21• Cucu Laknat!


Setelah insiden tengah malam yang membuat Chivar jengkel bukan kepalang, akhirnya mau tak mau ia tidur dalam keadaan lapar dan dahaga. Meski begitu, ia tetap terlelap dan baru membuka mata saat jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 11:00 WIB.

Ketika terbangun, tentu saja rasa pahit di dalam mulut dan tenggorokan masih sangat Chivar rasakan. Ditambah sensasi mual dan pening di kepala yang selalu datang akibat menenggak alkohol. Oleh sebab itu, setelah membersihkan diri secepat kilat, Chivar langsung meluncur ke meja makan yang untungnya sudah tersedia banyak hidangan.

"Eh, Den Cipar udah bangun?"

Wanita yang masih menjadi pembantu sementara di rumah baru Chivar itu, muncul dari pintu pantri yang terhubung dengan taman belakang. Mbok Jum sedang menyampirkan handuk kecil di sebelah bahunya, lalu gegas menghampiri sang pemilik rumah. "Mau langsung makan, Den?" imbuhnya lagi.

Chivar sudah duduk di salah satu kursi di meja makan. Setelah menenggak segelas air putih, tangannya menyambar udang tempura yang masih hangat dan memasukkannya ke mulut. Kemudian, mengernyit saat wanita baya yang tadi bertanya menyediakan segelas teh beraroma mint.

"Mbok Jum lupa, ya? Saya nggak suka teh." Chivar mendorong cangkir putih berisi minuman hangat itu, lalu membalik piring di depannya untuk memulai acara sarapan yang sudah sangat terlewatkan.

"Mbok mana bisa lupa, Den." Mbok Jum berjalan ke arah kulkas dan mengambil madu dalam stoples kaca. "Itu ... tadi pagi Non Webhi ngomong ...," katanya sambil meletakkan benda yang ia bawa ke atas meja. Dari nada bicaranya, Mbok Jum seolah memberi kabar momen langka karena mendengar majikan wanitanya bicara.

Chivar yang sudah memasukkan satu suapan nasi beserta lauknya, menoleh dengan kening mengernyit. Wah, sejak kapan obrolan dengan selipan nama wanita itu menjadi topik menarik. Padahal semalam--sebelum tidur, Chivar terus saja menyumpahi Webhi agar diberi mimpi buruk dikejar kuyang tanpa henti.

Ck, pedendam sekali dirinya.

Kembali fokus pada sarapannya, Chivar lantas menyahut, "Ngomong apa, Mbok?"

"Kata Non Webhi, kalau Aden udah bangun suruh minum teh herbal campur madu. Katanya, jangan makan nasi dulu biar perutnya nggak mual." Mbok Jum yang berdiri tak jauh dari Chivar kemudian melanjutkannya dengan setengah berbisik, "Mbok teh sampe kaget, Den. Baru kali itu Non Webhi ngomong panjang lebar."

Chivar refleks terkekeh geli dengan ucapan terakhir wanita keturunan sunda itu. Ia raih cangkir yang sempat didorong, lalu menyeruputnya sedikit dengan ekspresi meringis. "Ini Webhi yang buat sendiri atau Mbok?" tanyanya saat merasakan getir di lidah.

"Non Webhi yang resepin terus mbok yang buatin." Lalu Mbok Jum mendekatkan wadah madu yang tadi ia bawa. "Kata Non, minum tehnya pakai madu, Den."

Chivar mengangguk-angguk tipis setelah memerintah Mbok Jum menuangkan madu ke dalam cangkir tehnya. Ia jadi membayangkan bagaimana cara Webhi bicara dengan asisten rumah tangganya itu. Selama seminggu menempati hunian baru, Webhi memang jarang sekali terlihat bicara dengan orang-orang di sana. Meski memang ada alasan jarang di rumah karena harus pergi menjaga toko bunga, tetapi Chivar tahu kalau para pekerjanya terlihat segan jika ada keberadaan sang istri.

Efek Maleficent memang luar biasa sekali.

