47• Sorot Yang Berbeda.
Vote dulu, ya. Baru baca.
______________
***
"Berapa hari Chivar di sana, Bhi?"
"Tadi sebelum berangkat, Chivar bilang paling cuma dua hari, Mah."
"Yaa ... Mamah pikir kamu dateng sama Chivar, Bhi." Lulu suarakan sedikit rasa kecewanya saat sang menantu kesayangan tak ikut serta dalam acara lunch hari ini.
Sejam yang lalu Webhi sampai di rumah orang tuanya. Melaksanakan rencana makan siang bersama sambil melihat kondisi sang ayah. Dari rumah, wanita berperawakan mungil itu tak langsung menuju ke kediaman Andreas. Ia dan Sabil sempat membuka toko bunga untuk melayani para mahasiswa yang mengambil pesanan buket. Kemudian, saat semua sudah selesai, mereka berdua sepakat menutup toko karena urusan masing-masing.
Jika Sabil memiliki janji menemui para sahabatnya, maka Webhi memilih berkunjung ke rumah keluarganya yang memang sudah ia rencanakan di hari sebelumnya. Membuka apron setelah selesai dengan urusan memasak, Webhi berjalan menuju lemari es. Lantas menyambar sebotol air putih dingin untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
"Masalahnya serius nggak sih, Bhi?" Lulu kembali bertanya. Mereka berdua sengaja menyertakan diri untuk membantu para ART menyiapkan makan siang hari ini. Setelah selesai, dua wanita beda usia itu beranjak menuju meja makan sementara para pekerja sibuk menyiapkan hidangan.
"Kata Chivar nggak terlalu gawat, Mah." Duduk bersama sang ibu, Webhi menoleh saat Devan yang hari ini tak sekolah karena demam, menuruni anak tangga dengan gerak lesu. "Keadaan kamu gimana, Dev?" Kembali bangun untuk menyambut pemuda itu, Webhi mendengkus saja saat Devan tiba-tiba memeluk sembari menunduk menyembunyikan wajah di bahunya.
"Mamah bilang juga apa? Ke dokter, Dek. Kemarin waktu kamu bersin-bersin aja Mamah udah bisa tebak kalau kamu pasti bakal demam. Nah, benerkan?" Meski berujar dengan nada mengomel, suara itu sarat akan kekhwatiran karena melihat si bungsu sakit.
Melepas pelukannya sebelum memegang kening Devan, Webhi membawa sang adik duduk di kursi makan. "Kenapa nggak ke dokter, Dek?"
"Takut disuntik sama males minum obat." Lulu yang menjawab. Ia bangun dari kursinya, lalu memeriksa keadaan pemuda yang saat ini memakai hoodie putih bertulis LA. "Mamah panggil Papah dulu, ya." Kemudian mengusap kasar rambut yang menutupi kening Devan. "Jangan minum air es dulu, ya, Dek! Kamu lagi bapil."
"Nanti sore ke dokter, ya." Webhi yang mengambil posisi di samping Devan, kembali bicara setelah sang ibu benar-benar pergi.
"Aku lagi kepingin makan nasi kari sama sop tahu buatan Mbak, deh." Devan membuka tudung hoodie-nya, memperlihatkan sklera yang memerah, bibir pucat, dan tampak pecah-pecah. Kemudian, menerima segelas air putih yang disodorkan Webhi.
"Nanti sore Mbak buatin," tutur Webhi kembali duduk.
"Wah, kayakanya Mas datengnya pas banget, ya?" Ardaf muncul dari arah pintu utama, tersenyum lebar setelah berhasil mengambil atensi dua orang di ruang makan. "Kamu udah lama sampai, Bhi?" tanyanya sambil memberi pelukan sekilas pada wanita yang hari ini memakai celana jin hitam, dipadukan kemeja lengan pendek dengan motif kerut di bagian pinggang.
