33• Sebuah Keputusan.

Mbok Jum memang berada di kampung halamannya selama tiga hari. Menyaksikan keponakan yang sudah ia anggap anak sendiri, mengenakan baju toga dengan bangga. Kemudian, melepas rindu dengan sanak saudara yang terkadang ia temui hanya di hari raya saja.

Namun, terhitung sudah satu minggu wanita itu tak kembali ke kediaman mewah Chivar. Alasannya adalah sang nyonya besar yang menahannya di rumah kakek Sigit saat ingin kembali ke sana.

Sekarang, masih dengan mixer di tangan dan beberapa alat pembuat kue yang berserakan di atas meja. Mbok Jum sedang membawakan 'dongeng' pengantin baru itu pada majikan wanitanya yang memang menyuruh menjadi mata-mata.

"Den Cipar tuh, emang suka banget becanda, Nya. Padahal udah tahu Non Webhi emosian."

Mia mengangguk mengerti. "Terus mereka suka bertengkar serius nggak, Mbok?" tanyanya sambil duduk di stool bar yang ada di hadapan meja pantri.

"Seinget saya, nggak pernah. Kalau ribut-ribut saling sindir sering." Mbok Jum terkekeh mengingat pasangan baru itu jika sedang adu mulut. "Tapi sebenernya Non Webhi orangnya perhatian, Nya. Cuma emang nggak bisa lemah lembut sama terang-terangan."

Mia tersenyum membayangkannya. Merasa sudah tahu pasti akan seperti itu.

"Tapi, Nya ...," sambung Mbok Jum. Berlagak seolah mata-mata profesional yang sedang mengirim informasi penting pada atasannya. "Mereka masih tidur di kamar berbeda. Cuma waktu Den Cipar baru pulang dari rumah sakit aja mereka sekamar. Setahu saya cuma seminggu doang kalau nggak salah," bisiknya pelan. Takut ada pelayan lain yang mendengar.

"Nggak apa-apa, Mbok. Mereka masih proses pengenalan. Mudah-mudahan sih, Chivar duluan yang kepincut. Soalnya kalau Webhi duluan bakalan pasif kayaknya, tapi kalau Chivar mana mau buang-buang waktu," jelas Mia sambil tertawa geli bersama wanita baya yang ia ajak bicara.

***

Terkadang awal kisah cinta terjadi dengan cara yang tak disangka-sangka. Contohnya Cinderella yang dapat menikahi anak raja hanya karena meninggalkan sepatu kaca, lalu ada Aladin yang bertemu Putri Jasmine karena bantuan Om Jin, tak lupa dengan kisah Putri Salju yang menikah dengan pangeran asing setelah diberi penawar racun dalam bentuk sebuah ciuman.

Jujur saja, dari kisah mereka Chivar paling suka kisah Putri Salju dan 7 Kurcaci. Lebih tepatnya dengan adegan ciuman sejati karena jika ia ada di posisi sang pangeran, tentu saja tak hanya ciuman yang akan ia berikan. Mungkin sedikit sentuhan primitif yang lembut dan menggairahkan pasti akan membuat kisahnya tak terlupakan.

Tak apa jika judulnya diganti dengan Putri Salju dan Pangeran Cabul. Toh, tetap dia yang jadi pemeran utamanya. Wah ... luar biasa sekali bukan?

Lantas sekarang, pemikiran absurd Chivar mulai gentayangan. Membayangkan bagaimana jika istrinya kena sihir dan hanya bisa sembuh oleh ciumannya saja. Wah, Chivar rasa itu hal mustahil. Racun yang keluar dari mulut Webhi sepertinya lebih mematikan dari sihir apa pun.

Seperti saat ini.

"Makanya! Bisa duduk diem aja nggak, sih?! Kamu tuh, selain ngeselin, bawel, penakut, ternyata juga bodoh, ya!" Sambil membawa tangan Chivar ke bawah kucuran air keran di wastafel, Webhi tak henti mengomeli Chivar.

Saat itu Webhi sedang memasak dengan keadaan khidmat. Kemudian Chivar datang, mulanya hanya duduk anteng menonton ia menyelesaikan menu terakhir untuk makan malam mereka. Namun, sepertinya pria itu memang terlahir tak enak diam karena memilih berjalan menghampiri dengan bertanya ini dan itu.

"Merah, kan? Besok pasti bengkak!" Masih menggerutu khawatir tanpa sadar, Webhi bawa pria itu kembali duduk di kursi makan. "Aku ambil salep dulu."

Chivar yang sejak tadi mendengar omelan itu, hanya meringis saja. Tak mengangguk apalagi menyahut sampai Webhi berjalan cepat mengambil kotak P3K yang ada di dekat kabinet.