"Mbok Jum udah sarapan?" Sambil meneruskan santapannya, Chivar kembali memulai obrolan ringan dengan wanita yang sudah akrab dengannya.

Mbok Jum mengangguk pendek seraya menjawab, "Udah, Den."

"Oh, iya, Mbok?" seru Chivar saat melihat wanita yang tak memiliki anak itu hendak berjalan ke arah pantri. "Saya mau tanya, deh. Menurut Mbok Jum, Webhi orangnya kayak gimana?"

Perempuan berdaster hijau itu, kembali mendekati tuannya. Mulai memilah kata agar menjadi jawaban yang sekiranya cocok dan sopan untuk menggambarkan tentang majikan wanitanya.

"Mbok kadang masih sungkan kalau mau tanya-tanya, Den. Non Webhi sebenernya nggak pernah marah-marah kalau ada di rumah, cuma diemnya itu yang bikin segan. Tapi Non Webhi sebenernya perhatian, loh, Den. Kemarin pas liat Mbok masak nggak pakai apron, tiba-tiba si Non ngambil apron di kamarnya terus kasih ke Mbok. Katanya sayang baju Mbok jadi kotor. Padahal Mbok pake baju jelek."

Tanpa sadar, segaris senyum tipis terpatri di wajah Chivar. Ia masih menikmati makanannya sambil terus mendengarkan cerita Mbok Jum yang mengatakan kalau Webhi terkadang membuat para pekerja lain gugup ketika ditanya tentang sesuatu. Ia pikir, hanya dengan dirinya saja Webhi menunjukkan sikap diam tak acuhnya. Ternyata wanita itu memang begitu dengan kalangan mana pun. Seharusnya ia tak terkejut karena saat di rumah Andreas, wanita itu memang terlihat susah untuk diajak bicara.

"... kalau Non lewat wangi bunga, seger banget. Terus orangnya rapi, kalau ada yang berantakan di meja pasti langsung diberesin nggak teriak-teriak manggil pembantu. Udah gitu, manis plus cantik banget, ya, Den?"

Sontak saja Chivar yang sedang mengunyah suapan terakhirnya, terbatuk-batuk hingga membuat wanita baya yang masih asyik bercerita panik seketika.

"Duh, Den Cipar! Mbok minta maaf kalau salah ngomong sampe bikin kaget." Mbok Jum menyodorkan segelas air putih yang langsung diambil Chivar.

"Nggak apa-apa, Mbok!" Berdeham setelah berhasil menelan semua makanan yang tersedak di tenggorokan, Chivar menyambar cangkir teh dan menatap isinya sembari membersit geli. Cih, apa katanya tadi? Cantik? Cantik sih, tapi sedikit, batinnya mencebik.

"Ya udah, Mbok mau ke belakang dulu, Den. Tadi sebelum berangkat ke toko Non nitip pesen buat siram tanaman bunganya kalau udah agak siangan."

Tanpa menyahut dengan kata-kata, Chivar mengizinkan seraya menganggukkan kepala. Kemudian, kembali menyeruput teh yang rasanya sudah lumayan enak setelah diberi tetesan madu. Masih dengan perasaan aneh sembari menikmati minuman hangat itu, tiba-tiba kening Chivar mengkerut samar mengingat sesuatu.

"Apa semalem si Webhi sadar kalau gue abis minum?"

***

"Kamu tahu kenapa kakek panggil kamu ke sini?!"

Kalimat dengan nada marah itu meluncur dari mulut pria tua pemilik marga Hasibuan. Meskipun begitu, tak lekas membuat Chivar yang saat ini duduk di seberangnya menunduk takut. Pria berusia 33 tahun itu justru memilih mengambil minuman yang baru saja disediakan pelayan.

Tepat jam dua siang, saat Chivar hendak pergi ke proyek bangunan. Kakeknya memerintah untuk segera datang ke kediaman mewah itu. Meski selalu malas jika disuruh menghadap sang kakek, Chivar tak bisa mengabaikan panggilan 'Paduka Raja' yang sejak dulu selalu ikut campur dengan urusan hidupnya.