"Tadi jam sepuluh. Aku ke toko dulu soalnya, Mas"
Ardaf mengangguk tipis. Seraya mengantongi ponsel, ia menepuk kepala si bungsu yang menjadi orang pendiam nomor dua di rumah setelah Webhi. "Kamu sakit, Dek?" Matanya menajam dengan kening mengernyit saat melihat wajah pucat Devan. "Pasti nge-game terus."
"Mamah sama Mas Ardaf bisa kembaran gitu ya, pertanyaannya kalau aku lagi sakit?" dengkus Devan setengah kesal.
Ardaf yang melihat hal itu makin mengernyit sebelum terkekeh kecil. Ia sentuh pipi sang adik yang terasa hangat, lalu menempatkan diri di antara mereka berdua. Tak lama Ardaf menoleh pada dua orang dewasa yang berjalan bersamaan menuju meja makan.
"Udah sampai, Mas?" Lulu berujar setelah berhasil mencapai meja makan bersama sang suami.
"Iya, baru aja." Menghampiri ayah dan ibunya, Ardaf berikan pelukan singkat pada mereka. "Papah gimana keadaannya?"
"Baik. Perusahaan gimana, Daf?" Yazir mulai duduk di kursi yang ada di ujung meja. Sementara anggota lain mengisi sisi benda berbentuk persegi panjang itu.
"Lancar. Papah nggak usah pikirin perusahaan."
Selama dua pria dewasa itu berbincang hangat, para pekerja sudah selesai menata piring berisi lauk pauk dan sayur di atas meja makan. Salah satu dari mereka bertugas meletakkan piring kosong di hadapan kursi yang akan diisi. Setelah tugas itu selesai, para pelayan tersebut berbondong pergi menuju dapur kotor untuk membereskan pantri setelah dipakai memasak.
"Serius, deh. Mamah tuh, seneng banget kalau makan bareng-bareng gini." Lulu berseru antusias sambil menatap anak-anaknya yang mulai menikmati makanan di piring masing-masing. "Kapan-kapan kalian sempetin lagi, ya. Bhi, kamu ajak Chivar, nanti Mas Ardaf ajak Grace. Pasti makin seru. Terserah kalian mau pilih waktu makan siang atau makan malam."
Jika Webhi hanya mengangguk singkat menanggapi ucapan sang ibu, lain halnya dengan Ardaf yang berdeham setelah menelan makanannya.
"Mah, aku udah putus sama Grace." Setelah melempar kalimat dengan nada santai itu, Ardaf refleks menyambar gelas berisi air putih. Memberikannya pada Webhi yang terbatuk-batuk setelah mendengar ucapannya. "Kamu nggak apa-apa, kan, Bhi? Hati-hati," katanya khawatir.
Masih mengontrol batuk yang tiba-tiba saja datang, Webhi hanya menggeleng saja menjawab pertanyaan Ardaf. Ia tenggak lagi air putih itu hingga tandas, tetapi rasa pedas di tenggorokan karena tersedak kuah sop malah makin terasa mengganggu.
Tepukan lembut terus Ardaf berikan pada punggung Webhi, lalu menghela napas pelan saat wanita itu mulai bisa mengontrol diri meski dengan wajah yang memerah karena tersedak makanan. "Kaget banget ya, Bhi, denger aku putus dari Grace?"
"Kenapa, Mas?"
Pertanyaan itu juga yang berputar di kepala Webhi saat pria di sampingnya mengabarkan berita tersebut. Namun, sang ibu yang tak kalah terkejut dengan kabar barusan lebih dulu bersuara.
"Nanti aja bahasnya. Sekarang kita nikmati makan siangnya dulu, ya." Yazir yang menatap penuh pertanyaan pada sang putra, memilih menyudahi obrolan mengejutkan itu. Saat ini ia kembali mengingat kecurigaanya beberapa bulan lalu dan berharap apa yang ia pikirkan tak benar-benar terjadi.
***
"Mas kenapa putus dari Grace?"
