28• 0,01% Peduli.

Sudah dua minggu berlalu. Keadaan Chivar pun berangsur pulih dengan cepat. Selain ia salah satu pasien yang patuh dengan prosedur penyembuhan, dokter bilang punya pikiran positif bisa membantu proses penyembuhan lebih cepat. Dan Chivar tentu saja orang yang selalu berpikiran positif meski terkadang melenceng ke arah tak senonoh.

Awalnya aneh.

Saat pertama kali melakukan kontrol, itulah yang terlintas dalam otak Chivar. Apa hubungannya sakit di kaki dengan cara berpikir seseorang? Dan ia memang baru kali ini mengalami sakit yang membuat tak bisa keluar kamar sampai berhari-hari hingga begitu bergantung pada bantuan orang lain.

Namun sekarang, Chivar rasa ia tahu ke mana arah pembicaraan dokter muda yang dibayar 'lebih' oleh kakeknya untuk fokus pada penyembuhan cucu kesayangannya ini.

"Yang ini?"

"Ada yang lengan panjang, kan? Aku mau pakai yang lengan panjang aja." Chivar tersenyum. Ia masih menonton Webhi yang sibuk mencari kaus untuknya.

Benar. Mungkin maksud dokter, jangan terlalu stres selama menjalankan proses penyembuhan karena jika pasien berpikir relaks dan selalu positif maka proses itu tak lagi membosankan. Apalagi selama dua minggu terlewati, Chivar bisa melihat bagaimana sifat lain dari seorang Azalea Webhi Andreas yang begitu perhatian dan tak tegaan.

Ya ... meskipun dengan mimik wajah yang seperti Maleficent, Chivar tak apa. Toh, ia mulai terbiasa dengan pemandangan itu.

"Cuma ada yang putih sama navy. Kalau hitam adanya lengan pendek." Webhi menutup lemari kayu yang menyatu dengan dinding kamar. Kemudian, membawa kaus berwarna navy kepada pria yang saat ini sibuk bermain ponsel. Padahal ia tak tahu saja kalau itu hanya gimik yang dimainkan Chivar agar tak terciduk sedang memperhatikanya.

Webhi mendesah pelan. "Ini ...," katanya sambil menyodorkan kaus pada pria yang hanya mengenakan celana cargo sebatas lutut.

Tadi selesai mandi, Chivar memang tak langsung mengenakan kaus. Hanya memakai celana dan langsung pergi ke balkon menggunakan elbow walker. Katanya ingin menjemur diri di matahari pagi. Jadi, saat Webhi--yang juga baru selesai mandi di kamarnya sendiri--masuk untuk menawari sarapan, ia baru duduk di bibir kasur dengan keadaan bertelanjang dada.

Sedikit aneh karena Chivar pikir Webhi mungkin akan terkejut atau setidaknya merona melihat tubuh atletisnya. Ternyata wanita itu masih setia dengan mimik wajah andalannya. Ck, selera cowoknya pasti yang kerempeng. Karena saat itu Chivar benar-benar tak melihat ekspresi apa pun.

"Hm, makasih." Chivar menerima kaus itu lalu memakainya. "Aku mau sarapan di ruang makan aja. Bosen banget sarapan di kamar."

Sambil merapikan bantal di atas tempat tidur, Webhi mengernyit. "Dokter bilang kaki kamu emang nggak ada yang perlu dikhawatirin lagi. Cuma kemarin waktu kontrol terakhir, kamu disuruh tetap jaga-jaga. Turun naik tangga nggak dianjurin, loh. Luka kamu ada di dalam yang nggak bisa kita lihat langsung kalau ada sesuatu yang buruk."

"Nggak apa-apa. Udah nggak terlalu sakit kok, kalau digerakin." Chivar menyambar elbow walker yang bersandar di nakas. "Kan, pelan-pelan jalannya."

Webhi terdiam sejenak, lalu mengangguk tak acuh. "Ya udah, aku panggil Mang Cecep dulu buat bantu kamu turun tangga."

Chivar hanya mengangguk patuh saja. Rasanya ia sudah terbiasa setelah dua minggu hidup dengan segala aturan yang Webhi terapkan dari mulai: jangan meletakkan bungkus makanan di atas tempat tidur, biasakan manaruh pakaian kotor di keranjang, matikan wifi ponsel saat hendak tidur, dan masih ada beberapa hal yang harus Chivar patuhi selama Webhi tidur menemaninya.

Ya, mereka masih tidur bersama dan sudah pasti tak ada hal yang terjadi selain perdebatan di pagi hari.

Topiknya masih sama. Tentang Webhi yang mengomel karena terbangun sambil memeluk Chivar.

Sebenarnya ada beberapa momen, Chivar yang sengaja menarik Webhi ke dalam pelukannya meski di lain kesempatan kadang ia terkejut saat mendapati wanita itu sudah melingkarkan tangan di lengannya.