"Chivar!"

Astaga! Dikira budeg kali cucunya.

"Iya, Kek. Aku denger, kok." Chivar menyahut sambil menggosok pelan telinga lebarnya dengan gerakan yang disengaja.

Memang tak ada akhlak cucu satu ini.

Sigit mendesah kasar. Tongkat kayu yang menjadi alat bantunya ketika berjalan, hampir saja melayang untuk memukul cucu laknatnya itu. Menarik napas lebih dalam, Sigit memilih bersandar pada punggung sofa berlapis beludru yang ia duduki.

"Kamu tahu kenapa kakek panggil kamu?" katanya dengan intonasi yang mulai stabil.

Sebenarnya Chivar tahu. Namun, rasanya tak afdol jika bicara dengan kakenya tanpa melihat mata yang memelotot dan urat leher yang tampak tegang. Jadi, untuk membuat dua hal itu terjadi maka Chivar memilih mengangkat bahu tak acuh.

"Emang apa, sih? Cucu kakek ini hanya seorang pria mapan dan tampan yang tak bisa membaca pikiran seseorang--aduh, aduh! Iya, iya, maaf!" Lantas Chivar hanya mengaduh kesakitan saat tongkat ajaib kakeknya mendarat mulus di lutut. Sial, nggak sempet ngehindar pula!

"Kakek serius, Var! Kamu kapan, sih, berpikiran dewasa. Apa-apa kamu anggap mainan!"

Setelah selesai menggosok lututnya yang terasa berdenyut nyeri, Chivar berdecak samar. MeIempar punggungnya kasar pada sandaran sofa empuk yang ia gunakan, lalu mendongak menatap langit-langit kamar dengan gipsun berukuran rumit berwarna keemasan.

"Kakek pikir setelah menikah, kamu bakal terlihat dewasa seperti usia kamu."

Kembali menegakkan tubuh, Chivar tatap pria sepuh yang saat ini mengenakan kaus rajut lengan panjang berwarna abu muda. "Kakek mau marahin aku karena nggak hadir dirapat bulanan? Kek, aku udah berkali-kali bilang kalau aku nggak tertarik buat urus perusahaan. Lagian udah ada Om Attar kan, yang urus. Aku kalau pegang perusahaan yang ada labanya turun mulu." Lalu mengusap kasar wajahnya saat mendapati sorot intimidasi dari pria yang selalu membuatnya sedikit takut.

"Tanah yang sekarang kamu bangun perumahaan, memang kamu pikir dari mana? Itu dari hasil perusahaan kita. Kalau kamu nggak mau urus perusahaan, senggaknya kamu bantu-bantu Om kamu yang susah payah nutupin hutang bekas ayah kamu!" Sigit kembali meradang.

Ia sebenarnya malas bicara dengan cucunya satu ini. Lebih baik mendengar ocehan Zeya dan Zoya yang tiada henti atau menghadapi cucunya yang lain daripada bicara dengan Chivar yang tak pernah takut jika berhadapan dengannya.

Sikap Chivar persis seperti dirinya saat memilih kabur dari rumah. Susah diatur dan keras kepala. Itulah sebabnya ia begitu mengawasi Chivar dengan cukup ketat.

"Lagi pula kakek bukan mau bahas itu. Kamu pikir kakek kaget denger kamu mangkir lagi dirapat bulanan!"

Chivar mengernyit heran. Lantas untuk apa kakeknya menyuruh ia datang?

"Kamu masih sering main-main perempuan, Var?" Sigit mulai mengeraskan rahang saat respons sang cucu terlihat tak acuh. Hal itu sudah ia duga. "Jangan bikin malu keluarga, Var! Mertua kamu orang terpandang, jangan bikin Mamah kamu malu!"

Seharusnya Chivar tak terkejut saat kakeknya tahu apa yang ia lakukan meski itu terjadi di dalam goa sekali pun.

Gini banget nasib jadi cucu kesayangan.




Par Cipar!

Heh! Mongomong ngapa kalian pada ikutin Mbok Jum panggil namanya🤣.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top