23• Istri Kejam.

Harusnya, Webhi mendengarkan lebih jelas saat sopir yang selalu menemani suaminya mengabarkan berita mengejutkan. Namun, karena kadung terkejut dan panik setelah mendengar kata kecelakaaan, ia langsung menodong Cecep menyebutkan alamat rumah sakit yang didatangi suaminya.

Dalam pikiran paranoid Webhi, kecelakaan yang dialami Chivar mungkin kecelakaan lalu lintas yang bisa saja menyebabkan luka parah. Padahal ia harusnya merasa aneh saat Cecep yang notabenenya semobil dengan Chivar, bisa bicara lugas dalam sambungan telepon. Webhi sulit berpikir jika dalam keadaan panik. Bahkan selama menuju rumah sakit, bisa ia rasakan detak jantungnya bertalu cepat dengan tangan yang mulai gemetar.

Sebenarnya meski bersifat menyebalkan, ia sedikit bersyukur karena Chivar tak menunjukkan sisi berengseknya selama ini. Webhi tak peduli jika pria itu masih sering bermain di luar sana, selama tak mengganggu dirinya tak masalah. Dan memang benar, pria itu memegang teguh perinsip yang mengatakan tak akan meneyentuhnya sebelum menjatuhkan pilihan.

Tanpa sadar, Webhi mulai merasa aman dan menaruh sedikit rasa percaya pada pria tengil itu.

"Kronologinya seperti apa?"

Suasana kembali hening. Tak ada sahutan apa pun dari empat pria di hadapan Webhi. Semua menunduk, bahkan salah satu dari mereka tampak bergerak gelisah meski duduk di sofa yang empuk.

"Nggak ada yang mau jawab?" Webhi tak tahu kenapa orang-orang yang duduk di seberangnya terlihat gugup atau ... takut mungkin.

Ia bicara memakai nada biasa, kata-kata yang masih sopan didengar, dan sorot mata biasa-biasa saja--menurutnya. Tak ada tanduk di kepala, taring di gigi, bahkan pisau di tangannya. Jadi, kenapa para pekerja suaminya terlihat seperti itu?

Aneh sekali.

"Mang Cecep, saya harus bicara pakai bahasa apa biar kalian mengerti kalau saya sedang bertanya?" imbuhnya lagi seraya menatap pria yang tadi mengabarinya. "Mau saya buat insiden ini masuk ke ranah--"

"Jadi gini, Bu. Anu ...." Cecep berdeham sebentar sebelum memulai penjelasannya.

Sebenarnya perempuan berstatus istri bosnya itu tak salah jika ingin tahu kronolgi yang menimpa sang suami. Hanya saja, cara wanita itu menatap dengan raut tegas dan tatapan tak bersahabat, membuat ia beserta para pekerja lain merasa gugup dan takut.

Webhi mengangguk tipis. Tangannya terlipat ke bawah dada dengan punggung yang ia sandarkan ke sofa. Ia tak sadar kalau sorot intimidasi membuat para pria di depannya sulit berkata-kata.

"Anu, Bu ... Bapak itu orangnya aktif banget kalau di proyek. Tadi kata Pak Dirman ...," mula Cecep sambil menoleh ke arah pria yang tertunduk di sampingnya. "Bapak mau lihat ke dalem bangunan yang baru dipasang plafon. Cuma karena kurang hati-hati, pas Bapak masuk balok kayu yang emang lagi disenderin di samping pintu, jatuh. Terus nggak sengaja--"

"Saya minta maaf, Bu. Kayu itu saya yang taro buat nahan tangga. Soalnya--"

"Oke, oke. Saya ngerti. Saya bukan mau salahin kalian, cuma mau tahu bagaimana kejadiannya." Webhi menarik napas lebih dalam. Kemudian, memijat kening setelah berhasil mendapat penjelasan. Padahal, dari awal ia tak ada niat sedikit pun untuk menyalahkan para pekerja bangunan yang terlihat ketakutan. "Sekarang kalian pulang aja. Istirahat dan lain kali lebih hati-hati lagi." Lalu melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 21:00 WIB.

Setelah itu, Webhi beranjak dari ruang tamu menuju kamar Chivar yang sudah terdapat Zeya dan Zoya bersama ibu mertuanya. Kakek Sigit yang juga panik saat mendapati kabar tersebut, baru pulang dua jam yang lalu. Untung saja insiden itu tak mengakibat luka parah. Meskipun Chivar harus menggunakan gips di kaki kiri selama beberapa minggu ke depan akibat tertimpa balok kayu yang diperkirakan memiliki beban 50 kg.

