37• Tak Ada Kabar.
Senyum di wajah Chivar menjadi pemandangan indah bagi para kaum hawa yang kebetulan berpapasan dengannya. Selama perjalanan keluar dari ruangan dokter Amira, ia benar-benar tak bisa memyembunyikan rasa senang yang menggelikan, ketika dokter wanita itu menjelaskan secara rinci tentang kondisinya dan Webhi.
Seperti dugaan. Tak ada masalah dalam dirinya, begitu pun dengan sang istri yang saat menjalani pemeriksaan mengeluh tentang datang bulan. Saat ini, Chivar merasa seperti bocah culun yang sedang mendapat mainan baru dari mesin penjapit di pusat perbelanjaan. Kemudian, dengan bangga memamerkan keberuntungan itu pada orang-orang sekitar.
"Jadi masjid sama gereja posisinya saling berhadapan, ya, Bang?"
Chivar mengangguk sembari menilik denah lokasi proyek yang sedang digelar di atas meja kerjanya. Setelah dari rumah sakit dan mengantar Webhi pulang, ia gegas menuju ke tempat kerja. Meskipun sebenarnya, ingin langsung mengetuk pintu pahala ala dr. Amira. Namun, Chivar tak mau terlihat seperti pria yang begitu mendamba. Oleh sebab itu, ia beri sedikit jeda agar terlihat seperti pria bermartabat.
Halah!
Sekarang, Chivar sedang berhadapan dengan pria yang bekerja sebagai kontraktor sekaligus berstatus sepupunya. Mendengarkan sebagian konstruksi tentang pembangunan dua rumah ibadah yang memang sudah dibicarakan sebelum insiden kejatuhan balok sebulan yang lalu.
Narendha Adhitama, pria yang usianya empat tahun lebih muda dari Chivar, kembali menunjukkan pola yang diberi blok berwarna kuning. "Abang nggak ada niat ubah lokasi? Kalau gereja di sini ...," katanya sambil membuat garis dengan jari. "Otomatis masjid nggak akan punya halaman luas. Kita nggak tahu sih, nanti yang bakal nempatin perumahan ini mayoritas kristen atau islam. Tapi yang jelas, orang islam bakal adain salat ied dua kali dalam setahun. Kalau dalam masjid penuh, kita nggak punya pelatarannya."
"Hmmm, gini aja." Chivar memberi respons. "Abang emang sengaja jadiin halaman masjid sama gereja deketan. Tapi tetep ada batasan biar nggak salah paham. Lahan yang ini ...," lanjutnya sambil menunjuk gambar yang tadi diberi pola oleh sepupunya. "Kita jadiin halaman masjid."
"Loh, katanya mau dibuat lapangan olahraga?"
Naren sama seperti Chivar. Sejak lulus kuliah tak tertarik sedikit pun mengabdikan diri di perusahaan keluarga. Padahal ayah dan kakak laki-lakinya begitu berdedikasi di sana. Setelah lulus kuliah, pria dengan poster tubuh serupa dengan Chivar itu, memilih meneruskan pendidikan di luar negeri sambil bekerja sebagai asisten developer. Kini setelah kembali dengan gelar S2, Naren mulai bekerja dengan Chivar sebagai kepala kontraktor.
Chivar menipiskan bibir sambil mengamati gambaran konstruksi di depannya. "Skip aja, Ren. Abang mau lihat dulu jadinya gimana."
Naren mengangguk paham. Tangannya kembali menggulung kertas denah pembangunan saat Chivar mulai duduk sambil memeriksa ponsel.
"Makan siang di mana, Ren?"
"Belum tahu, sih." Naren melirik jam tangannya sebelum bergabung bersama Chivar. "Baru jam sepuluh juga. Emangnya Abang udah laper?" lanjutnya dengan nada sedikit heran.
Chivar menggeleng. "Lama ya, Abang kira udah lewat Asar."
"Kenapa? Abang ada janji?" Tiba-tiba saja Naren mengingat sesuatu hingga kembali bangun dari posisi duduknya. "Duh! Aku lupa sesuatu." Lalu pergi buru-buru setelah menyambar denah lokasi dan helm proyek di atas meja kerja Chivar.
