29• Hanya Tentang Rasa.

"Terkadang yang pintar pun menjadi bodoh saat mencoba pahami perasaan."

Chivar berdecak kasar saat menatap vas bunga yang dua minggu ini mengisi kamarnya. Ia rasa, lama-lama ruang pribadi itu akan dikuasai Webhi karena bukan hanya vas bunga yang jadi hiasan di sana, tetapi harum kamarnya pun beraroma khas Webhi. Ya ... walaupun Chivar mulai menyukai wewangian manis itu.

Niat ingin berjalan-jalan di halaman rumah--meski harus menggunakan elbow walker--harus kandas saat mood secerah mentari pagi berubah mendung hanya karena panggilan 'Mas' bernada lembut yang Webhi lontarkan.

Sialan!

Sebelum ini Chivar tak pernah merasa emosinya begitu labil. Lagi pula apa sih, yang ia pikirkan? Webhi hanya mengangkat telepon dari seorang kakak dan bersikap layaknya adik yang sopan.

Hanya itu saja, bukan?

Namun, ia tak bisa abaikan saat ada sesuatu yang bercokol di hati kala mengingat bagaimana cara Webhi memperlakukan Ardaf. Dari mulai bicara hingga menatap.

"Sebenernya Pak Aris kepingin kamu sama Webhi yang dateng, Var. Katanya mau lihat pengantin baru."

Suara wanita baya yang satu jam lalu sampai di rumahnya, membuat Chivar mengalihkan atensi dari bunga gardenia di atas nakas. Menoleh santai pada sang ibu yang duduk di sofa, Chivar hanya mengangguk samar. Ibunya bilang, hari ini ada undangan dari ketua yayasan yang sedang menggelar pesta pernikahan anak semata wayangnya.

"Ya udah, Ibu bilang aja kalau aku masih sibuk honeymoon. Jangan bilang patah kaki gara-gara ketiban balok," jawab Chivar sekenanya.

"Gimana mau ngeles kayak gitu, orang Ibu perginya sama Webhi. Kamu mau pergi honeymoon sama siapa, coba? Aneh!"

Lantas Chivar terkikik geli mencerna ucapannya beberapa detik lalu. "Iya, juga ya, Bu. Aneh. Masa suaminya honeymoon, istrinya malah dateng ke acara kondangan." Dan matanya kini tertuju pada pintu walk in closet yang terbuka, menampilkan Webhi dalam balutan dress motif batik beraksen kerutan di pinggang dan lengan.

Bahu mulus Webhi terpamerkan oleh baju model sabrina itu. Namun, sepertinya pakaian yang dibawa sang ibu sebagai dress code acara hari ini, membuat Webhi sedikit tak nyaman.

Chivar mulai hafal keseharian Webhi dalam berpakaian. Wanita itu lebih sering menggunakan jin panjang dengan paduan kaus, peasant blouse, atau kemeja lengan pendek tanpa banyak motif. Jadi, saat melihat ada scarf yang menutupi bahu, Chivar yakin Webhi bukan ingin tampil modis melainkan menutupi bagian tubuh yang jarang sekali terekspose.

Ck, gaya banget pakai selendang segala. Mau ngapain coba? Kospley jadi Farida?

Karena alih-alih menjadi Sembara yang Cintanya diperebutkan Farida--meski selalu dihalangi Nenek Lampir yang memiliki kesaktian mandraguna. Chivar lebih memilih menjadi Angling Dharma yang ke mana-mana menunggangi naga.

Ck, berengsek! Kenapa pikiran gue jadi ngaco sih, cuma gara-gara liat bahu mulus?! Kayaknya kelamaan nggak di-briefing nih, otak gue!

Halah! Memang isi otaknya selalu begitu.

Sudahlah! Jangan biarkan pikiran Chivar menorehkan diksinya karena dikhawatirkan pembaca jadi ikut gila seperti dirinya. Lagi pula, ia hanya sedang kesal dengan sang istri lepas kejadian di atas meja makan tadi pagi.

"Kamu nggak apa-apa kan, ditinggal?" Mia beranjak dari sofa, berjalan menghampiri Chivar yang sepertinya tak bisa lepas memandangi Webhi. Tersenyum tipis, ia tepuk pelan bahu sang putra. "Apa ibu suruh Zeya sama Zoya buat pulang sekolah ke sini aja?"

