34• Persidangan Pagi Hari.
Dugaan Chivar tak salah saat merasa ada pendar waspada dan ketakutan, setiap kali ia bahas tentang persyaratan. Awalnya Chivar pikir itu hanya tebakan saja. Namun, melihat Webhi memilih mundur ragu tepat saat ia memutuskan pilihan, semua kecemasan wanita itu jelas tak bisa disembunyikan.
Sayangnya, saat Chivar sudah memutuskan suatu hal maka tak ada hal lain yang bisa menghalangi. Meskipun sejujurnya, itu pilihan spontan yang terlontar dari mulutnya setelah ciuman pertama mereka terlepas. Namun, sungguh! Chivar tak menyesali atau berniat menimang pilihannya lagi.
Bahkan saat pagi tiba dan mereka berdua duduk berhadapan di meja makan yang tak tersedia makanan sedikit pun, Chivar tak berniat mengubah pilihan. Dan sepertinya hal itu berefek pada Webhi yang mulai malas memasak untuknya.
Ck, mulai laper pula perut gue!
Berdecak kasar, Chivar melipat tangan ke bawah dada. Menatap malas wanita yang belum berucap apa pun setelah setengah jam lalu meminta waktu untuk mengobrol secara serius.
Se.ri.us!
Chivar masih ingat saat Webhi mengatakannya dengan raut wajah datar. Menekan tiap suku kata dengan tatapan tak main-main. Melihat hal itu, Chivar jadi mengingat kenangan masa SMA saat ia dipanggil guru BK karena ketahuan menggoda anaknya di belakang sekolah.
"Aku nggak setuju sama keputusan kamu."
Luar biasa!
Jelmaan Maleficent memang luar biasa sekali, bukan? Sulit jinak dan ditebak. Chivar tentu tak bisa menahan decak kasarnya mendengar hal itu. Untuk apa persyaratan pranikah diadakan jika saat disetujui malah ditolak. Bersandar santai pada punggung kursi, sudut bibir Chivar terangkat skeptis kala menangkap ibu jari Webhi menekan-nekan ponsel dalam genggaman. Meski raut wajah itu masih defensif, ia tahu kalau Webhi mulai ragu atau mungkin ... merasa takut.
"Alasannya?"
"Bukannya kamu bilang nggak bisa tidur sama perempuan yang sama?"
Mendengkus lirih, Chivar kembali menumpu tangan di atas meja. Bahkan belum bicara saja ia sudah membersit geli menyadari posisinya. Jika saat makan ia dan Webhi biasa memakai posisi saling berdampingan, maka kali ini keadaan mereka saling berhadapan. Sialnya, meja makan itu memiliki panjang sekitar tiga meter dan Chivar merasa seolah tersangka kasus pemerkosaan yang sebentar lagi dijatuhi hukuman oleh hakim harus menikah maksimal empat kali.
Ck, kira-kira ada nggak ya, hukuman begitu? Kalau ada nggak apa-apa langsung divonis. Eh, tapi kayaknya gue nggak tertarik, deh. Istri satu aja pusing jinakinnya. Chivar terkekeh dengan pemikirannya sendiri. "Setelah aku pikir-pikir, kayaknya nggak masalah sama wanita yang sama, yang penting gayanya beda-beda setiap--"
"Chivar!" sela Webhi mulai merasa jengkel karena pria itu tampak terhibur dengan obrolan pagi mereka.
Tertawa kecil, Chivar suka saat manik karamel Webhi melebar sempurna. "Lagian kamu aneh. Dulu buat apa kasih syarat itu kalau nggak bisa aku pilih. Harusnya kamu kasih syarat, open relationship atau nikah lagi."
"Terserah kamu kalau mau nikah lagi."
