40• Rasa Yang Asing.

Vote dulu, ya. Baru baca.

____________________

Entah sudah berapa ratus kali umpatan kasar keluar dari mulut Wira. Setelah mencoba mengikhlaskan uang 700 ribu, kini ia kembali dibuat naik pitam karena harus membawa Chivar yang setengah sadar menuju apartemen. Sebenarnya, bukan sedang menuruti Chivar yang bersikeras tak mau pulang, melainkan berusaha tak mau membuang banyak waktu. Sebab sialnya, semesta memang begitu lucu, menempatkan bar yang didatangi Chivar berdekatan dengan tempatnya tinggal.

Melempar tubuh Chivar pada sofa panjang, Wira yang memiliki tubuh lebih kecil dari sahabatnya itu sedang sibuk memompa oksigen ke paru-paru. Berjongkok lelah sambil menetralkan napas dan serbuan emosi yang mulai berencana ingin melakukan mutilasi. Korbannya tentu saja Chivar.

"Dasar nggak ada otak, lo! Mabok malam kamis. Gue besok masih harus kerja, Njing!" Sembari memaki kasar, Wira membawa tungkainya menuju lemari es. Menyambar minuman di dalam sana untuk menenangkan diri yang sedang gerah hati dan body.

"Lihat, Wir! Gue bahkan nggak ditelepon sama sekali! Sialan banget, kan, jadi istri!"

Meracau dengan posisi terbaring di sofa yang tak bisa menampung seluruh tubuh, Chivar yang membiarkan kaki panjangnya menjuntai ke lantai, mengangkat tinggi ponsel yang dalam keadaan mati total. Bagaimana bisa tahu Webhi menghubungi atau tidak, sedangkan benda canggih itu sudah kehabisan baterai sejak ia masih ada di dalam bar.

Melirik jam digital yang menempel di tembok, Wira kembali berdecak kesal. Sudah jam satu malam dan bukannya berada dalam selimut tebal, ia malah mendengarkan racauan. "Kemarin lo girang banget, udah kayak bocah akil balig dapet gebetan!" Meski merasa bodoh mengajak Chivar bicara, Wira tetap menghampiri sahabatnya yang mulai menutup kening dengan sebelah tangan.

"Gara-gara si Webhi, Wir! Pinter banget bikin gue kesel." Mengusap-usap dadanya pelan, Chivar kembali merutuk, "Paginya bikin gue seneng, malemnya bikin darah tinggi. Sialan banget, kan?!"

"Ck, kenapa lo?" Sambil membuka jaket jin yang digunakan, Wira yang sebenarnya ingin segera istirahat malah menanggapi ocehan Chivar. "Diselingkuhin si Webhi?" sambungnya sambil menoleh pada pria di atas sofa.

Chivar mendengkus kasar mendengar itu. Meski dalam keadaan mabuk berat, ia bisa mencerna ucapan sang sahabat. Ya ... walaupun dengan jawaban asal-asalan. Namun, yang sedang diucapkan itulah yang ia rasakan."Gue lempar ke tembok beneran kalau dia selingkuh." Lalu mendesis samar sebelum memiringkan tubuh. "Nggak ada yang boleh nyentuh punya gue, Wir!"

"Dih, udah kecintaan banget lo ya, sama si Webhi!" Setelah melempar sindiran itu, Wira memilih masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Chivar yang malah terkekeh pelan dalam keadaan setengah sadar.

"Ck, sialan! Webhi lo apain gue sampe kayak gini!" gumam Chivar sambil memejamkan mata, lalu terlelap saat alam bawah sadarnya mulai menyergap.

***

Jika diibaratkan, Ardaf adalah pusat dunia bagi Webhi. Sejak dulu, tak ada satu pun pria yang berani mendekatinya karena Ardaf selalu melempar tatapan sengit pada mereka yang ingin mengenalkan diri. Lambat laun, hubungan yang mungkin terbilang toxic itu membuat Webhi nyaman. Bahkan tak merasa keberatan setiap kali Ardaf menjatuhkan larangan jika ada pria yang mulai datang.

Webhi tak tahu sejak kapan rasa nyaman berada di bawah tatapan lembut Ardaf, beralih menjadi cinta yang berbuah harap. Namun, saat mulai sadar Webhi tak mau mempermasalahkan. Melihat Ardaf yang membatasi diri dengan wanita mana pun dan ia yang tak pernah tertarik dengan siapa pun, Webhi pikir itu sudah lebih dari cukup.

