30• Obrolan Langka.
Malam ini, Webhi sudah mulai tidur di kamar terpisah. Meski sedikit bingung saat Chivar mengatakan tak perlu ditemani, ia hanya mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa. Toh, ia memang melihat kondisi Chivar mulai berangsur membaik.
Paginya, dengan paper bag dalam genggaman, Webhi menuruni tangga menuju lantai bawah. Kemudian, mengernyit melihat Chivar sudah ada di meja makan. Ia pikir pria itu sedang di kamar mandi karena saat memeriksa untuk menawari sarapan, keadaan kamarnya kosong.
"Kamu turun sama siapa?"
Menoleh saat mendengar pertanyaan bernada dingin itu, Chivar menjawab setengah hati. "Sendiri."
"Serius?" Sambil meletakkan paper bag di atas meja, Webhi mengernyit heran bersama tatapan tak percaya yang jatuh pada pria di sampingnya.
"Iya, Non. Den Cipar turun sendiri. Aduh ... Mbok aja sampe kaget tiba-tiba Aden udah di sini." Mbok Jum yang masih sibuk menuang nasi goreng ke atas dua piring keramik, ikut dalam obrolan suami istri itu. "Den Cipar, lain kali panggil Cecep aja kalau mau turun. Mbok takut kakinya masih luka parah di dalem."
"Nggak apa-apa, Mbok. Udah nggak terlalu sakit, kok. Lagian aku kangen liat Mbok Jum masak kayak gini," sahut Chivar santai.
Tanpa sadar Webhi mendesis. "Jangan gegabah!"
Chivar rasa, segala sifat istrinya sudah sangat ia hafal. Kemarin setelah pulang dari acara bersama ibunya, Webhi bahkan tak langsung menemuinya di kamar dan sekarang bersikap seolah-olah begitu peduli padanya. Padahal ia masih kesal setelah kejadian kemarin pagi. Ck, Chivar mulai benci saat perasaannya mudah sekali jengkel karena mengingat sifat istrinya.
Bukankah ia sudah tahu sejak awal, kenapa baru sekarang hal itu jadi perhatian?
"Aku nggak apa-apa. Buktinya kamu nggak kedatengan mobil medis atau teriakkan Mbok Jum yang lihat aku jatuh--"
"Nggak lucu, ya!" sela Webhi mulai kesal dengan celotehan suaminya. Kemudian, menghela napas sebelum memulai obrolan dengan pria yang pintar memancing emosi.
Sebenarnya bukan Chivar yang pintar, tetapi Webhi yang terlalu mudah emosi. Atau mungkin mereka memang tak cocok dalam percakapan apa pun? Entahlah!
"Aku pikir kamu masih di kamar mandi." Mengenakkan kaus hitam lengan panjang dengan paduan celana jin warna senada, Webhi duduk di samping Chivar. Menggeser paper bag berisi stoples kukis cokelat yang ia bawa. "Aku tadi letakkin kukis di atas nakas kamu," katanya lagi saat merasa diabaikan karena Chivar hanya mengangguk tak acuh tanpa menatapnya.
Setelah membereskan tempat tidur Chivar yang berantakan, Webhi memang meletakkan dua stoples kukis buatannya di atas nakas. Tanpa sadar, ia mulai hafal kalau pria itu suka dengan camilan. Sebenarnya bukan hanya makanan ringan saja, Chivar juga salah satu manusia yang suka sekali makan. Bahkan jika manusia normal hanya butuh tiga kali dalam sehari, pria itu bisa lebih dari lima kali. Itu pun belum termasuk camilan.
"Non mau berangkat, ya?"
Webhi menoleh saat Mbok Jum bertanya sambil meletakkan sepiring nasi goreng di depannya. "Iya, Mbok. Yang jagain toko ada urusan. Jadi hari ini aku yang mulai jaga." Lalu melirik Chivar yang mulai anteng makan tanpa merespons ucapannya tadi. "Kamu udah oke, kan, kalau aku tinggal?"
Terdengar decihan ringan dari mulut Chivar. "Emang selama ini aku kenapa kalau kamu tinggal? Nggak ada kamu juga oke-oke aja, kok."
Webhi yang mulai menikmati makanannya, menoleh dengan raut wajah tak percaya. "Kamu kenapa, sih, Chi?"
Sebenarnya sejak semalam Webhi sudah merasakan gelagat aneh pria itu. Dari mulai tak mau ditemani hingga menyuruhnya tidur di kamar sendiri.
Mendengar protes Webhi, kini giliran Chivar yang menampilkan mimik kebingungan meski ia sebenarnya sudah tahu kalau respons istrinya pasti akan seperti itu. Dalam hati, Chivar merasa senang karena berhasil memancing emosi Webhi
"Mbok Jum, emang aku kenapa, sih?"
Wanita dengan daster hitam polos itu hanya meringis. Lantas berinisiatif pergi ke halaman belakang untuk memeriksa tanaman. Daripada ikut campur dalam urusan rumah tangga majikannya, lebih baik ia menghindar. Meski sebenarnya paham betul watak tuannya yang sedang iseng mempermainkan emosi majikan wanitanya.
