5• Harus Bagaimana?
"Anjir! Si Webhi?"
Nama itu meluncur dengan nada memekik dari seorang pria yang saat ini duduk di sofa dalam apartemen. "Adam cepet sini, Dam!" katanya lagi dengan nada antusias.
Ikhram Wira Adunara, lelaki yang baru saja terkejut setelah mendengar cerita salah satu sahabatnya yang berujar akan dijodohkan, memanggil pria lain yang masih sibuk di pantri.
"Lo kenal dia, Wir?" balas Chivar dengan kening mengernyit.
Alih-alih mengistirahatkan tubuh setelah acara makan malam usai, ia justru membawa roda empatnya menuju apartemen milik salah satu sahabat kecilnya.
"Kenallah! Dia kan, satu kampus sama gue. Ya nggak, Dam?" Wira kembali menyahut sambil meminta tanggapan pria yang membawa sebotol wine dan tiga gelas kaca berkaki tinggi. "Wih, itu beneran wine atau sirup marjan lo taro ke botol kecap, Dam?"
"Bacot lo, Wir!" hardik Adam sambil melempar bantal sofa ke wajah sepupunya yang saat ini terkekeh geli. "Kiriman dari kak Azam di Kanada, nih."
"Jadi kalian kenal sama Webhi?" Chivar kembali mengambil atensi dua pria tinggi di depannya setelah menuang wine ke dalam gelas.
"Webhi?"
Arsadam Adunara atau pria yang lebih akrab dipanggil Adam, justru terlihat kebingungan dengan nama yang baru saja disebutkan pria yang setengah jam lalu menggedor-gedor pintu apartemennya.
Adam sempat jengkel dengan kedatangan Chivar yang membuat gaduh di tengah malam, lalu makin jengkel karena pria itu dengan santai menghubungi Wira yang bisa-bisanya sudah ada di depan pintu apartemen dalam waktu kurang dari lima belas menit.
"Si Lea, Dam." Wira menyesap sedikit minumanya setelah menyahut.
Adam mengernyit bingung sebelum mengangguk paham saat otaknya mengingat sesuatu. "Oh ... si Lea."
Giliran Chivar yang mengernyit kebingungan. Mereka memang tak mengenyam bangku kuliah di kampus yang sama, lebih tepatnya Chivar yang harus berpisah dengan Adam dan Wira. Jadi, ia benar-benar tak mengerti saat dua pria yang masih memiliki ikatan darah itu membahas wanita yang dikenal sebagai Lea.
"Si Webhi waktu jadi maba dikenalnya sebagai Lea, Var. Gue juga tahu dari temen gue kalau panggilan akrabnya ternyata Webhi." Wira memilih bersandar sambil menikmati cairan merah pekat dalam gelasnya. Kemudian, menoleh pada Adam sebelum terkekeh geli. "Adam pernah ada something sama Webhi, Var."
"Apaan?! Nggak ada, ya!" sanggah sang tuan rumah dengan melempar tatapan tajam ke arah pria yang benar-benar memiliki mulut menyebalkan. "Gue cuma kenal doang."
"Gue nggak peduli sekali pun lo ada something sama tuh, Maleficent!" timpal Chivar sambil merebahkan tubuh di sofa panjang yang ia duduki. "Gue cuma kepingin tahu kayak apa sih, sifatnya."
Adam dan Wira saling bertukar pandang sebelum terkekeh geli mendengar panggilan Chivar untuk wanita yang dulu menjadi junior mereka saat kuliah.
"Kenapa?" Chivar kembali melihat sahabatnya.
"Nggak apa-apa! Lucu aja gue denger nama panggilan lo ke Webhi," sahut Wira lalu menepuk bahu Adam yang masih terkekeh geli. "Adam kayaknya lebih tahu dari gue, Var."
Mendengkus jengkel mendengar pernyataan Wira, Adam mulai menikmati wine di dalam gelasnya. Sebenarnya ia jarang sekali mengonsumsi alkohol. "Anaknya sih, baik cuma agak jutek. Ya ... gue emang pernah deket sama dia--"
"Pernah ngajak jalan tapi ditolak!" sela Wira sebelum menyesal merasakan pukulan Adam mendarat di bahunya. "Oke, Sori sori!" Lalu terkekeh setelah meringis kesakitan.