Sampai di titik Ardaf meratukannya, saat itulah Webhi mematri hati dan mengatakan bahwa pria itu adalah tempatnya berbagi. Tak ada yang lain, seolah hal itu menjadi sumpah yang didoktrin jelas dalam sanubari. Hingga saat rasa yang tumbuh kian menggebu, fakta yang berbisik pilu datang mengejek kalbu. Mengatakan ia dan Ardaf sudah diikat takdir sebagai saudara.

Hal itu mulai membuat Webhi terkurung dalam ruang sempit penuh debu yang ia beri nama belenggu. Lantas saat ada pria lain yang harusnya ia beri perhatian, Webhi tak tahu bagaimana cara menghadapinya. Hingga tanpa sadar, yang telah ia lakukan ternyata menoreh kekecewaan.

Sekarang, entah sudah berapa kali Webhi bolak-balik membuka ruang chat suaminya, mengetik pesan singkat dan panjang yang selalu berakhir ia hapus habis. Makan malam yang tak dihadiri Chivar sudah menegaskan kalau pria itu benar-benar kecewa dan murka. Lalu, kenapa Webhi tak mencoba menghubunginya? Mungkin saja Chivar mau mengangkat teleponnya, mungkin saja Chivar ingin ia yang lebih dulu memulainya, atau mungkin saja pria itu sudah benar-benar tak mau mendengarnya bicara.

Kebingungan menghadapi situasi tabu seperti itu, membuat Webhi melewatkan malamnya dengan perasaan resah karena menunggu.

Menunggu mobil Chivar yang masuk ke dalam garasi, menunggu derap kaki yang berisik, bahkan menunggu Chivar yang mungkin saja akan berteriak dari balik pintu kamar sambil melempar kalimat konyol yang tak patut didengar. Webhi benar-benar tak pernah ada dalam situasi membingungkan seperti ini. Merasa bersalah pada orang yang masih asing dalam hidupnya.

"Mbok, Chivar udah sarapan belum?" Hanya mendapat lelap beberapa jam saja, Webhi yang saat ini mengenakan jin panjang dengan paduan kemeja motif bunga, duduk di ruang makan.

"Eh, Non ... hmm, Aden kayaknya nggak pulang dari semalam." Mbok Jum menyahut pelan, ia belum memasak apa pun. Tepatnya bingung dengan menu sarapan untuk wanita muda itu. "Non, mau dibuatin sarapan apa?"

Webhi yang kembali fokus menatap layar ponsel setelah tahu Chivar benar-benar tak pulang, mengabaikan pertanyaan ART itu. Ia justru membuka ruang chat yang dari semalam menjadi pusat perhatian.

"Non?"

Webhi mendongak dan memberi atensi penuh pada wanita baya di depannya. Belum berniat menyahut sampai ia melihat ringisan kecil di wajah wanita itu.

"Kenapa, Mbok?"

"Itu ... Non, mau dibuatin sarapan apa?"

"Oh, roti bakar aja sama teh herbal yang pernah saya resepin, ya."

Mbok Jum mengangguk patuh sebelum beranjak menuju pantri yang tak diberi sekat dengan meja makan. "Papah Non gimana keadaaanya?" Sambil mengambil dua lembar roti dan bubuk teh dalam kabinet, Mbok Jum kembali bersuara.

"Udah mulai membaik. Kata dokter, kemungkinan besok udah bisa pulang."

Webhi menghela napas pelan setelah menjawab. Ia baru sadar, di rumah ini yang berani mengajaknya bicara selain Chivar hanya wanita baya itu saja. Padahal ada dua pelayan yang dikhususkan bersih-bersih, tiga satpam, satu sopir, dan dua tukang kebun. Entah kenapa, mereka selalu menunduk gugup jika berpapasan dengannya.

Webhi mulai berpikir, seburuk itukah dirinya dalam bersosialisasi? Padahal ia merasa bukan wanita sombong atau orang yang tak peduli, hanya saja tak tahu bagaimana caranya berbasa-basi. Tak seperti Chivar yang mudah sekali membuka mulut untuk membuat suasana menjadi hangat dan ceria.

Ah, pria itu. Di mana dia?

