43• Lelucon Semesta.
Vote dulu sebelum baca, ya.
_________________
Ardaf tahu, saat memutuskan menjalin sebuah hubungan ada risiko yang akan mengintai. Entah patah hati atau sesuatu yang mengganggu hal privasi. Terlebih saat hubungan kasih yang pertama ia coba, ternyata melibatkan model ternama. Meski awalnya ragu menerima tawaran kencan Grace, akhirnya dengan beberapa alasan Ardaf mulai mempertimbangkan.
Sampai pada rasa yang ia takutkan akhirnya datang. Bukan perihal patah hati melainkan sesuatu yang terdengar berisik mengganggu sanubari. Sekarang, Ardaf ingin menemukan jawabannya, kenapa resah kian menjadi teman tiap kali ia mempertanyakan keputusan.
"Pak, ada Mbak Webhi." Setelah dua kali mengetuk tanpa mendapat jawaban, Olin memilih mendorong pintu ruangan itu. Benar saja, sang pemilik sedang melamun sambil menatap keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan gedung pencakar langit. "Pak Ardaf ...," katanya lagi sambil melangkah masuk.
Ardaf menoleh, sedikit terkejut meski tak sampai membuat raut wajahnya berubah. "Kenapa, Lin?"
"Ada Mbak Webhi di lobi, Pak. Katanya--"
"Sejak kapan?" Beranjak dari tempatnya, Ardaf raih ponsel di atas meja. Takut kalau sang adik menghubunginya, tetapi tak sengaja ia abaikan. "Suruh naik, Lin."
"Eh, udah, Pak. Tapi kata Mbak Webhi Pak Ardaf yang suruh turun." Lalu Olin berdeham saat perkataannya tak diindahkan oleh pria yang malah sibuk memeriksa ponsel. "Kata Mbak Webhi, Pak Ardaf yang disuruh turun. Katanya mau diajak makan siang bareng."
Tanpa menjawab, Ardaf lirik jam tangannya yang sudah memasuki waktu makan siang. Kemudian, menyambar jas pada stand hanger dengan gerakan cepat seolah yang sedang menunggunya adalah orang paling penting di dunia.
Ya ... itu memang benar, bukan?
"Lin, habis makan siang saya nggak balik ke kantor lagi." Sambil diekori Olin keluar ruangan, Ardaf lantas menoleh pada sekretarisnya yang hanya mengangguk patuh. "Besok baru kita lembur."
"Baik, Pak." Menyahut sopan, Olin yang menatap kepergian Ardaf kembali ke meja kerjanya. Kemudian mendengkus lirih, merasa benar-benar mulai tak nyaman menggantikan posisi Dissa yang saat ini sibuk bulan madu.
"Gue kangen banget sama anak marketing." Olin duduk di kursinya dengan gerakan malas setelah mendesah pasrah. "Kangen gibah sih, sebenernya." Lalu menengok ke kiri dan kanan yang hanya terdapat lorong sepi. Sekarang ia sendirian lagi di depan ruangan yang sedang tak berpenghuni.
***
Sementara itu, Webhi yang menunggu di lobby perusahaan sedang asyik menatap gambar bunga lily of the valley dalam ponselnya. Ia tersenyum menikmati seberkas kenangan yang hadir saat matanya menatap lebih lama gambar tersebut.
Hari ini, Webhi ingin lepas semua rasanya. Bukan ingin mengakui, hanya ingin membuat hari ini menjadi momen berharga dengan Ardaf. Momen yang akan memenuhi ruang kecil di hatinya. Ruang yang sebentar lagi akan terkunci rapat, lalu membuka ruangan lain agar dirinya tak terlalu pedih tiap kali menoleh pada tempat yang tak sempat terisi sempurna.
Webhi tahu, ia masih menjadi karakter egois yang bersikap seolah korban pemeran antagonis. Namun, saat ini ia benar-benar ingin menghabiskan waktu bersama Ardaf sebelum berlari ke arah Chivar untuk mengalihkan perasaan.
"Bhi ...."
Mengalihkan perasaan dari pria yang telah menjadi pusat dunianya. Webhi tak tahu, apa yang sedang direncanakan semesta untuk kehidupannya kelak. Kendati demikian, untuk hari ini saja ia ingin menghabiskan tiap detik dan menit bersama pria yang menunjukkan cinta sekaligus luka.
"Mas ...." Menatap Ardaf yang berjalan mendekat, Webhi tersenyum saat pria itu melempar senyum serupa sebelum berakhir memberi pelukan hangat. Namun, kali ini ada yang berbeda. Bukan pelukan hangat yang singkat melainkan dekapan resah saat ia rasakan embusan napas pasrah.
