Refleks menoleh, Webhi merasa aneh dengan obrolan Chivar kali ini. Lebih aneh lagi karena ia mau menanggapinya. "Kenapa harus mirip kamu?"

"Ya ... kan, aku yang paling effort waktu buat mereka."

"Ck, nggak lucu!"

Chivar membersit geli mengingat obrolan bersama Webhi semalam. Zeya dan Zoya sudah pulang sejak kemarin pagi. Meski merengek minta tetap di sana dengan alasan masih libur sekolah, Chivar tetap keukeuh memulangkan dua adiknya setelah tiga hari menemani Webhi.

Setelah bertukar pesan singkat yang sebenarnya tak penting sama sekali, Chivar memilih menatap langit-langit ruangan. Selain memiliki kantor di area kontruksi, kakeknya yang baik hati dan suka memaki, masih memperbolehkan Chivar menghuni salah satu ruangan di perusahaan keluarga. Ruangan yang dulunya dipakai sang ayah sebagai manajer direktur, sekarang beralih fungsi menjadi tempat istirahat Chivar jika merasa bosan berada di kantor sementara. Ia memang sengaja meminta ruangan yang menjadi pengobat rindu pada ayahnya, dibiarkan begitu saja.

Banyak kilasan masa kecilnya di sana.

Sebenarnya, Chivar bukan bosan pada kantor sementara melainkan pendingin ruangan di tempat itu sedang tak berfungsi. Jadi Chivar meminta Cecep mengantarnya ke sini selama tukang servis memeriksa benda tersebut.

Berada di lantai tiga, ruangan itu cukup luas dan nyaman. Meski hanya di lengkapi dua single sofa dan satu sofa panjang yang dilengkapi meja kayu. Baru hendak memejamkan mata sambil membayangkan hal-hal indah, ponsel yang baru saja diletakkan Chivar di atas meja,  mengeluarkan notifikasi pesan.

Chivar pikir itu sang istri yang kembali memberi pesan. Namun, pesan yang baru saja masuk berasal dari nomor yang tak ia kenal.

Lantas kernyitan di antara dua alis Chivar muncul begitu saja. Kebingungan mulai menggerayangi pikirannya saat pesan terakhir wanita itu secara alami membuat Chivar menyangkutpautkan dua nama.

Ada apa dengan Webhi dan Ardaf?

Chivar si paling effort👣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top