Pagi ini tak ada perdebatan pagi meski mereka terbangun dalam posisi berpelukan. Namun, tentu saja ada alasan. Chivar sengaja memilih menjadi orang yang pura-pura terbangun paling akhir. Saat merasakan pergerakkan Webhi, ia sengaja kembali menutup mata setelah puas menikmati bagaimana manik karamel yang tertutup kelopak, terkadang bergerak pelan hingga membuat bulu mata lentik Webhi ikut bergerak lucu.

Chivar pikir Webhi pasti langsung mendorongnya seperti yang sudah-sudah. Namun, ia justru merasakan wanita itu diam tak bergerak untuk beberapa saat sebelum menjauh dan keluar dari kamarnya begitu saja. Bahkan tak memedulikan selimut yang masih berantakan.

"Pak?"

Terhenyak dari lamunannya, Chivar menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka setelah diketuk pelan. Di sana sudah ada Cecep yang berjalan menghampirinya.

"Bapak serius mau ke lantai bawah?" Cecep bertanya setelah berada di depan Chivar.

"Iya. Saya bosen di kamar terus, udah kayak calon pengantin yang lagi dipingit."

Cecep terkekeh pelan. Ia paling suka saat pria yang membantu perekonomiannya itu, berucap asal-asalan. Tak jarang kadang Chivar bersikap layaknya teman bukan seorang atasan yang harusnya disegani bawahan.

"Ya udah, ayo, Pak. Ibu nunggu di ruang makan katanya."

Chivar mengangguk samar. Menyambut tangan Cecep yang ingin memapahnya berjalan keluar dari kamar. Dengan hati-hati dan sedikit meringis saat ada rasa ngilu ketika menuruni undakan keramik itu, Chivar akhirnya berhasil mencapai lantai bawah tanpa drama tergelinding dari tangga.

"Nggak apa-apa, kan?"

Suaranya terdengar tak acuh, tetapi Chivar yakin mengandung 0,01% kekhawatiran. Sepertinya hal mustahil jika ia berharap istrinya menyuarakan rasa peduli dengan suara lemah lembut.

"Nggak apa-apa, kok."

Cecep kembali ke lantai dua untuk mengambil elbow walker, sementara Chivar sudah duduk di meja makan yang dua minggu ini tak dijamah. Ia benar-benar jadi pasien yang menaati peraturan dokter. Jadi selama ini makan malam, makan siang, dan sarapan dilakukan di kamarnya yang untung saja Webhi mau menemani.

Saat chek up pertama, dr Said--dokter ortopedi yang menenganinya--mengatakan hairline fracture yang dialami Chivar memang tak parah, hanya saja retaknya cukup panjang sekitar 2-4cm. Bersyukur tak ada pergeseran dalam tulang kering Chivar hingga proses penyembuhan bisa dilakukan paling lambat memakan waktu dua bulan.

"Wah, banyak banget menunya, Mbok?" komentar Chivar saat melihat hidangan yang tersaji.

"Iya, Den. Tadi pagi masaknya dibantu Non Webhi," sahut Mbok Jum sambil meletakkan lauk terakhir ke meja sebelum pergi meninggalkan majikannya untuk sarapan.

Cecep kembali, meletakkan alat bantu jalan di dekat Chivar sebelum pergi berpamitan untuk sarapan bersama satpam rumah.

"Kamu masak yang mana aja, Bhi?"

"Cuma sayur," sahut Webhi sekenanya.

Chivar rasanya ingin sekali berdecak. Ia jadi kepikiran ingin punya tongkat Harry Potter yang bisa mengeluarkan sihir. Siapa tahu saja benda itu bisa mengubah istrinya menjadi lebih ekspresif dan murah senyum.

Baru saja menikmati satu suapan, perhatian Webhi teralih pada ponsel yang tergeletak di sampingnya. Pemberitahuan pesan yang menampilkan nama Mas Ardaf, membuatnya menghentikan kegiatan sarapan. Kemudian, membuka lockscreen dengan membuat sandi pola. Niatanya hanya ingin membaca, tetapi nama Ardaf kembali muncul dengan panggilan telepon.

"Mau ke mana?" tanya Chivar yang sejak tadi sudah memperhatikan Webhi.

"Aku mau angkat telepon."

"Bhi, kamu lagi sarapan, loh!"

Webhi mengernyit. Ia sudah berdiri dengan ponsel dalam genggaman. "Lalu?" Dan tak menunggu respons Chivar, ia lebih memilih menekan ikon hijau pada benda yang terus meminta perhatian.

"Halo, Mas?" sapa Webhi sambil berlalu.

Dan saat sapaan itu terdengar, tanpa sadar genggaman Chivar pada sendok makannya mengerat dengan perasaan yang jauh dari kata baik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top