48• Deserve Better.
Terima kasih masih mengikuti kisah mereka.
Vote dulu, ya. Baru baca.
_________________
******
"Papah panggil aku?" Membuka pintu perpustakaan yang ada di lantai tiga rumah Andreas, Ardaf bawa langkahnya masuk ke sana. Kemudian, menghampiri pria baya yang saat ini memegang buku dengan kaca mata yang sedikit turun ke batang hidung.
"Iya, Mas. Sini ...," seru Yazir sembari menutup buku bacaanya. Ia tersenyum saat sang putra mengambil posisi duduk pada sofa di seberangnya. "Katanya kemarin kamu ketemu investor Jerman, ya? Gimana? Kalian deal kerja sama?"
Ardaf hanya mengangguk saja. Ia sorot lembut pria yang saat ini mengenakan kaus lengan panjang berbahan wool. Curah hujan minggu ini memang terbilang cukup sering, bahkan sekarang sang Bagaskara tampak santai bersembunyi di balik tebalnya awan mendung yang menggantung jauh.
"Kenapa putus dari Grace, Mas?"
Ardaf tak terkejut sama sekali saat ayahnya bertanya hal demikian. Ia tarik napas lebih dalam sebelum memberi penjelasan yang sejak tadi terus diteror ibunya. Namun, Ardaf bisa dengan mudah melontarkan beberapa alasan klasik pada wanita yang berjasa besar dalam hidupnya itu. Perlahan sang ibu mengerti dan menerima, meskipun raut kecewa terbaca jelas di wajahnya.
"Mas nggak cocok, Pah." Dan Ardaf mulai merasa gugup saat pandangan lembut sang ayah berubah penuh pengamatan. "Aku sama Grace udah bicarain ini. Kita berakhir baik-baik, kok," dustanya terangkai apik. Padahal Ardaf masih ingat, bagaimana wanita itu memohon agar ia mengubah keputusan di detik-detik terakhir sebelum pergi.
"Nggak cocok atau udah punya yang lain?" Yazir letakkan buku yang masih ada dipangkuannya ke atas meja, kembali menilik sang putra yang mulai bergerak pasrah. "Nggak lagi main-main kan, Daf?"
Mendesahkan kegusaran, Ardaf sisir kasar rambutnya dengan jari. "Memangnya selama ini Mas pernah mainin perempuan, Pah?"
Yazir tentu saja menggeleng tanpa ragu. "Papah nggak tahu apa yang kamu sama Grace alami sampai harus putus. Tapi, Papah selalu dukung keputusan kamu kalau memang itu yang terbaik, Daf. Kamu udah dewasa, pasti tahu mana yang baik."
Ardaf menunduk pelan mendengar titah itu, lalu menatap tangan yang bertaut di atas lutut. "Aku ngerasa nggak nyaman, Pah." Ia tahu, sulit menyembunyikan sesuatu pada sang ayah. Satu-satunya orang yang paling aware ketika anak-anaknya bertingkah tak biasa. "Mas bingung, Pah ...," lanjutnya mulai resah. "Tiba-tiba aja ada perasaan yang bikin Mas kepingin berhenti buat jalanin hubungan sama Grace. Dari awal Mas nggak ada niatan buat nyakitin dia, tapi ... Mas rasanya salah kalau tetep lanjut. Kalau Papah tanya alasannya, Mas nggak--"
"Apa karena Webhi?"
Detik itu juga Ardaf kembali menatap iris gelap yang diwarisi sang ayah kepadanya. Merasakan debaran gila di balik dada saat ucapan itu bak anak panah yang jatuh tepat sasaran. Namun, jangankan menjawab bahkan untuk menarik napas pun Ardaf merasa ragu dan sesak.
"Bilang sama Papah, bukan itu kan, alasannya?" Yazir embuskan napas gelisah ketika melihat respons putranya. "Ardaf ...?"
Namun, jangankan menjawab tanya yang menuntut dari mulut sang ayah. Bahkan Ardaf tak mampu membalas sorot yang dilayangkan pria di depannya. Karena ia tahu, lelaki yang dengan bangga menyematkan nama Andreas di belakang namanya, tak akan bisa dibohongi meski ia serukan dusta termanis dari bibirnya.
***
"Grace, besok pagi kamu ada jadwal kerja jadi bintang tamu acara talkshow," kata Ness sambil mendesah pasrah. Ia sambar kotak tisu yang ada di atas tempat tidur Grace, lalu merapikannya. Sementara sang pemilik sibuk melamun di dekat jendela.