Dokter ortopedi di rumah sakit yang tadi menangani, menjelaskan tak ada luka yang serius sehingga harus melibatkan operasi. Hasil X-ray memang menunjukan kalau Chivar mengalami hairline fracture* pada tulang keringnya. Biasanya pasien hanya perlu kontrol di waktu-waktu yang sudah di tentukan dokter. Dan diperkirakan selama dua bulan ke depan, Chivar harus mau memakai gips yang membungkus kakinya.

"Bhi, Ibu kayaknya nggak bisa nemenin Chivar, deh." Mia bangun dari duduknya. Beranjak menghampiri Webhi yang baru memasuki kamar. "Lihat tuh, Zeya sama Zoya pasti berisik banget kalau nggak dibawa pulang."

Dokter yang menangani memang tak mengharuskan Chivar untuk bermalam di rumah sakit, hanya saja Mia pikir akan lebih baik kalau anaknya mendapatkan perawatan intensif selama satu malam. Namun, ia harus bagaimana saat Chivar bersikeras tak mau dirawat?

Webhi hanya mengangguk saja sambil menampilkan senyum yang lebih pantas disebut ringisan. Dua gadis di dalam kamar itu memang sibuk dengan dunianya. Zoya sedang merekam kondisi Chivar dengan segala celotehannya, sementara Zeya sibuk menggambar di atas perban yang membungkus gips di kaki suaminya.

Zoya masih duduk di samping sang kakak sambil mengarahkan kamera. "Gimana rasanya, Bang?"

"Sakitlah!" jawab Chivar sewot. Ia merasa seperti satu-satunya korban tenggelamnya sebuah kapal. Lalu kisahnya viral dan diburu wartawan dunia untuk dimintai keterangan. Bahkan mungkin, adiknya ini lebih cerewet dari wartawan profesional.

"Zeya, Zoya. Kita pulang sekarang, ya! Kamu besok sekolah. Abang kamu nggak akan bisa istirahat kalau kalian di sini terus." Mia gegas menyambar tasnya sambil menepuk bokong Zeya yang asyik dalam posisi tengkurap sambil mencoret-coret gips dengan spidol warna-warni.

Sebenarnya Chivar sedikit bersyukur karena Zeya tak ikut-ikutan seperti Zoya yang mencecarnya dengan segala pertanyaan random. Walaupun ia dibuat meringis saat gips yang membungkus kakinya penuh dengan gambar kupu-kupu, love, dan huruf-huruf Korea yang entah apa artinya.

"Ya udah, Ibu pulang aja, deh. Sekalian bawa Upin-Ipin ini." Chivar tak mengindahkan dengkusan tak terima dari dua adiknya.

Tak butuh waktu lama, 15 menit kemudian kamar yang tadi seperti pasar kini mulai hening. Hanya ada Chivar dan Webhi yang kembali setelah mengantar ibu mertua dan para adik iparnya sampai ke pintu utama.

"Makanya kalau lagi mabuk jangan kerja! Nyusahin diri sendiri sama orang lain, kan, jadinya."

Chivar yang sedang memeriksa ponsel, menatap terkejut pada wanita yang sibuk membersihkan meja di dalam kamarnya. Padahal Webhi tinggal panggil saja Mbok Jum untuk membereskan kekacauan yang dibuat adiknya.

"Siapa yang mabuk?!" balas Chivar tak terima.

"Siapa lagi kalau bukan kamu." Webhi mengumpulkan majalah serta beberapa bungkus camilan di atas meja. Kemudian menoleh tak acuh pada pria di atas tempat tidur. "Oh, kamu nggak mabuk. Yang mabuk itu cowok yang semalam ketakutan hantu," sindir Webhi sambil berjalan ke tempat sampah di sudut ruangan dan memasukkan bungkus camilan.

Chivar mendengkus kasar. Ia tahu memulai obrolan dengan Webhi hanya akan membuatnya emosi. Jadi, lebih baik ia diam sambil memperhatikan wanita yang kembali sibuk merapikan kamarnya.

"Para pekerja kamu tuh, ketakutan kalau insiden itu jadi ancaman buat mereka." Webhi masih terus melakukan kegiatannya sambil mengomel. "Mereka takut dituduh lalai sampai bikin bosnya patah kaki."

Chivar masih diam tak berniat menyahut apa pun.