Kecelakaan terkena tumpahan kuah soto panas, tentu saja bukan kemauan Chivar. Awalnya ia hanya ingin membantu Webhi dengan sedikit ide jail untuk mengganggu. Namun, jika dari awal saja niatnya sudah menyeleweng maka hasilnya pun tak boleh disesali. Baru saja ingin membuka tutup panci berbahan granit, Chivar yang ceroboh  malah memegang bagian besi yang panas. Dan saat tangannya refleks bergerak menjauh, ia malah terkena sedikit tumpahan kuah soto yang sedang mendidih.

"Kamu udah laper banget, ya? Perut kamu nggak bisa diajak sabar sedikit apa?!"

Meski yang meluncur dari bibir semerah ceri itu hanya omelan, anehnya Chivar tak merasa keberatan. Ia justru tersenyum melihat raut khawatir Webhi. Wanita itu berdiri di depannya, mengoleskan salep dengan perlahan dan hati-hati sambil sesekali memberi tiupan pada kulitnya yang mulai memerah.

"Aku tadi cuma mau lihat masakan kamu doang."

"Aku kan, udah bilang tunggu aja. Sebentar lagi selesai." Setelah merapikan kotak obat itu, Webhi kembali ke pantri. Membereskan masakan yang ia tinggal karena insiden tutup panci yang jatuh ke dalam kuah soto. "Mau makan sekarang?" Lalu menoleh pada Chivar yang terlihat meniupi lengannya sendiri.

"Hm, sekarang aja. Aku udah laper," sahut Chivar sambil menyengir melihat dengkusan wanita yang memakai setelan piyama. "Kita cari tukang masak aja kali, ya?"

Meletakkan semangkuk soto daging di hadapan Chivar, Webhi hanya mengangkat bahu tak acuh. Ia memang sudah satu minggu menyempatkan diri memasak di rumah. Sarapan dan makan malam bisa ia kerjakan karena kalau makan siang mereka sama-sama tak ada di rumah.

Omong-omong, Chivar sudah mulai bekerja empat hari lalu. Tak lagi memakai elbow walker. Dokter yang selama ini menangani hanya menyarankan Chivar agar tak melakukan olahraga yang membebankan otot kaki dan berpesan tetap berhati-hati.

"Terserah kamu." Webhi selesai menata menu di atas meja makan. "Kamu nggak dapet kabar dari Ibu tentang Mbok Jum?"

Mulai menikmati makan malamnya, Chivar menggeleng samar sebelum berdecak. "Wah, ini enak, loh!" katanya kagum saat merasakan kuah soto buatan Webhi.

"Aku nggak pernah denger rasa makanan nggak enak dari mulut kamu, Chi."

Chivar mengernyit sebelum terkekeh. "Masa, sih?"

Webhi hanya mendengkus lirih saja meski kali ini tak bisa menyembunyikan senyum gelinya melihat tanggapan pria itu. Ia kembali menikmati makan malamnya, tanpa sadar kalau Chivar yang melihat ekspresinya tadi terdiam sejenak sebelum menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyum tipis.

Seperti biasa, saat sedang makan bersama tak banyak percakapan yang ada. Meski Chivar sesekali memancing obrolan, tetapi percuma saja karena lawan bicaranya hanya mengedikkan bahu dan menggelengkan kepala sebagai tanggapan.

Sampai ritual mengisi perut itu selesai, Chivar masih betah menonton Webhi yang mulai membereskan meja pantri setelah mencuci peralatan makan bekas pakai.

"Kamu kan, bisa panggil Mbok Wati buat bersihin dapur?"

"Udah malem, dia mungkin udah istirahat."

Sehari setelah Mbok Jum pulang kampung, sang ibu memang mengirin dua pelayan dari rumah kakeknya yang ditugaskan sebagai tukang bersih-bersih. Chivar awalnya memang sengaja tak menyewa jasa pembantu sementara untuk menggantikan Mbok Jum. Alasannya sederhana, hanya ingin melihat Webhi memasak saja. Namun, ia mulai merasa membebani karena wanita itu juga punya kesibukkan di luar rumah dan mungkin lelah setelah menjaga toko bunga.

"Besok aku minta Ibu buat cari tukang masak," seru Chivar sambil beranjak meninggalkan Webhi yang hanya mengangguk saja.

***

Selesai membersihkan diri, Chivar mulai mengernyit merasakan nyeri di tangannya. Lalu menilik ruam merah yang ada di sekitar ibu jari hingga jari tengah. Kemudian, senyum tipisnya terbit saat memikirkan sesuatu.