"Nggak bisa! Digantung Kakek kalau aku nikah lagi." Chivar merespons dengan gelengan spontan. Mungkin bisa lebih mengerikan daripada digantung, misal namanya dicoret dari ahli waris keluarga. Chivar mana mau jadi lelaki tampan, tetapi miskin. "Lagian alasan kamu nggak setuju apa, sih? Takut aku nikung? Kamu tenang aja, Bhi. Meskipun di mata kamu aku keliatan orang yang nggak serius, tapi aku bukan lelaki yang bisa mainin perinsip."
Webhi terdiam. Detak jantungnya kian bertalu cepat saat sorot serius terpancar dari iris segelap obsidian itu. Di bawah meja kakinya terus bergerak tak nyaman. Padahal biasanya, ia selalu bisa menguasai diri agar tetap tenang dalam kondisi apa pun.
"Kamu semalam nyentuh aku? Padahal udah janji--"
"Aku semalem khilaf lihat bibir kamu," sahut Chivar santai sambil menjatuhkan tatapan pada bibir yang semalam membuatnya tak bisa tidur. Ck, sial! Padahal bibirnya nggak seseksi Kylie Jenner apalagi Angelina Jolie.
Sekarang Ia mulai bosan ditambah perutnya sudah lapar. Sementara itu, Webhi sepertinya malah berputar-putar dalam obrolan. Melirik sekilas jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Chivar mendesah pelan.
"Udah kan, ngobrolnya? Suami kamu ini mau berangkat kerja, cari nafkah."
"Chi?" Setelah berhasil menormalkan detak jantung, Webhi kembali menatap ke dalam iris gelap itu. "Kamu serius nggak mau ubah pilihan?" katanya dengan pendar sedikit memohon agar Chivar mau mempertimbangkan lagi putusannya.
Sama seperti Webhi yang menyorotnya serius, Chivar pun mengangguk tanpa ragu.
"Alasannya kamu apa, Chi?"
Karena dari sebelum menikah, Webhi tahu seperti apa pria itu. Mungkin hal itu yang membuatnya berani mengajukan syarat pranikah, ia pikir Chivar akan mengambil syarat open relationship tanpa pikir panjang.
Menarik napas dalam, Chivar berdeham sebelum bicara. "Anggap aja aku udah puas sama masa-masa nakal dulu. Sekarang aku mau fokus sama yang ada," tuturnya sambil memoles senyum tipis. Gila! Bijak banget omongan gue. Adam kalau denger bisa istigfar pasti, lanjutnya bangga dalam hati.
"Lagian, Bhi. Kamu itu aneh, suaminya mau berusaha setia malah disuruh open relationship." Kemudian Chivar berdecak sambil memicingkan mata. "Atau sebenarnya kamu lagi suka--"
"Nggak ada!" potong Webhi spontan. Syukurlah, sepertinya pria dengan kemeja biru di depannya ini langsung percaya.
"Nggak heran, sih. Hati kamu kan, agak beku. Jadi sulit meleleh meskipun dikasih lihat lelaki ganteng kayak aku."
Webhi benar-benar tak tahan untuk tak memutar bola matanya. "Jadi kamu tetap mau pilih nomor satu."
"Iya, Nona Webhi." Chivar bicara dengan nada dibuat seolah ia adalah sopir yang sedang ditanyai majikan.
Menarik napas gusar, gemetar di tangan yang sejak tadi ada makin terasa. Webhi pernah memikirkan bagaimana jika Chivar memilih syarat setia meski saat itu ia sangat yakin kalau laki-laki seperti Chivar tipe pria yang tak bisa di kekang. Namun, setiap pemikiran itu datang ia selalu menepis tanpa menyelami lebih dalam apa saja yang harus ia antisipasi.
Sekarang, pikiran yang selalu ia tepis benar-benar jadi nyata. Dan Webhi tak bisa menyeret satu pun alasan untuk menolak keputusan Chivar.
"Oke." Akhirnya dengan hati yang gelisah, Webhi menyetujuinya. "Aku harap kamu bisa menjalani peran suami setia dengan baik."