Baru setengah jam lalu acara makan siang bersama itu berakhir, kini Webhi dan Ardaf--yang memutuskan untuk tak kembali ke kantor--sedang duduk bersisian di kursi panjang. Menatap susunan pot dan vas bunga yang tertata rapi pada papan kayu di taman belakang.
"Kamu percaya nggak Bhi, kalau aku bilang alasannya nggak tahu?"
Webhi menoleh, mendapati tatapan sendu dari sepasang manik gelap yang menatapnya lekat. "Pasti ada masalah," ujarnya ragu. Ia tersenyum, meraih tangan Ardaf dan menyandarkan kepalanya di bahu sang kakak.
Rasanya masih sama. Terasa nyaman saat biseps kokoh itu menjadi alas untuk sandaran. Namun, ada yang sedikit berbeda. Tak ada lagi debar menggila di balik dada saat Webhi melakukan hal itu. Atau hanya perasaannya saja? "Aku nggak pernah ngalamin pacaran sebelum nikah, Mas. Jadi nggak bisa kasih masukkan. Tapi, aku yakin Mas Ardaf pasti ketemu jalan keluarnya."
Ardaf hanya diam. Entah apa jalan keluar yang dimaksud wanita itu karena kemauannya sekarang adalah terus berada di momen seperti ini. Duduk berdua bersama Webhi dan membicarakan hal remeh temeh setelah lelah seharian bekerja. Benar, jalan keluar seperti ini yang Ardaf inginkan.
Kemudian, saat status yang sekarang disandang Webhi berbisik mengejeknya, tanpa sadar kepalan tangan pada lengan kursi makin mengerat. Seraya memejamkan mata saat gigi gerahamnya bergemeletuk menahan kekesalan yang tiba-tiba datang, Ardaf hela napasnya lebih dalam.
"Kamu sama Chivar gimana, Bhi?" Lalu Ardaf desahkan rasa gusar yang makin memenjara hati setelah bersuara kembali. "Kamu baik-baik aja, kan?" lanjutnya menuntut.
Menegakkan tubuh, Webhi kembali menoleh. Menatap pria yang baru saja bertanya tentang hubungannya dengan sang suami. Tak ada kalimat apa pun yang ada dalam otak Webhi saat ini. Bahkan, ia bingung harus menggambarkan seperti apa rumah tangganya yang sudah memiliki banyak warna saat mulai menempati rumah baru. Namun, senyum tulus yang tak pernah muncul saat ia membicarakan orang lain, tanpa sadar menghiasi sudut bibirnya.
Hal itu membuat otot wajah Ardaf mengencang bersamaan dengan hati yang merasa kecewa. Selama ini, Webhi tak pernah tersenyum atau berbinar saat membicarakan orang lain padanya. Siapa pun itu. Apalagi dengan sorot mata yang tampak berbeda dibandingkan terakhir kali mereka membicarakan pria pilihan ibunya itu.
"Aku sama Chivar baik-baik aja, Mas."
Setelah ucapan itu terdengar, Ardaf merasa ada api yang menyulut hatinya. Hingga rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat ia sadar kalau dirinya sedang cemburu.
Ya ... aku harap, aku tetep baik-baik aja setelah denger kabar Mas putus, batin Webhi lirih.
_________________
Aku pernah jatuh dalam cinta yang mengerikan
Menghancurkanku menjadi sebuah kepingan
Lalu memaksaku masuk ke dalam gerbang pernikahan.
Awalnya kupikir hanya dusta
Namun saat hati berbisik nyata
Itu memang cinta yang melukis banyak luka
Aku masih ingat, pada hati yang merintih pilu
Pada rindu yang hanya bertuan semu
Dan pada kamu yang tak pernah tahu
Jika cintaku perlahan luruh
Sekarang, rasa itu seperti angan
Layaknya gumpalan para awan
Yang kuharap akan hilang saat kau genggam
Jadi kumohon, tetaplah diam?
_Azalea Webhi Andreas_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top