"Kenapa, Mas?"
"Nggak apa-apa, kok."
Sambil mengusap lembut punggung tegap itu, Webhi tak bisa menyembunyikan kernyitan samar di keningnya. Lalu menarik pelan dirinya sebelum menilik wajah yang tersenyum menyimpan gundah.
"Kenapa? Oh, ya. Mas udah makan siang?"
"Belum."
"Makan siang bareng aku, ya."
"Habis makan kita jalan-jalan, ya. Hm ... mungkin nonton?"
Berjalan dengan tangan yang digenggam, Webhi menoleh kebingungan. "Nonton?"
"Iya, udah lama banget kan, nggak nonton bareng?" Ardaf tersenyum tipis. Ia terus berjalan santai menuju parkiran mobil. "Mau pakai mobil siapa? Mas atau kamu?"
"Aku aja."
Kadang semesta memang gemar sekali melucu, meski tak jarang yang ia tumpahkan ternyata sebongkah pilu. Seperti sekarang ini, saat sang pembuat takdir sedang bersekongkol bersama dewa asmara. Merangkai dengan apik kisah yang mempermainkan dua anak manusia. Lantas mengolah romansa yang ujungnya masih menjadi rahasia. Namun, belum dimulai saja ternyata sudah banyak yang terluka.
Lalu bagaimana akhir kisah itu jika awalnya saja sudah disambut nestapa?Karena pada dasarnya, mereka hanya dua insan yang sedang jatuh cinta.
***
Setelah menemui kakeknya, Chivar dibuat malas mengurus pekerjaan. Meski akhirnya ia datang ke proyek karena harus berdiskusi dengan Naren perihal perubahan konstruksi. Namun, Chivar benar-benar tak bisa memberikan fokus pada bisnisnya. Bukan karena bayangan malam panas yang menjadi awal mula terbukanya pintu pahala, melainkan titah Paduka Raja yang memerintahnya mengurus masalah tanah.
"Mentang-mentang gue nggak mau ngurus perusahaan, setiap ada masalah di luar perusahaan dilimpahinnya ke gue!" Sambil bersungut tak terima, Chivar dorong pintu mobil yang baru terparkir rapi di dalam garasi. Lalu, matanya dibuat menyipit kala kendaraan roda empat yang sudah ia kenali, juga mulai memasuki area garasi.
Jika ada pepatah yang mengatakan pucuk dicinta ulam pun tiba. Maka Chivar akan mengganti pepatah itu agar terdengar lebih indah di telinganya.
Jika tubuh lelah, masuk pintu pahala obatnya.
Sambil terkikik geli mendengar kata hatinya membuat pepatah indah, Chivar yang masih berdiri di sisi kereta besinya, tersenyum menyambut wanita yang turun dari mobil berwarna putih.
"Halo, Istri ...," sambutnya antusias.
Webhi tak heran mendapati wajah konyol pria itu. Ia hanya mendengkus lirih sambil membenarkan tali tas di bahunya, lalu berjalan ke arah pria yang merentangkan tangan entah untuk apa. Saat sampai, Chivar dengan santai memeluknya singkat sebelum membawanya berjalan menuju tangga ke pintu utama.
Meski terkejut, Webhi tetap mempertahankan raut andalannya. "Kamu baru pulang?" tanyanya.
"Iya. Eh, tapi kok, kita bisa kebetulan bareng gini sampe rumahnya? Wah, jangan-jangan jodoh!" Chivar pura-pura berdecak kagum sebelum terkekeh geli. "Eh, tapi kita kan, udah nikah, ya. Berarti udah jodoh dong!"
Webhi tak tahan untuk tak memutar bola matanya. "Omongan kamu selalu aneh, Chi."
"Nggak apa-apa. Yang penting aku nggak aneh kalau lagi assalamualaikum sama pintu pahala." Chivar tertawa jemawa setelahnya. "Omong-omong kamu nggak lupa kan, kalau udah punya suami?"
Webhi makin mendengkus saja mendengar sindiran itu. "Ini apa-apaan, sih?!" ketusnya sambil menyingkirkan tangan yang merangkul bahunya.
Namun, saat berhasil menepis tangan Chivar, pria itu justru berpindah merangkul pinggul. Lantas saat Webhi melakukan hal yang sama, Chivar kembali merangkul bahunya. Seperti itu terus sampai Webhi menyerah dan membiarkan Chivar merengkuh pinggangnya posesif.
"Ya ... siapa tahu aja kamu lupa." Chivar terkekeh melihat raut istrinya, lalu masuk ke dalam rumah dengan posisi tak berubah. "Oh, iya. Ada masalah sama tanah Kakek di Bintaro?"