Chivar berdecak lirih. Bisa vertigo jika Zeya dan Zoya yang menemaninya. Lebih baik sendiri meski sebenarnya Chivar tak terlalu suka dengan keadaan itu. "Nggak usah, Bu."

"Yakin?"

"Iya. Dikiranya aku anak kecil kali," seru Chivar sebelum ekor matanya menangkap cebikan tipis dari bibir Webhi.

Mia hanya mengangguk saja, meski ia hafal betul kalau Chivar tak suka ditinggal sendirian jika dalam kondisi seperti itu. "Ya udah. Ibu pergi sama Webhi. Kamu telepon Cecep di bawah kalau butuh sesuatu."

Chivar mengangguk pendek, lalu pandangannya kembali berlari ke arah wanita yang masih setia berdiri di dekat ruang ganti baju. Saat tatapan mereka berserobok, baru kali ini Chivar menjadi orang pertama yang membuang wajah.

Sebenarnya, ada waktu di mana ia kagum dengan sikap cuek Webhi, tetapi tak jarang pula merasa kesal dan mulai benci. Apalagi saat ini, Webhi memilih pergi tanpa menyerukan pamit untuk sekedar basa-basi.

Sekarang, Chivar pikir rasa bencinya mulai dominan dan berharap akan terus bertahan. Padagal ia tak tahu saja, terkadang benci dan cinta hanya dibatasi selaput tipis bernama rasa.

***

Kembali memijit keningnya, Ardaf mendesah kasar saat pemberitaan tentang hubungannya dengan Grace masih mencuat ke publik. Ia pikir hanya 2-3 hari berita yang sempat tranding di sosial media itu, surut. Rupanya para jurnalis dan forum gosip yang bersekutu malah makin membuatnya menjadi-jadi.

Parahnya, sekarang hampir seluruh foto di akun instagramnya terekspose menjadi sampul diberbagai portal gosip ibu kota. Ardaf mulai risih melihat tiap artikel begitu berlebih-lebihan menggambarkan hubungan yang baru ia jalin enam bulan ini.

Para karyawannya pun tampak antusias menanggapi berita tersebut--meski ada beberapa yang sudah tahu perihal hubungannya dengan Grace. Namun, Ardaf yang memang menjadi atasan friendly ke beberapa staff terdekatnya, tak jarang mendapati ledekkan.

Ciyee ... Pak Ardaf bentar lagi diundang ke acara talkshow nih, pasti.

Wah, Pak Ardaf fotonya ada di mana-mana. Kayaknya kalau jadi aktor ngalahin Vino G. Bastian nih, gantengnya.

Pak, bentar lagi pasti banyak endorse yang masuk. Eh, tapi Bapak mana mau. Orang duitnya udah bejibun, ya, Pak?

Ardaf bisa apa selain melempar senyum tipis pada para pekerjanya.

"Pak, besok pagi ada meeting. Ada laporan dari kepala logistik sama kantor di pelabuhan Surabaya. Siangnya ... eh, Pak Ardaf?"

Terkesiap sambil menggeleng cepat, Ardaf menghela napas panjang sebelum memusatkan atensi pada wanita tinggi yang sejak tadi berceloteh di depannya.

"Iya, Lin. Tadi kamu ngomong apa?"

Rasanya jika di depannya ini bukan seorang atasan, Caroline Adifsha--sekertaris pengganti--sudah memutar bola matanya malas. Ia sudah bicara dari setengah jam lalu. Berceloteh masalah kerjaan dengan lugas. Namun, pria itu justru diam sambil membuka ponsel dan melihat gosip di sana.

"Bapak besok ada meeting." Olin sebenarnya setengah hati menerima tawaran menggantikan posisi Dissa yang seminggu lalu mengambil cuti menikah. Alasannya karena menjadi sekertaris Ardaf biasanya selalu lembur. Dan ia bukan tipe wanita pekerja keras yang mau menukar jam istirahatnya dengan uang lemburan.

Ardaf mengangguk sambil melirik arloji di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 17:00 WIB. Lalu kembali menatap wanita di hadapannya.

"Saya mau balik cepet, Lin. Kamu juga pulang aja."

Waduh. Kayak ngerasa kebaca pikiran gue?

"Oh, baik, Pak. Kalau begitu saya permisi. Untuk meeting besok pagi biar saya jelaskan lagi. Bapak sekarang pulang aja, istirahat yang cukup. Dari tadi Bapak kayak lagi banyak pikiran. Kalau begitu selamat malam ... eh, sore, Pak." Sambil melempar senyum girang, Olin keluar dari ruangan itu.