Webhi mulai khawatir meski masih tak yakin dengan perasaan asing itu. Baru saja tekad untuk menghubungi Chivar sudah mencapai angka 95%, pria yang menjadi tujuannya membuka kontak dalam ponsel, muncul dari pintu yang terhubung dengan garasi.

"Chi, kamu baru pulang?" Refleks berdiri, Webhi yang melihat Chivar berjalan dengan tampilan slebor, hanya bisa menatap setelah bertanya.

"Mbok Jum, nanti anterin teh ke kamar saya, ya." Berujar setengah hati, Chivar abaikan tanya sang istri dan memilih pergi menuju kamarnya sendiri.

Namun, rasanya baru dua menit Chivar memasuki kamar. Kemeja yang berbau alkohol pun baru ia empaskan ke lantai, tetapi ketukan di pintu kamar--yang ia pikir pembantu rumah tanggannya, sudah terdengar. Belum sempat ia sahuti, sang pelaku sudah muncul dengan cangkir teh di tangan.

Webhi memilih menyerahkan teh yang harusnya jadi teman sarapan, pada Chivar. Mendorong lebih jauh pintu kamar itu sebelum berjalan masuk. "Kamu mau teh, kan, tadi?" Lalu berdeham saat aura tak bersahabat masih terasa jelas.

Masih malas menyahut, Chivar abaikan saja keberadaan wanita yang baru meletakkan teh di atas nakas. Ia memilih sibuk membuka kaus dan mengambil T-shirt dalam walk in closet. Bangun seorang diri dengan pening hebat di kepala, Chivar makin jengkel saat memeriksa ponsel--yang untungnya sudah terhubung dengan charger--tak menampilkan notifikasi pesan apa pun dari wanita itu.

"Kamu mabuk?"

Chivar berdecih sinis. Ia bawa langkahnya menuju kasur setelah memakai kaus, melewati Webhi yang berdiri sambil menelisik lantai kamarnya. Sepatu, kaus, kemeja yang mungkin menyebarkan bau alkohol, berantakkan di sana.

"Kamu keluar sana, aku mau istirahat!"

"Kamu masih marah?" Sambil bertanya, Webhi ambil kaus dan kemeja yang dibuang-buang Chivar. "Atau masih kesel? Kita kapan bicaranya kalau kamu kayak gini terus?"

"Aku lagi pusing! Nggak akan berujung baik kalau kita ngobrol sekarang!" Chivar lempar punggungnya ke atas kasur. Menutupi kening dengan lengannya sambil menggerutu kesal dalam hati. Bisa-bisanya wanita itu bertanya santai tanpa raut khawatir dengan keberadaannya semalam.

"Chi--"

"Keluar, Bhi! Aku bener-bener lagi nggak mau denger kamu ngomong!" Peringatan itu disertai tatapan tajam Chivar yang terarah pada wanita yang berdiri tak jauh darinya.

Mengembuskan napas pelan, Webhi yang memegang kemeja serta kaus kotor Chivar, membalas tatapan itu tanpa ragu. "Jadi kapan udahan keselnya? Kapan kamu mau denger aku ngomong? Aku nggak pinter bicarain hal penting lewat pesan WA."

Lihatlah!

Dalam keadaan yang seharusnya membuat emosi meledak, Chivar justru dibuat merasa geli dalam hati. Bisa-bisanya wanita yang ia anggap defenisi nyata antara Maleficent, Medusa, dan Nenek Tapasya, berbicara dengan kalimat yang terdengar lugu seperti itu. Webhi memang hebat sekali mengubah moodnya.

"Nggak tahu!" Dan Chivar bersyukur suaranya masih terdengar ketus di telinga. Ia kembali menutup kening dengan lengan sambil berujar, "Aku bener-bener mau istirahat. Sekarang kamu keluar aja!"

Tak ingin membalas ucapan pria itu lagi, Webhi memilih menuruti dan mulai melenggang pergi tanpa ucapan basa-basi. Ia tak tahu saja, sang pemilik ruangan yang sudah benar-benar sendirian kembali menggerutu kesal.

Ck, beneran keluar dong! Nggak nanya dulu gue semalam tidur di mana. Istri siapa coba yang kayak begitu?

Kok nanya reader sih, Var. Itu kan istri kamu!😂 oh, iya masih tipsy.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top