Webhi menoleh menanggapi ucapan suaminya. "Masalah besar?"
"Nggak juga, sih." Sambil mengedikkan bahu, Chivar yang sudah melihat pintu kamar tinggal beberapa langkah lagi, menyeringai tipis. "Tapi ada masalah besar sekarang."
Dengan santainya Webhi menjawab, "Apa?"
"Aku nggak tahan buat bawa kamu ke kamar mandi!" Bersamaan dengan itu, Chivar angkat tubuh Webhi. Menggendongnya ala bridal style. Tak peduli dengan protes dan pekikan terkejut dari bibir wanita itu, ia tetap berjalan membawa Webhi menuju kamar.
"Chi! Turunin!"
"Iya, nanti kalau sampai kamar mandi."
"Aku mau mandi di kamar aku!"
"No! Mulai sekarang tidurnya harus di kamar aku." Terus memasuki kamar, Chivar sedikit kesusahan membawa Webhi yang meronta. Ujung-ujungnya tak sengaja membenturkan bahu pada pintu kamar mandi. "Aduh!"
"Tuh, kan!" omel Webhi spontan. Setelah itu, ia tak menyangka mendapati dirinya tertawa melihat pria yang baru saja menurunkan tubuhnya meringis sakit memegangi bahu. "Makanya nggak usah aneh-aneh!" sambungnya masih dengan tawa kecil sambil ikut mengusap bahu Chivar.
Hal itu membuat Chivar mengalihkan atensi dari rasa sakit yang tak seberapa. Ia kembali terpana saat wajah itu mengumbar tawa. Setelah dua bulan pernikahan baru kali ini melihat Webhi tertawa di depannya.
"Bhi ... kamu ketawa?"
Belum sempat menjawab, Webhi sudah dikejutkan dengan ciuman yang kembali datang tiba-tiba. Lantas, naluri alami yang sepertinya mulai mengajari, membuat Webhi mengangkat tangan. Membenamkan jemari pada rambut hitam Chivar dengan tubuh yang ia condongkan ke depan. Setelahnya membiarkan Chivar menguasai dirinya dengan dekapan posesif dan ciuman menuntut.
Webhi tak pernah menduga bahwa dirinya benar-benar terlena dengan sentuhan halus penuh gairah. Hingga beberapa detik dan menit berlalu, yang Webhi tahu tubuhnya sudah tak lagi mengenakan apa pun dan kembali menyatu dengan pria itu.
***
"Mas. Aku mau tanya sesuatu. Mas Ardaf pernah nggak anggap aku bukan sebagai adik?"
"Maksud kamu apa, Bhi?"
"Maksud aku, Mas Ardaf pernah nggak lihat aku sebagai orang lain. Sebagai wanita yang bukan berstatus seorang adik. Sebagai wanita dewasa biasa?"
"Bhi ... Mas nggak ngerti kamu ngomong apa?"
"Nggak apa-apa. Aku cuma mau tanya, biar hal yang selama ini ngebebani pikiran aku perlahan hilang. Mas nggak perlu jawab karena aku rasa udah nggak penting buat tahu jawabannya."
"Bhi ...."
"Nggak apa-apa, Mas. Aku baik-baik aja."
Obrolan sore yang terjadi setelah acara jalan-jalan, bagai tali kawat yang ditarik paksa hingga menimbulkan bunyi denging menyakitkan telinga. Di selimuti hening dan suasana temaram, Ardaf duduk di sofa apartemennya. Menunduk lelah menatap sepasang sandal rumah yang ia kenakan.
Kemudian, helaan napas panjang yang menyembunyikan resahnya kembali datang. Ia tutup wajahnya dengan kedua tangan saat pertanyaan yang mengusik hati terus menekan. Sebenarnya, apa yang ia inginkan?
Ah, lebih tepatnya apa yang hatinya inginkan?
Karena jika dihadapkan dua jalan yang mengarah pada Webhi atau Grace, maka Ardaf tak akan ragu mengambil jalan menuju wanita yang sejak kecil sudah mewarnai hidupnya.
"Bhi ...." Kemudian, panggilan itu bergumam lirih dari bibirnya yang terasa kelu.
Baiklah, ini hanya tentang semesta yang sedang melucu.
Duuh, Mas Ardaf. Adikmu baru mulai move on loh. Jan diganggulah ...😌
Aku tahu, tim Chivar bakalan siap hujat kalau Ardaf ngadi-ngadi. 😂
Jadi, selama Ardaf nyiapin mental aku mau jalan-jalan dulu sama Adam. Wkwkw
See you~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top