2• Persyaratan


"Jangan bilang kalau sebenernya lo udah nggak perawan?"

Pertanyaan yang lebih pantas disebut tuduhan itu, membuat Webhi menghela napas lebih dalam sebelum memulai percakapan. Sudah ia duga, pasti akan menjadi rumit seperti ini.

"Pak Chivar, saya tahu reputasi Anda di luar sana dan saya datang bukan untuk mengungkit hal itu." Webhi sebisa mungkin tak tersulut emosi saat pria itu terlihat mencebik tak peduli. Ia sengaja bicara dengan bahasa formal dan sopan jika tak mau terlihat gegabah menghadapi pria di depannya.

"Toleransi yang konyol, bukan? Masyarakat menganggap masa lalu buruk seorang pria hanya sebagai kenakalan biasa yang mungkin jadi pelajaran bagi masa depannya. Sedangkan wanita, pria yang ingin merangkai masa depan dengan wanita yang dianggap memiliki masa lalu buruk akan menjadi pertimbangan serius.

Padahal seseorang harusnya dilihat dari apa yang dilakukan di masa sekarang, bukan pada masa lalunya. But it's okay, saya nggak akan bahas toleransi konyol masyarakat sekitar. Saya mendatangi Anda untuk menawarkan perjanjian pranikah, jika Anda setuju dengan perjodohan kita. Kalau Pak Chivar meragukan diri saya, Anda bisa ambil persyaratan kedua sebelum kita bahas peraturan mainnya."

Chivar tercengang sejenak mendengar bagaimana wanita yang minim ekspresi, begitu lugas menyuarakan pendapat sekaligus mendebat apa yang dirasa tak sependapat. Ia sudah menyangka, Webhi bukan tipe wanita yang akan diam saja jika ada orang yang berseru tak relevan di depannya.

"Lagi pula saya tahu, Anda juga mengambil keuntungan dalam perjodohan ini, bukan?"

Chivar berdecak kasar sebelum mendengkus geli. Pelayan kafe datang dengan menu yang tadi mereka pesan. Percakapan itu terjeda dan Chivar yang sudah selesai membasahi tenggorokan dengan minuman berkafeina, melirik Webhi yang menatapnya tanpa rikuh sedikit pun.

Nantangin banget kayaknya, batin Chivar.

"Kalau lo tahu apa alasen gue mau ikut makan malam waktu itu, sekarang gue juga perlu tahu kenapa lo setuju sama gagasan orang tua lo."

"Anggap saja saya sedang menunjukkan bakti." Webhi menahan napas memikirkan hal konyol yang menjadi alasan kenapa ia mengambil keputusan ini. "Anda pasti tahu. Saya seorang anak yang diadopsi keluarga Andreas sejak bayi. Mereka menyayangi saya tanpa cela sedikit pun, sekarang mereka meminta saya mempertimbangkan perjodohan ini karena berpikir saya akan bahagia dengan pernikahan ini. Meskipun saya berpikir sebaliknya."

Chivar yang sedang mengunyah potongan kentang goreng, hampir tersedak dengan kalimat terakhir yang bermakna sarkasme keluar dari mulut kecil Webhi.

"Blak-blakan banget sih, jadi orang," gumamnya sambil membersit geli meski akhirnya Chivar berdeham karena ekspresi wajah Webhi benar-benar tak peduli.


"Jadi bagaimana, Pak Chivar? Jika Anda tak setuju bukan masalah bagi saya, orang tua saya juga tak menekan untuk menerima perjodohan ini. Hanya saja saya tahu. Kita, saya dan Anda menginginkan perjodohan ini untuk maksud tertentu."

"Ya, gue nggak munafik, sih. Perjodohan ini memang nguntungin gue." Chivar kembali menyedot minumannya sebelum melempar atensi pada wanita yang memakai blazer hitam itu. "Lo kepingin gue jawab sekarang juga?"

Tersenyum tipis nyaris tak terlihat dengan mata telanjang, Webhi justru berdiri sambil menyodorkan jabatan tangannya yang mungkin disambut Chivar tanpa sadar.

"Anda bisa pikirkan hal ini sebelum kita bahas lebih jauh tentang persyaratannya. Sebenarnya saya belum mengenal Anda dengan baik, tapi saya harap Anda orang yang bisa dipercaya dan tak membuat obrolan kita sore ini didengar pihak lain." Webhi menarik tangannya sementara Chivar melongo dengan wajah lebarnya. "Terima kasih atas waktunya, saya harus kembali ke toko. Selamat sore." Lalu melenggang pergi meninggalkan pria yang belum merespons apa pun ucapannya.

Melihat dengan mata bulatnya saat Webhi memasuki mobil dan pergi membawa kereta besi itu, Chivar baru sadar kalau ia tak membawa kendaraan. Kemudian, decak lirih meluncur dari bibir sebelum ia mengirim pesan pada sopir setianya.

Melanjutkan acara makan siang kedua yang berganti menjadi ngopi santai dengan suasana hati sedikit kesal, Chivar tersenyum tipis mengingat wanita itu tanpa ragu melempar persyaratan mencengangkan lewat bibir manisnya.

Ah, Chivar tak bisa untuk tak memperhatikan bagaimana bibir semerah ceri yang tampak alami dan segar itu bergerak halus. Melontarkan kalimat demi kalimat sinis berkedok pendapat dengan cara impulsif.