"Iya. Gue pernah mau deketin dia. Cuma gitu, nggak sampai pada akhir yang gue harapin. Gue nggak suka cewek jutek kayak Lea, meskipun cakep." Adam menerangkan sambil menatap Chivar yang mengangguk paham.
"Udah jutek, mulutnya beracun pula! Masa tadi gue dikatain pedofil. Kan, asu!"
Lantas Adam dan Wira kembali membiarkan tawanya mengudara mengisi ruangan apartemen.
"Eh, tapi lo udah ketemu sama si Ardaf, belum? Waktu itu sebenarnya bukan cuma karena sifat Lea aja yang bikin gua mundur, tapi gara-gara abangnya juga yang overprotektif banget. Bahkan seinget gue, anak kampus nggak ada yang berani deketin Lea karena dipantau terus sama Ardaf. Ya ... gue ngerti sih, mungkin saat itu Lea masih polos-polosnya. Jadi Ardaf posesif banget jagainnya," jelas Adam membuat Chivar mengernyit samar.
Azhami Ardaf Andreas, pria yang seumuran dengan mereka itu terkenal sebagai pengusaha muda yang sukses. Chivar sempat beberapa kali bertemu dalam kebetulan yang singkat. Ia tak pernah mengobrol lama dengan anak pertama keluarga Andreas itu, tetapi image yang ia dengar dari sang ibu dan juga rekanan bisnis, pria itu memiliki sifat lembut dan dermawan sama persis seperti Yazir Andreas.
Chivar menggeleng dalam posisinya menatap langit-langit apartemen. "Belum, sih. Kata ibu gue dia lagi di Jerman ngurus bisnisnya."
"Oh, iya!" Wira ikut bersuara setelah selesai mengatur napas karena banyak tertawa. "Kakek lo beneran ngancem lo pake warisan, ya?"
Mendesah pasrah, Chivar gunakan sebelah lengan menutupi kening. "Kakek gue kayaknya nyerempet gila, deh. Baru setahun lalu dia wakafin tanahnya yang satu hektare di Bintaro buat TPU atau apalah itu, gue nggak paham. Kemarin dia bilang tanah yang lagi gua bangun perumahan mau diwakafin juga kalau gue nggak buru-buru nikah. Kan ... ah, sialan! Gue bahkan ngeri mau nyumpahinnya. Takut tuh, aki-aki punya telinga ajaib yang bisa denger sumpah gue!"
Hidup sebagai cucu laki-laki pertama tuan tanah yang terkenal kaya raya, memang menjadi latar belakang Chivar yang disegani banyak orang. Namun, didikkan keras dari mendiang sang ayah dan kakeknya membuat ia hampir stres. Pria yang pernah tinggal di kelas tiga SMA selama dua tahun itu bahkan sering memberontak dari aturan yang orang tuanya terapkan.
"Kakek lo nggak pernah main-main ya, kalau ngancem?" Adam kembali berseru sambil meletakkan gelas winenya. "Dulu waktu lo nggak lulus SMA aja beneran diusir dari rumah, kan?"
Bukan merasa prihatin dengan masa lalu menyedihkan sahabatnya, Wira malah kembali tertawa mengingat kejadian itu. Harusnya mereka lulus di tahun yang sama. Namun, karena Chivar terlalu banyak berurusan dengan guru BK, cita-cita ingin kuliah di kampus yang sama harus pupus begitu saja.
Kemalangan Chivar tak sampai di sana. Rasa malu bisa ia tanggung, tetapi kesulitan yang ia rasakan setelah sang kakek mencabut semua fasilitas yang mengelilingi kehidupannya, membuat Chivar benar-benar tak bisa apa-apa saat asupan saldo di rekeningnya berhenti.
Dengan memohon seperti seorang pengemis yang dibumbui akting drama, Chivar datang pada sang kakek yang saat itu masih menjadi pemimpin perusahaan bersama mendiang ayahnya.
Jalan keluar dari kakeknya cukup ekstrem. Dengan dalih tak ingin menanggung malu atas kebodohan cucu pertama mereka, Chivar dikirim atau lebih tepatnya dibuang ke Bintaro untuk mengulang kelas XII. Saat lulus pun, ia langsung berangkat ke Australia untuk meneruskan pendidikannya dengan target waktu lulus yang sudah ditentukan kakeknya.