Sementara itu, Chivar kembali sibuk dengan ponselnya. Sambil mendengkus geli, ia menggeleng pelan karena terpikir untuk menghubungi Webhi dan bertanya sedang apa dirinya saat ini? Sedang bobo cantik untuk mempersiapkan tenaga buat nanti malam, kah? Luluran sambil berendam air susu hingga aromanya menyerap ke seluruh tubuh, atau sedang melakukan bikini waxing treatment.
Memikirkan itu membuat Chivar tersenyum geli. Kini tangannya kembali refleks mengusap dada saat ada sesuatu yang menggelitik di sana. Plis deh, ya! Nggak usah norak kayak anak bujang baru ketemu lubang. Keep calm down, Var! Jangan mikirin permulaan buat nanti malem. Pasarahin aja, buat senatural mungkin.
Namun, kadang respons tubuh sendiri memang kerap kali menghianati kata hati. Buktinya, sekarang Chivar kembali melirik jam di pergelangan tangan yang baru menunjukkan pukul 10:35 WIB. Lalu decak lirih keluar dari mulutnya sebelum ponsel yang baru saja ia kantongi, bergetar menandakan panggilan.
Meski merasa hal mustahil, Chivar sedikit berharap itu Webhi yang memintanya pulang untuk makan siang bersama. Kemudian setelah itu melanjutkan dengan mengetuk pintu pahala. Ah, sudahlah. Kasihan otak Chivar yang terlalu banyak menyusun harapan karena ia harus menelan kekecewaan, melihat username di layar ponselnya adalah nama seorang pria yang ia panggil Om Attar.
"Iya, Om?"
"Var, kamu di mana?"
Pria yang menggantikan posisi ayahnya di perusahaan, mulai berujar. Attar Adhitama, lelaki yang usianya dua tahun lebih muda dari sang ibu itu, menjadi penolong Chivar saat masa-masa sulit. Selain tak mengekang dirinya harus masuk ke dalam perusahaan yang pernah di ambang titik terendah akibat keteledoran sang ayah, pria itu juga mendukungnya dalam urusan bisnis. Malah mengikutsertakan Naren untuk membantu usahanya yang benar-benar dimulai dari nol.
"Di proyek. Kenapa, Om?"
"Bisa dateng ke perusahaan, nggak?"
Pasti ada hal penting. Pamannya itu tak pernah memerintahkannya datang kecuali ada hal mendesak. "Bisa. Sekarang aku ke sana," seru Chivar lantas memutus sambungan saat orang di seberang sana menanggapinya dengan ucapan singkat.
***
Chivar pikir, mungkin ada meeting penting tentang pembagian saham. Karena meskipun tak peduli dengan perusahaan ia tetap tak menolak jika diberi bagian. Ck! Memang cerdik sekali otaknya. Namun, saat sampai dan langsung menuju ke kantor utama tempat pamannya bekerja, ia justru dikejutkan dengan kehadiran pria tinggi yang duduk dengan aura pongah di dalam sana.
"Aufan!"
"Hai, Var."
Kemudian, dua pria itu bak saudara kandung yang terpisah bertahun-tahun lamanya dan bertemu di sebuah acara tanpa diduga-duga, saling memeluk. Menepuk punggung masing-masing sebelum melempar beberapa umpatan akrab.
"Kapan sampai sini?" ujar Chivar sambil duduk di sofa dalam ruangan itu. Lalu menoleh pada pamannya yang duduk anteng di kursi kerja sambil mengamati mereka berdua. "Dia udah sampai lama, Om?"
"Belum. Om tadinya mau kabari kamu kemarin sore. Cuma om pikir Aufan nggak jadi dateng karena denger-denger mau berangkat ke Singapura."
Chivar mengangguk paham sebelum kembali memberi atensi pada pria di sampingnya.
"Sialan! Lo nikah nggak undang gue?" Pria yang menjadi tamu itu berujar kasar.