***

"Udah ketemu sama orangnya?"

Webhi yang baru saja mendorong pintu kaca di tokonya, langsung mendapat pertanyaan dengan nada penasaran dari wanita muda yang duduk di balik konter dalam ruangan. Matanya melirik ke sudut toko yang terdapat box putih ukuran besar.

"Baru sampai tadi, yang dari Belanda, kan? Aku belum cek kondisinya." Wanita dengan nama lengkap Arsabil Deanaru Andreas itu kembali berseru. Kali ini ia keluar dari dalam ruangan yang dibatasi meja berbentuk lingkaran setinggi pinggang.

"Nanti aku cek." Webhi memijit kening, melempar bokongnya pada sofa panjang di sudut ruangan yang biasa dipakai pelanggan menunggu pesanan.

"Kayaknya nggak akan aku ulang pertanyaannya, soalnya ketebak kalau kamu pasti udah ketemu Chivar." Ikut duduk di samping Webhi, wanita yang kerap kali dipanggil Sabil itu menyodorkan minuman yang sempat ia ambil di dalam kulkas sebelum keluar dari dalam konter. "Gimana orangnya?"

"Seperti yang kamu ceritain, Bil."

"Dia kurang ajar sama kamu, Bhi?" Sabil bertanya dengan nada sedikit menuntut.

Webhi mengibas tangannya sambil menelan minuman segar rasa leci, lalu membungkuk membuka heels yang belum sempat ia lepas. Meletakkan benda itu di samping sofa, ia sambar sendal jepit yang tergeletak di bawah meja kaca.

"Bukan tindakannya, tapi ucapannya."

"Sama aja, Bhi!" cetus Sabil tak menutupi rasa tak sukanya setelah mengetahui Webhi-- sepupu sekaligus bos sementaranya--berencana ingin menemui pria yang katanya terkenal sebagai playboy. "Udahlah, Bhi. Nggak usah pikirin perjodohan itu, lagian Om Yazir nggak bakal maksa kamu buat nikah, kan?"

"Tapi Mamah ngarep banget aku nikah sama dia, Bil." Webhi kembali mendesah pasrah. "Oh, ya. Kamu udah buat buket pesenan Pak Diman?"

Sabil menggeleng malas. "Bulan lalu waktu aku yang buatin, Pak Diman liatin buketnya teliti banget, padahal bunganya sesuai pesenan."

Wanita yang sedang membuka blazer hingga menyisakan kaus hitam lengan pendek itu, tersenyum tipis. "Pak Diman maunya mawar putih semua, kamu kemarin buatnya campur-campur. Salah aku juga sih, nggak detail kasih tahu kamu," kata Webhi dan berjalan menuju konter untuk menyambar apron bertulis nama toko. Kemudian, membuka showcase untuk mengambil beberapa bunga yang memang sengaja disimpan di sana agar tetap segar.

Toko bunga yang diberi nama The Bhie Florist itu sudah berdiri enam tahun yang lalu, tepatnya saat Webhi lulus kuliah dengan gelar S.I. Kom yang memiliki IPK terbaik di kampusnya. Alih-alih menjadi seorang PR* atau reporter seperti yang ditargetkannya saat itu, Webhi justru memilih membuka toko bunga yang letaknya tak jauh dari rumah.

Nggak usah kalau kamu nggak yakin, Bhi. Katanya mau jadi florist, ya udah buka toko bunga aja.

Begitu kata pria berwibawa yang Webhi panggil dengan sebutan Papah. Ia tak bisa untuk tak terus berseru syukur setiap saat karena mendapat orang tua angkat berhati malaikat.

Lama berkutat dengan beberapa tangkai bunga mawar putih yang sudah mekar sempurna, akhirnya tangan lentik dan halus Webhi menciptakan rangkaian bunga yang tersusun cantik dan rapi dalam buket besar. Berselimut kertas tisu dan cellophane berwarna pastel dan pita keemasan, tumpukan bunga beraroma segar itu membuat Webhi tersenyum sebelum getar ponsel dalam saku apron mengalihkan atensinya.

Mamah.
Bhi, cucunya Pak Sigit mau adain acara makan malam lagi. Kali ini mereka undang kita ke rumahnya. Menurut kamu gimana?

Webhi tak langsung menjawab. Ia memilih duduk di kursi putar yang ada di tengah-tengah konter sambil memikirkan balasan yang sebenarnya ingin ia jawab tegas dengan kata, jangan, Mah!

Setelah pertemuannya tadi siang, Webhi sedikit segan menerima tawaran perjodohan itu.

Webhi.
Menurut Mamah gimana? Aku ikut aja.

Mamah.
Mamah tadi tanya Papah, katanya oke aja.

Webhi.
Aku juga oke, Mah.

Mamah.
Ya, udah. Mamah kabari mereka, ya. Nanti waktunya Mamah kasih tahu kamu lagi.

Lantas tak ada lagi yang ingin Webhi ketik untuk membalas pesan wanita yang sudah berjasa membesarkannya. Ia menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan, menoleh pada Sabil yang ternyata tidur lelap di sofa sebelum kembali memberi atensi pada ponsel yang bergetar di tangan.

08317××××
Kayaknya kita harus sering ngobrol, deh.

08317××××
Dari cowok yang lo tinggalin di kafe sendirian.😏

______________________

1. PR (Public Relation) atau Humas.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top