"Kenapa diam?" lanjut Chivar sambil mengunyah santai makanannya. Ia lirik sebentar wanita yang masih menatap tak ramah. "Kalau lagi makan nggak boleh ditunda! Pamali!" sindirnya jelas.
Mengernyit samar, sekarang Webhi mengerti kenapa pria itu tampak merajuk. Kemarin pagi ia memang meninggalkan Chivar yang sedang sarapan. Menurut informasi dari Mbok Jum yang sebenarnya tak ingin ia ketahui, Chivar adalah salah satu orang yang paling suka ditemani jika sedang makan.
Mendesah lirih sebelum melanjutkan sarapan, Webhi berdeham pelan. "Kemarin Mas Ardaf yang nelepon. Dia mau pesen bunga buat acara nikahan sekretarisnya yang waktu itu ke sini. Katanya sih, udah telat. Jadi minta antar bunganya langsung ke rumah Dissa."
Chivar mengangguk tak acuh sebagai respons. Sepertinya Webhi mulai peka dengan sebuah sindiran. Sejujurnya, ia memang masih sedikit kesal sejak kejadian kemarin pagi yang ditambah Webhi pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Meski ia tahu wanita itu pergi dengan ibunya.
Jika dipikir-pikir, Chivar memang serewel itu. Makan harus ditemani, tak mau diabaikan sedikit pun, bahkan terkadang tak mau ditinggal sendirian.
Manja banget sih, jadi cowok. Webhi membatin dengan kernyitan samar di kening. Bahkan semanjanya sifat Devan tak sampai seperti itu. "Elbow walker kamu mana?" tanyanya karena sejak datang, ia memang tak melihat alat bantu jalan itu.
"Nggak aku bawa."
"Kamu turun nggak pakai itu? Astaga! Kamu ngerti bahaya nggak, sih?!"
Tak disangka, suara yang keluar dari mulut Webhi malah bernada tinggi. Menu sarapan yang tersisa sedikit lagi ia abaikan karena sekarang lebih memilih menyorot tajam pria yang masih santai menghabiskan makanan.
"Ribet. Tapi aku bisa, kan? Dan sampai lantai bawah dengan selamat," kelakar Chivar yang berganti ringisan samar saat matanya bertemu sepasang manik karamel Webhi. "Nggak usah khawatir. Udah nggak terlalu sakit, kok."
"Aku nggak khawatir!"
Dan mereka berdua tahu yang baru saja terucap adalah kebohongan transparan.
Chivar membersit geli sebelum menyambar gelas berisi air putih, lalu meminumnya hingga tandas. "Iya, kamu nggak khawatir. Cuma lagi kepingin marah-marah doang, kan?"
"Aku nggak lagi marah-marah, ya!" balas Webhi tak terima dan siapa pun yang mendengarnya, pasti tahu kalau ia sedang marah.
"Oke. Bukan marah-marah, cuma lagi ngomel. Hobi kamu kan, emang itu. Kalau ada penghargaan wanita paling omelable pasti kamu masuk nominasi dan menang kategori--"
"Chivar!"
Kemudian tawa kecil Chivar mengudara begitu saja, merasa paginya menjadi lebih indah karena sukses membuat istrinya marah. "Oke, maaf. Kamu pulang jam berapa nanti?" ujarnya sambil melirik Webhi yang masih menatapnya diam. "Oke, oke. Nanti aku suruh Cecep buat ambil tongkat itu."
"Gips kamu aja belum dilepas, loh! Dr. Said bilang hairline fracture kamu lumayan panjang dan rentan geser kalau kamu--"
"Iya, iya. Aku tahu dan inget. Lagian aku cuma turun tangga doang, bukan lagi loncat di atas trampolin," sela Chivar yang dihadiahi dengkusan kasar wanita di sampingnya.
"Terserah kamu ajalah!" Dengan cepat, Webhi bereskan sarapannya dan meminum segelas air sebelum menyambar paper bag. "Aku nanti pulang sore."
"Makan malem di rumah?"
"Hm." Bangun dari duduknya, Webhi menunduk memeriksa keadaan kaki Chivar di bawah meja. "Awas ya, kalau aku dapat kabar kamu jatuh dari tangga atau ketiban balok lagi."
Senyum yang tak Chivar sangka, tiba-tiba saja muncul menghiasi wajah. Ia tak menyangka obrolan penuh debat itu membuat hatinya sedikit menghangat. Jauh berbeda dengan keadaan setengah jam lalu. "Nggak akan! Kamu nggak usah khawatir."
"Aku nggak khawatir. Kamu itu rewel banget kalau lagi sakit. Aku pusing urusnya!" tandas Webhi sebelum melenggang pergi meninggalkan pria yang berdecih samar.
Namun, setelah Webhi benar-benar pergi. Chivar tak bisa untuk tak tersenyum saat selesai melakukan percakapan langkanya dengan Webhi. Jika diingat-ingat, rasanya baru kali ini ia melakukan obrolan panjang lebar dengan istrinya sendiri.
Ya ... walaupun dengan bumbu pertengkaran, Chivar tak merasa keberatan. Justru ada sesuatu yang membuatnya malah ketagihan.
Duh, makin aneh kayaknya gue semenjak sakit kaki. Yang ketiban balok kan, kaki. Kenapa otak gue yang ngaco, sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top