Padahal, sejak awal bukan Chivar yang berkhianat melainkan dirinya. Webhi tak tahu sampai kapan ruang sempit yang memenjara hatinya menemukan pintu keluar, memberinya celah cahaya agar bisa melihat ke arah yang lain, lalu membawanya pergi dari semua beban hati yang ia tanggung sendiri.
Memikirkannya saja membuat denyut nyeri di hati kembali terjadi. Lantas satu nama dijeritkan sanubari seolah cinta yang ia jaga bukan sekedar ilusi.
Mas Ardaf.
Dengan jelas, Webhi dengar bisik pilu itu mengganggu tanpa ragu.
"Hei ... are you okay?"
Tidak. Webhi tak baik-baik saja saat pria yang ada di depan bertanya demikian. Ia merasa seperti melompat ke dalam jurang tak berdasar hingga mulai merasa lelah dikejar rasa yang membuat hatinya merana.
"Bhi?" Chivar mengernyit saat wanita itu tertunduk. Webhi yang ia tahu selalu menyorot sinis. "Oke, aku minta maaf kalau kamu masih marah karena tindakan aku semalam."
Webhi menggeleng lemah. Ia angkat wajahnya setelah menormalkan kembali raut andalannya. "Oke. Ayo jalanin rumah tangga secara normal dan semoga aku nggak pernah kecewa."
Mendengar nada serius itu, Chivar hanya berdecak pelan. Meski merasa senang, ia tak bisa mengatakan itu hal yang mengejutkan hingga membuatnya harus memekik girang. Merasa perut yang makin lapar mulai sangat mengganggu, Chivar bangun dari duduknya.
"Oke. Udah selesai, kan?"
"Chi?"
Sudah berdiri sempurna, Chivar kembali menatap wanita yang masih duduk di seberangnya. "Apa lagi? Mau bahas gaya malam pertama kita? Nanti aja, deh."
"Masih ada hal yang perlu kita bicarain." Webhi ikut bangun, menatap pria yang tampak memutar bola matanya malas. Padahal harusnya ia yang seperti itu karena ucapan yang baru saja ia dengar.
"Aku nggak fokus ngobrol kalau laper." Tangan Chivar menyambar ponsel di atas meja. "Mau bicarain apalagi, sih? Bulan madu? Jumlah anak? Atau ...." Chivar menyeringai tipis. "Foreplay?"
Memang pada dasarnya sebagian besar otak Chivar terdiri dari 20% bisnis, 35% absurd, dan 45% hal mesum. Jadi dalam kondisi serius sekali pun, ia tak bisa melewatkan bisikkan laknat itu. "Aku jago kok, Bhi." Ia menambahi dengan kekehan geli saat Webhi mendengkus kasar.
"Bukan itu!" Webhi benar-benar mulai kehilangan kendali sabarnya.
"Lalu?"
"Kita lakukan premarital chek-up. Aku nggak tahu, apa kamu bersih atau nggak. Selama kita belum tahu hasilnya, keputusan itu masih belum sah disetujui."
Setelah itu, Webhi tak lagi mengeluarkan kalimat apa pun karena ia memilih pergi meninggalkan Chivar yang terdiam menatap punggungnya menjauh.
Namun, Chivar memang tak ada seriusnya. Jadi ia menanggapi hal itu biasa saja sambil menyahut, "Oke, Bhi! Kamu nggak usah khawatir, selama ini aku selalu main aman, kok!" Lalu tertawa kecil melihat Webhi menoleh dengan sorot mematikan.
Merasa sidang sudah selesai, akhirnya Chivar yang menjadi tersangka kasus pencurian ciuman tadi malam memilih pergi dari sana. Lalu memikirkan kembali putusannya yang akan menjadi sosok suami setia pada satu wanita. Anehnya, ia tak merasa terbebani sama sekali. Justru mengingat ciumannya semalam membuatnya mulai merasa girang.
Ck, sial! Baru bibir doang padahal.
Gimana gimana, Par?
Baru bibir aja udah nggak bisa tidur lo.😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top