Jangan pulang kalau kamu belum dapat gelar sarjana!
Begitu kata kakeknya.
"Jadi lo terima perjodohan ini karena terpaksa?" lanjut Adam masih dengan tatapan yang tertuju pada pria tinggi di sofanya.
"Ya ... begitulah." Chivar menoleh sambil memikirkan sesuatu. "Gue rasa si Webhi juga terpaksa, deh. Dia kayaknya nggak mau bikin orang tua angkatnya kecewa dan kalian tahu apa yang diusulin perempuan itu?" Ia bangun dengan gerakan cepat. Duduk menatap dua sahabatnya.
"Webhi nawarin gue syarat. Dia kasih gue dua pilihan, mau setia atau open relationship."
"Wow ...." Dua pria yang mendengarkan hal itu berseru takjub tanpa sadar.
"Aneh, kan?" Lalu Chivar menambahi setelah berdeham. "Apa sebenernya dia perempuan sasimo?"
"Nggak mungkin!" sanggah Adam yakin. "Abangnya kayak anjing polisi. Menurut gue sih, agak janggal kalau Webhi nakal."
"Terus lo pilih syarat yang mana?" timbrung Wira setelah mengangguk setuju menanggapi ucapan Adam.
"Nah, itu ... menurut kalian gue harus pilih yang mana?" Chivar kembali berbaring pada sofa panjang berbahan kulit sintesis. Tak peduli meski tinggi tubuhnya melebih benda empuk itu. "Gue nggak yakin bisa setia sama perempuan jutek begitu."
"Ya udah, lo pilih open relationship aja."
Adam dan Chivar kompak menoleh pada pria yang baru saja bersuara. Kemudian, saling bertukar pandang beberapa detik mencoba mempertimbangkan pendapat spontan Wira.
"Gue nggak bisa kasih pendapat, Var. Cuma sekedar ngingetin aja pernikahan itu bukan mainan. Misalnya lo ambil open realtionship, pasti ada konsekuensinya dari hubungan itu nanti." Adam kembali menuang wine ke dalam gelasnya yang sudah tandas.
"Lo kan, bangsat nih, Var. Gue agak ragu kalau lo bakal setia sama satu perempuan. Jadi, menurut gue syarat open relationship cocok buat lo," seru Wira yang dihadiahi dengkusan kasar dari mulut pria di seberangnya. "Kecuali emang lo udah ada bayangan buat grepe-grepe si Webhi."
Chivar malah berdecak kasar sambil membawa lengannya kembali menutupi kening. "Badannya nggak ada yang bikin horny. Bentukannya serba kecil, nggak tergiur gue!"
"Bajingan!"
"Asu lo!"
***
Saat merasa tak ada pilihan lain dalam hidup, biasanya manusia selalu berandai-andai dengan hal lain yang mungkin lebih baik dari yang sekarang mereka rasakan.
Webhi sedang menjadi salah satunya. Banyak pengandaian yang sedang ia bayangkan. Seperti; andai orang tua kandungnya saat itu tak membuangnya, andai ia tak diangkat oleh keluarga besar Andreas, atau andai saja ia hidup sebagai gadis biasa yang dipertemukan keluarga ini saat dewasa.
Alasannya hanya satu.
Alasan yang membuat Webhi sampai lupa dengan semua kebaikan Tuhan yang dilimpahkan padanya.
Di atas kasur empuknya. Masih dengan dress yang melekat di tubuh, wanita itu menyembunyikan tangis di antara lututnya yang tertekuk. Menahan isak yang membuat bahunya gemetar sambil meremas ponsel yang menampilkan deretan pesan dari pria yang entah sejak kapan merajai hatinya.
Mas Ardaf.
Aku bahkan nggak tahu bagaimana sifatnya, Bhie.
Mas Ardaf.
Kamu nggak serius terima perjodohan itu, kan? Bhie, plis bales pesan aku!
Mas Ardaf.
Bhie?
Mas Ardaf.
Plis, batalin perjodohan itu kalau kamu nggak cocok! Seenggaknya tunggu aku menilai seperti apa pria itu.
Mas Ardaf.
Batalin, Bhie! Aku nggak akan lepasin kamu ke lelaki yang aku nggak tahu sifatnya seperti apa.
Mas Ardaf.
Batalin sebelum aku kasih pendapat!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top