Chivar.
Aku baru selesai mandi. Kayaknya salep yang kamu olesin hilang kebawa air, deh.

Setelah mengetik pesan singkat itu, Chivar terus menatap layar ponsel. Sampai 15 menit setelah pesannya terbaca oleh si penerima, tak ada tanda-tanda balasan apa pun yang membuatnya mendengkus lirih.

Niatnya ingin turun ke lantai bawah, mengobati sendiri luka dengan salep yang tadi Webhi gunakan. Namun siapa sangka, wanita yang Chivar pikir mengabaikan pesannya membuka pintu kamar dengan raut malas.

"Bisa obati sendiri, kan?" Webhi berjalan masuk ke dalam kamar Chivar. Menghampiri pria yang duduk terdiam di tepi ranjang, lalu menyodorkan kotak P3K yang baru saja diambil dari lantai bawah.

"Nggak bisa," jawab Chivar setelah sadar dari keterkejutannya. Ia tersenyum sambil menggeser bokong agar wanita itu bergabung dengannya.

Persis seperti tadi, Webhi dengan telaten mengobati luka di tangannya. Meniup pelan sambil mengoleskan salep perlahan.

"Kayaknya setiap aku sakit pasti ada hikmahnya, ya?"

"Apa hikmahnya?" sahut Webhi masih fokus dengan kegiatannya. "Otak kamu jadi waras atau makin gila?"

Chivar berdecak lirih. "Bukan, tapi kamu keliatan peduli banget."

Webhi terdiam sesaat sebelum menyelesaikan pengobatannya cepat. "Salepnya simpen di sini aja. Nanti setiap kamu habis cuci tangan, langsung olesi lagi aja." Ia berdeham samar sambil melepas tangan besar Chivar yang sempat ia pegang.

"Aku nggak mau sendiri." Dan Chivar tahu, Webhi mulai merasa tak nyaman dengan situasi hening setelah ia bicara. "Maksud aku salepin lukanya," katanya membenarkan.

Lantas saat Webhi hanya mengangguk pendek dan mulai bangun dari duduknya, entah angin apa yang membuat Chivar tak rela membiarkan wanita itu pergi hingga meraih lengan Webhi yang sontak kembali duduk di sampingnya. Sialnya bukan hanya Webhi, ternyata Chivar pun terkejut dengan tindakannya.

"Apa lagi?"

"Sebentar aja," pinta Chivar. Sebenarnya tak mengerti dengan apa yang ia pinta.

Menaikkan sebelah alisnya, Webhi mendengkus pelan. "Kamu nggak akan demam karena luka ini. Mungkin sedikit perih, tapi--" Ucapannya sontak berhenti. Matanya terbelalak karena Chivar begitu cepat mencium bibirnya yang sedang bicara.

Tak ada pergerakkan lain setelah itu. Bahkan mereka sama-sama menahan napas. Lantas Chivar jadi orang yang pertama menarik diri sebelum menatap manik karamel Webhi yang berkedip beberapa kali.

Setelahnya, Chivar sengaja memberi jeda cukup panjang. Menunggu sebuah makian atau mungkin satu tamparan. Namun, hingga napas yang terengah mulai kembali normal, tak ada satu pun tebakan yang ia prediksi terjadi. Dan kali ini dengan kesadaran penuh, ia cium kembali bibir Webhi. Memberi lumatan lembut dan hati-hati. Menikmati bagaimana rasa manis bercampur aroma bunga begitu menggelitik hidung saat wajahnya tak lagi berjarak dengan sang istri. Kemudian, menarik tengkuk Webhi pelan untuk memperdalam ciuman sebelum dorongan kasar Chivar rasakan.

Webhi berdiri cepat dengan keadaan linglung. Lantas memutar tubuh untuk meninggalkan Chivar tanpa meminta penjelasan. Namun, ia terkejut saat lengannya dicekal kasar hingga membuatnya berhadapan kembali dengan pria yang mengambil ciumannya.

Saat ingin berteriak marah, Webhi justru dikejutkan dengan ucapan lugas yang keluar dari mulut Chivar.

"Aku pilih syarat nomor satu, Bhi."

Saya mulai lelah dengan kebaperan yang ditimbulkan tulisan sendiri. Wkwkw😭

CHIVAR UDAH KETOK PALU GUYS!

Akhirnya setelah 33 chapter, aku bisa selipin kiss di scene yang menurutku klop banget. Wkwkw~~

See you guys!
Btw makasih komen dan votenya.
Jangan silent readers ya~~
Hargai para penulis!✌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top