"Batalin."Grace menjawab dengan suara serak. "Batalin, Ness!" sambungnya tegas.
"Jangan bercanda--"
"Aku bilang batalin!" Suara itu menggama keras di dalam apartemen. Grace menatap marah pada wanita yang satu jam lalu sampai ke tempatnya.
"Grace, kita bisa kena penalti. Kamu--"
"Aku nggak peduli!" Bersamaan dengan itu, Grace gaungkan rasa marah dan kecewanya. Pendar ketakutan kembali datang saat tangannya terangkat menggenggam sejumput rambut. "Aku nggak peduli, Ness!" Lalu menggeleng sambil menangis. "Ardaf ninggalin aku. Dia sekarang ninggalin aku, Ness. Aku harus gimana?!"
Berjalan cepat ke arah wanita yang mulai histeris, Ness dekap tubuh yang berbalut gaun tidur kusut itu. Kemudian, mengusap punggung wanita yang bagi sebagian orang, mungkin terlihat berlebihan menghadapi masalah putus cinta.
Namun, bagi Ness yang tahu bagaimana pahitnya kehidupan yang dijalani Grace, ia tak bisa memberi komentar ejekan atau lelucon. Ia tahu betul betapa Grace memuja Ardaf, pria yang benar-benar menjadi tujuan baru Grace untuk tetap bertahan sampai saat ini.
Hari di mana Ardaf meminta break dalam hubungan mereka memang bukan pertemuan terakhir. Dua hari setelah itu, Ardaf kembali ingin bertemu dan memilih salah satu restoran favorit Grace untuk berbicara hal penting. Hal penting yang membuat Grace merasa depresi karena Ardaf lebih parah dari sebelumnya. Bukan hanya meminta rehat sejenak dari hubungan yang baru enam bulan mereka arungi. Namun, pria itu benar-benar meminta berakhir meski keputusan itu ditolak mentah-mentah oleh Grace.
Kendati demikian, mau bagaimana lagi? Ness tak bisa memohon pada Ardaf agar tetap berhubungan dengan wanita ini. Menceritakan bagaimana menyedihkannya keadaan Grace setelah diputuskan secara sepihak. Meskipun pernah terlintas dalam otaknya untuk melakukan itu.
"Dia ninggalin aku karena Webhi, Ness! Aku yakin itu!" jerit Grace dengan tangis yang makin histeris. "Dia rebut Ardaf, Ness! Semua yang aku punya direbut! Aku benci, Ness! Aku benci dia!"
Perlahan Ness mendongak menatap langit-langit sambil terus memeluk Grace. Menghalau air mata yang hadir saat hatinya mulai tercubit mendengar rintih dari bibir wanita yang sosoknya selalu dipuja di luar sana.
"Grace ...," panggil Ness lembut. Ia tangkup wajah yang sudah sangat berantakkan. "Kita temui dr. Els lagi, ya?"
Grace tentu saja menggeleng mendengar permintaan itu. "Aku nggak gila, Ness!"
"Nggak ada yang anggap kamu gila, Grace. Dokter psikolog bukan nanganin orang gila."
"Aku nggak mau, Ness. Aku cuma perlu Ardaf."
***
Sedang melamun sambil menatap langit malam di balik jendela besar, Webhi memberi atensi pada benda pipih yang berbunyi di atas nakas. Namun, bukannya segera mencari tahu siapa orang yang sudah dua kali menghubunginya, ia justru kembali pada pemikiran yang mulai tumpang tindih di dalam kepalanya.
Sebenarnya skenario apa yang sedang Tuhan rangkai untuk kisah cintanya? Karena setelah berhasil membawa pergi rasa yang berdarah-darah, semesta malah menunjukkan kabar yang dulu pernah ia nanti-nanti. Memberi tahu bahwa sosok yang selama ini ia puja telah membuka kesempatan lagi.
"Bhi, aku putus dari Grace karena kamu."
Lantas bagai ujung sembilu yang menggores keras tembok besi, perkataan Ardaf sore ini begitu nyaring di telinga Webhi. Hingga tak hanya hati yang merespons tak biasa, tubuhnya pun terkejut tak menyangka. Merasa ketakutan untuk bersuara menanyakan maksud sang kakak, Webhi memilih bangun dari kursi taman. Saat itu tanpa mengatakan apa-apa, ia berjalan meninggalkan Ardaf yang terdiam menatapnya lekat.