Terkekeh pelan, Chivar memulai perbincangannya dengan pria yang pernah menjadi sahabatnya saat kuliah di Australia. Aufan Zaccth, mereka hampir mirip. Tak mau pusing dengan urusan perusahaan dan memilih membuka bisnis sendiri di bidang properti.
"Nikah dadakkan gue. Kata kakek bakal adain resepsi di Bali. Kalau nggak bentrok sama jadwal lo, dateng ya!" sahut Chivar santai.
"Oke-oke. Omong-omong, hamilin anak orang lo, ya." Menyambar wine yang sudah disediakan sebelum sahabatnya datang, Aufan menyesap minuman itu sebelum kembali pada obrolan dengan sahabat sebangsatnya saat kuliah.
"Nggaklah!" dengkus Chivar lalu melirik Attar yang hanya terkekeh pelan. "Tumben dateng ke sini. Ngapain? Mau nanem saham?" lanjutnya kembali menatap Aufan.
Pria dengan kemeja abu gelap tanpa setelan jas itu, menggeleng pendek. "Gue denger lo lagi bangun perumahan. Butuh inves gue nggak?"
Chivar berdecak pelan. "Belum. Nanti gue kabari kalau perlu, gue lagi mikirin buka pusat perbelanjaan, sih. Cuma nanti kalau residence gue udah 80% jadi."
"Oke, kabarin aja kalau butuh bantuan."
Obrolan mereka tak sampai di sana saja. Terus berlanjut membicarakan bisnis, hal-hal berbau nostalgia, dan sedikit bercerita tentang keadaan yang tak terlalu intim. Hingga saat Aufan beranjak pergi dari perusahaan, Chivar memilih pulang karena waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam.
Dengan hati yang seolah dilingkupi kebahagiaan tak terkira, Chivar melenggang riang menuju pintu utama rumahnya. Karena pintu itu langsung terhubung dengan lantai dua, tungkainya dengan santai terayun menuju kamar sang istri. Sebenarnya ia berniat mandi dulu, tetapi membuat Webhi marah sebentar sepertinya akan seru.
"Eh, Den Cipar udah pulang?"
Menoleh ke asal suara, Chivar mengangguk saja melihat Mbok Jum yang sedang membawa selimut dan seprai ganti berdiri di dekat pintu kamarnya.
"Iya, Mbok. Webhi ada di kamarnya, kan?" Sebenarnya Chivar sedang tak ingin membangun obrolan panjang, hanya saja sudah terlanjur bertemu dengan Mbok Jum jadi sekalian saja bertanya.
"Loh, Aden nggak tahu. Mbok kira Aden pulang duluan dari Non Webhi."
Lantas kernyitan samar dalam ruang kosong di antara alis Chivar, muncul mendengar pernyataan itu. "Maksud Mbok Jum?"
"Non kan, di rumah sakit. Kata Non Webhi, Papahnya masuk rumah sakit. Mbok pikir Aden dari sana--"
"Rumah sakit? Kapan?" Chivar mulai tak santai menanggapinya. Antara terkejut dan marah karena merasa tak tahu apa-apa.
"Tadi pagi, Den. Kayaknya 15 menit setelah Non pulang sama Aden. Terus dapat kabar kalau mertua Den Cipar masuk rumah sakit."
Refleks merogoh ponsel di dalam saku celana, Chivar megumpat kasar saat tak menemukan satu pun pemberitahuan tentang kabar darurat itu. Berengsek! batinnya sewot. Kemudian berlari keluar rumah setelah mendapati alamat rumah sakit dari wanita baya yang terlihat kebingungan.
Bukan hanya Mbok Jum, tetapi Chivar lebih bingung. Bahkan bukan hanya itu, perasaan senang yang sejak tadi ia timang-timang menguap entah ke mana. Berganti dengan rasa marah dan kecewa saat dirinya seolah dianggap tak ada. Sudah berjam-jam lamanya, Webhi bahkan tak menghubunginya. Apa sulit meluangkan waktu beberapa menit untuk mengirim pesan singkat?
Memikirkan itu membuat otot wajah Chivar mengeras menahan amarah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top