Meninggalkan Ardaf yang berdecih lirih karena sekretaris barunya itu sedikit cerewet, lalu gegas membereskan beberapa berkas di atas meja. Ardaf lelah. Sepertinya bukan hanya tenaga yang terkuras, pikiran yang mulai terganggu dengan pemberitaan tentang dirinya, membuat ia tak fokus hingga terkadang mengulang bacaan atau pekerjaan.

Sampai di apartemen, Ardaf langsung membersihkan diri. Mengguyur tubuh di bawah shower sebelum berkutat di pantri untuk membuat segelas teh herbal dan makan malam ala kadarnya. Malam ini ia malas memasak, memesan, bahkan makan sekali pun. Memasukkan potongan sandwich terakhir ke dalam mulut, ponsel yang sedari tadi menemaninya mulai meminta perhatian. Lalu notifikasi pesan menampilkan nama Grace di layar benda canggih itu.

Grace.
Kamu udah pulang? Aku tadi mampir ke kantor.

Ardaf.
Iya. Hari ini aku pulang cepet.

Grace.
Kenapa?

Grace.
Kamu sakit?

Ardaf.
Nggak, kok, Grace. Cuma mau pulang cepet aja.

Grace.
Oh. Sekarang udah makan malam belum? Biar aku anterin makan malam buat kamu. Aku juga belum sempet makan malem dari acara show tadi.

Mendesah lelah, Ardaf memejamkan mata sejenak. Ia tak tahu, kenapa perasaannya mulai aneh dalam hubungan ini. Mungkinkah karena pemberitaan itu? Ah, entahlah.

Ardaf.
Aku udah makan malam, pesan online tadi. Kamu istirahat aja, Grace. Aku juga mau istirahat. Jangan lupa minum vitaminnya.

Cukup lama tak ada balasan. Ardaf pikir Grace mengerti dan tak ingin memperpanjang percakapan lewat aplikasi WhatsApp itu. Meski sedikit heran karena biasanya, diakhir pesan Grace yang selalu menutup obrolan dengan kalimat manis.

Benar saja. Ia sudah hafal kalau Grace tak akan mengakhiri percakapan dengan kesan dingin seperti itu.

Grace.
Ya udah. Selamet malam. Besok aku free, kita makan siang bareng, ya.

Ardaf tak ingin. Sejujurnya pemberitaan itu memunculkan ide di kepalanya agar meminimalisir pertemuan dengan Grace. Namun, ia tahu wanita itu pasti akan kecewa jika ia menolak.

Ardaf.
Hm, oke. Nanti kita bicarain lagi ya.

Grace.
Oke! I love you.

Ardaf.
I love you more.

Setelahnya, Ardaf beranjak meletakkan cangkir dan piring bekas pakai. Kemudian, menoleh saat getar ponselnya kembali terdengar. Menyambar malas benda pipih itu, ia buka pesan baru yang masuk sebelum mengernyit dan tersenyum tipis.

Bhie.
Mas, aku tadi buat kukis cokelat di rumah. Ada beberapa yang aku kirim ke rumah Mamah. Aku mau kirim ke apartemen Mas, tapi takut nggak sampai karena waktu itu paketku juga nggak sampai, kan?

Dengan hati yang entah kenapa mulai merasa tenang, Ardaf berjalan santai ke tempat tidur. Berbaring di sana sambil mengetik pesan balasan.

Ardaf.
Bilang aja nggak mau kasih aku, Bhi.

Bhie.
Eh, aku serius loh, Mas.

Lantas tak pernah Ardaf sangka, ia terkekeh di tengah keadaan lelahnya saat melihat balasan Webhi sambil membayangkan wajah menggerutu adiknya saat ini.

Ardaf.
Ya udah, besok aku ambil sendiri kukisnya. Kamu udah mulai jaga toko atau masih ambil libur?

Bhie.
Besok aku mulai jaga toko. Besok pagi Mas mampir aja ke sana, biar aku bawa kukisnya.

Ardaf.
Oke. Sekarang aku mau istirahat. Kamu juga istirahat ya, Bhie.

Bhie.
Iya.

Lantas Ardaf mulai bingung, kenapa ia merasa jauh lebih baik setelah bertukar pesan dengan adiknya. Sampai rasanya, kantuk yang datang langsung membawa ke alam bawah sadar yang menenangkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top