"Lagian kamu ngapain, sih, Chi? Periksa kerjaan mereka sampai masuk ke dalam bangunan yang belum beres?" Webhi meletakkan gelas-gelas bekas pada nampan yang ada di sana. Tanpa sadar suaranya meninggi. "Coba kalau balok kayu itu jatuhnya ke kepala kamu! Terus ada hal lebih parah dari ini--"

"Kamu khawatir?" sela Chivar. Sadar atau tidak, segaris senyum tipis muncul di bibirnya saat mendengar ocehan Webhi yang tanpa henti. Ia pikir setelah Zeya dan Zoya pulang sudah tak ada lagi yang berisik.

"Nggak!" sahut Webhi sedikit kesal. Ia tatap Chivar yang baru saja berdecih samar. "Aku kasian sama para pekerja kamu yang tadi ketakutan! Lagian aku bakal jadi janda kaya kalau ada hal yang terjadi sama kamu." Lalu berjalan menuju pintu setelah melempar jawaban yang menohok.

Chivar ternganga tak percaya mendengar ucapan Webhi. "Sekarang kamu mau ke mana?"

Menoleh sebelum kakinya keluar dari ambang pintu, Webhi kembali menatap Chivar dengan nampan berisi gelas di tangan. "Kenapa? Kamu takut ditinggal sendiri? Atau perlu kita sewa perawat buat jagain kamu?"

Chivar berdecak kesal. "Kamu serius mau sewa perawat buat jagain aku?"

Webhi memutar bola matanya malas. "Kalau kamu mau kenapa nggak? Kamu pilih aja mau perawat lelaki atau perempuan seksi!" jawabnya ketus.

"Dih, kok sewot sih, jawabnya." Chivar mencibir setengah membersit geli saat Webhi makin terlihat kesal. Setelah itu, sang istri kembali memutar tubuh sambil berdecak kasar. Meninggalkannya dalam keadaan menyedihkan. Benar-benar tipikal istri menyebalkan.

Sebenarnya, Chivar masih bisa berjalan dengan bantuan elbow walker. Hanya saja, dokter yang tadi menanganinya menyarankan untuk tak boleh banyak melakukan pergerakan yang mungkin saja menyebabkan pembengkakkan pada area yang terluka. Sekarang saja, ia sudah merasakan denyut nyeri yang membuatnya meringis. Padahal sejak pulang dari rumah sakit, ia tak mengubah sedikit pun posisi di atas tempat tidurnya.

Notifikasi pesan dalam ponsel, menarik perhatiannya. Chivar pikir itu dari Adam atau Wira yang baru saja ia beri kabar tentang keapesannya hari ini. Namun, kernyitan samar muncul di kening saat pemberitahuan chat di layar lockscreen ponsel menampilkan nama wanita yang tadi berdebat dengannya.

Webhi.
Udah nggak butuh apa-apa lagi, kan?

Lalu mendengkus geli. Ia tahu Webhi mengomel karena khawatir padanya. Mungkin gengsi wanita itu setinggi gunung Himalaya hingga tak mau menyerukannya dengan kata-kata.

Chivar.
Banyak banget kebutuhan aku saat ini.

Webhi.
Panggil Mbok Jum aja atau suruh Mang Cecep temenin kamu.

"Cih! Dasar istri kejam! Suaminya lagi sakit begini ditinggalin gitu aja." Sambil menggerutu, Chivar letakkan ponselnya ke atas nakas. "Si Webhi nggak tahu apa kalau surga istri ada di suami. Awas aja, nggak akan gue kasih izin masuk surga. Biar nanti pas mau masuk ditahan sama malaikat Izrail. Kamu nggak bisa masuk surga, soalnya suami kamu nggak kasih izin." Kemudian terkekeh geli saat mencerna ucapannya sendiri.

Menarik napas gusar, Chivar meringis saat mencoba membaringkan tubuh di kasur. Bukan hanya kaki, tangan yang dipakai untuk menahan tubuh saat jatuh tertimpa balok, mulai terasa sakit. "Eh, tapi ... emang yang jaga pintu surga Malaikat Izrail, ya?" katanya bingung sendiri. "Ah, masa bodohlah. Nanti aja gue tanyain ke Adam siapa yang jagain pintu surga."

Webhi tega banget sih. Suami lagi sakit ditinggal gitu aja.

Gak apa-apa ya, Par. Nanti kita cari istri baru soleha yang suka ada di tipi tipi.

*hairline fracture diagnosa untuk pasien yang mengalami patah tulang gak parah. Atau cuma mengalami retak segaris rambut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top