Masih dengan perasaan gusarnya, suara dering ponsel kembali menggema. Kali ini Webhi beranjak dari depan jendela sebelum meraih benda canggih di sana. Kemudian, duduk bersandar pada headboard setelah menekan tombol hijau di layar telepon.
"Astaga! Lama banget sih, angkat teleponnya!" sembur Chivar tak santai saat panggilan ketiganya baru mendapat jawaban.
Tanpa sadar, dengkusan kesal bercampur geli menciptakan senyum kecil di sudut bibir Webhi. Harusnya pria ini yang menjadi perhatian, bukan sosok yang begitu lancang mempermainkan perasaan. Namun, mau bagaimana lagi karena hatinya terus saja berkhianat dengan masuk ke dalam ruang yang baru saja tertutup rapat.
"Bhi?"
"Iya, Chi."
"Kenapa lama banget angkat teleponnya?"
Webhi baringkan tubuhnya perlahan. Menarik selimut sampai ke pinggang dengan alat komunikasi yang menempel asal di telinga. "Maaf."
"Ck, lagi ngapain, sih?" Chivar bukan orang yang pandai menyimpan emosi, jika ia merasa kesal pada suatu hal maka akan ia suarakan tanpa beban.
"Nggak lagi ngapai-ngapain. Baru mau tidur," jawab Webhi sambil mengulurkan tangan pada sisi kosong di sampingnya. Kemudian, tersenyum kecil merasa ada yang aneh karena tidur sendirian.
Chivar makin berdecak saja mendengarnya. Ia tahu istrinya tak pandai merangkai alasan demi menetralkan kekesalan, tetapi jika terlalu jujur seperti ini pun rasanya makin menjengkelkan. "Nggak ngapa-ngapain tapi lama banget angkat teleponnya. Males ya, angkat telepon aku?"
"Astaga ... aku minta maaf, Chi." Webhi hela napas lebih dalam sebelum menghadapi kekesalan suaminya. "Maaf. Masalah kamu di sana gimana?"
"Udah beres, sih. Besok rencananya mau ketemu ahli waris sama yang urus TPU itu," balas Chivar mulai santai.
Memilih duduk di sofa dalam kamar hotelnya, Chivar tengadahkan kepala pada langit-langit kamar. Kembali berdecak lirih saat dorongan ingin pulang kembali datang. Padahal sebelumnya, ia selalu antusias jika mengurus masalah di luar kota. Selain bisa sekalian jalan-jalan, ia juga bisa mencicipi tempat hiburan di sana. Sayangnya kali ini ada yang berbeda.
Bukan tak tertarik dengan ajakkan pengecara kakeknya yang tadi menawarkan datang ke bar, melainkan ada sebuah perinsip yang harus ia pegang.
Sial! Godaan jadi suami setia sulit juga, ya!
"Jadi cuma dua hari aja, kan, di sana?"
"Bhi?" Chivar abaikan tanya sang istri. "Webhi ...," ulangnya ragu.
"Iya ...," sahut Webhi mulai mengantuk setelah mendengar suara Chivar. "Kenapa, Chi?"
"Kamu ngerasa kangen nggak sih, kalau aku jauh gini?"
Tak lekas menjawab pertanyaan itu, Webhi yang merasa kantuknya tiba-tiba hilang malah mengernyit. Lalu bertanya pada diri sendiri, sebenarnya Chivar berada di posisi mana dalam hatinya? "Chi ... aku ...," tuturnya ragu.
"Aku kangen kamu, Bhi."
Remasan pada benda yang masih menempel di telinga, makin mengerat. Gemuruh yang mulai terasa di dada membuat Webhi memejamkan mata, lalu menikmati perasaan gusar yang datang saat suara Chivar mengusik pendengaran.
"Bhi ...?"
"Aku nggak tahu, Chi." Webhi embuskan napas pasrahnya. "Yang aku tahu, aku kepingin kamu cepet pulang. Aku mau kamu ada di sini."
Plis, cepet pulang, Chi. Bantu aku hilangin perasaan gila ini, rintihnya dalam hati.
Pulang, Chi. Rencana move on istrimu mulai gagal.
Ibarat luka, Webhi baru dapat perbannya. Eh, udah jatuh lagi di tempat yang sama.😥
Mong-omong hatiku sedikit nyeri nulis bab ini😥
Webhi, Deserve better!
Chivar, Deserve better!
Grace, Deserve better!
Ardaf, Deserve better!
Om Yazir, ayo bantu sadarin Ardaf. Dia bukan lelaki jahat. Tapi kalau salah langkah ~~~🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top