16• Tempat Pulang Baru

Rumah berdesain kontemporer dengan sentuhan modern itu, berdiri kokoh di dekat danau kecil. Chivar sengaja mendirikan bangunan tiga lantai miliknya jauh dari jalan raya juga perkompleksan warga. Ia memilih ada di ujung jalan yang tak terlalu banyak kendaraan melewati hunian mewahnya.

Eksterior rumah dengan 50% terdiri dari kaca tebal pengganti tembok itu didominasi warna cokelat tua. Nyaris seperti berpanel kayu jati yang mengkilap. Di depan bangunan, pemandangan dari barisan pohon flamboyan yang sedang menyombongkan bunga semerah api begitu memanjakan mata.

Dari gerbang utama menuju halaman rumah, Webhi yang diam sejak berdebat prihal biksu, tampak takjub dengan selera berkelas pria yang terlihat slebor di sampingnya. Namun, ekspresi kagumnya benar-benar tak bisa dinikmati orang lain karena saat ini Chivar sedang berdecak lirih. Melihat wanita itu hanya diam menatap hunian yang selesai dibangun enam bulan lalu.

Minimal bilang amazing atau wow, dong! Chivar menggerutu dalam hati.

Saat memasuki area pelataran, mobil jazz yang Chivar kendarai langsung menuju pintu garasi. Ruang penyimpan kendaraan itu memiliki pintu yang otomatis terbuka saat ada mobil masuk. Mereka sampai di jam setengah dua belas siang, perut Chivar yang tergolong cukup 'rewel' sudah mulai mengeluarkan bunyi tak enak didengar.

"Aku mau pesen makan." Chivar berujar sambil membuka seatbeltnya.

Webhi tak berniat menyahut karena sepertinya itu bukan sebuah pertanyaan atau ajakan. Jadi, ia hanya diam saja sambil membuka pintu penumpang dan mengikuti Chivar yang menaiki tangga di depan rumah. Ia baru sadar kalau pintu utama bangunan mewah berlantai tiga tersebut, berada di atas.

Unik. Kata itu terlintas di otaknya. Webhi berhenti saat Chivar mulai memasukan sandi pada smart lock door. Sementara pria itu terlihat sibuk mensetting ulang kode-kode rahasia, Webhi membiarkan matanya berkeliaran di lanskap luas yang mengelilingi rumah. Pohon flamboyan yang tadi menyambut mereka tampak indah saat di lihat dari atas, kolam renang yang ada di sisi kiri bangunan terlihat menyegarkan. Bisa Webhi tebak, jika pagi air jernih dalam kotak itu pasti berkilauan terkena sentuhan matahari.

"Kamu nggak mau tahu sandinya?"

Suara Chivar menarik perhatian Webhi. Wanita itu berjalan mendekatinya, melihat dan mengingat enam digit nomor yang dimasukkan Chivar.

Chivar menoleh setelah berhasil membuka pintu. "Ingat, kan?"

Webhi hanya mengangguk singkat sambil mengikuti pria itu masuk. "Selera kamu bagus."

Memilih berjalan santai di depan Webhi, Chivar menoleh dengan kening mengernyit. "Itu barusan kamu yang bilang? Aku pikir lagi coseplay jadi biksu."

Dan Webhi yang melatih diri agar tak memutar bola mata malas, akhirnya menyerah. Ia rotasikan manik karamelnya di depan pria itu sebelum memilih berjalan mendahului Chivar. Kemudian, menuruni tangga untuk sampai ke lantai bawah.

"Kamu bilang laper? Udah pesen makanan?" tanya Webhi saat mendengar derap langkah mengikutinya di belakang.

"Belum. Nanti aja suruh Cecep beli."

Mereka sampai pada lantai pertama. Hanya ada sofa panjang dan meja biliar di sudut ruangan. Lantainya berbahan granit berwarna hitam mengkilap. Di dekat permainan bola sodok itu ada mini bar yang menyatu dengan pantri, tiga stool bar berbaris rapi di depan meja panjang sementara sisa ruangan besar itu masih kosong melompong.

"Aku belum isi ruang pertama sama furnitur lain. Tapi lantai dua sama tiga udah lengkap. Niatnya lantai ini emang buat main," terang Chivar sambil mendaratkan bokong pada satu-satunya sofa yang ada di sana.

Sedangkan Webhi memilih duduk di salah satu stool bar yang tak jauh dari keberadaan pria itu. "Lalu?"

Chivar yang baru saja merogoh ponsel dalam saku celana untuk mengabarkan Cecep membeli makanan, menoleh. Menatap wanita yang saat ini mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih tulang yang dipadukan celana jin abu-abu. "Belum kepikiran. Apa mau aku buat ruang keluarga atau tempat main."

"Berarti setiap ada yang bertamu atau main di sini, harus lewati lantai dua dulu?"

Chivar menggeleng. Matanya kembali fokus pada benda pipih dalam genggaman, mengetik pesan bertulis menu makanan untuk dirinya dan Webhi. Kemudian, kembali menatap perempuan yang asyik mengedarkan pandangan ke langit-langit ruangan.

"Nggak juga. Ada pintu di samping yang langsung masuk ke ruangan ini. Tadi aku ajak kamu langsung pakai pintu utama biar nanti kamu nggak tanya-tanya lagi sandi rumah karena saat pintu utama aku ganti sandinya, setiap pintu masuk yang pakai smart lock door juga ikut ke setting," jelas Chivar panjang lebar. Lantas bangun sambil meregangkan otot-otot yang terasa kaku. "Aku mau istirahat sebentar di kamar, Cecep lagi berangkat beli makan."

"Chi ...."

Langkah lebar pria itu berhenti. Tubuhnya refleks berputar saat Webhi yang turun dari stool bar berjalan menghampiri. Sebelah alisnya terangkat, menunggu ucapan yang mungkin akan keluar dari bibir wanita itu.

"Kamu kapan jatuhin keputusan?"

***

Tepat saat waktu menunjukkan pukul 14:00 WIB, Chivar dan Webhi selesai dengan makan siangnya. Mbok Jum--pembantu yang dikirim ibu Chivar, sedang sibuk membersihkan peralatan makan yang baru selesai digunakan. Kata Mia, selama Chivar belum mencari asisten rumah tangga, wanita gempal itulah yang akan menjadi tukang masak dalam rumah baru sang anak.

Sekarang Chivar yang baru saja mendapat laporan dari satpam penjaga gerbang, sedang mengernyit keheranan. Pasalnya pria berseragam yang bekerja sebagai seksi keamanan sejak rumahnya berdiri, mengabarkan kalau ada seorang tamu wanita yang ingin bertemu dengannya.

Wanita?

Chivar agak ngeri sebenarnya. Perasaan, selama ini ia selalu bermain aman dan tak pernah menjalin hubungan serius hingga memiliki wanita yang bisa disebut mantan. Lantas siapa wanita itu?

"Bilang saya sibuk, Yat."

Pria bernama Dayat dalam sambungan telepon menyahut, "Oh, baik, Pak."

Setelah itu sambungan terputus. Chivar yang sudah berada di dalam kamar utama, memilih merebahkan tubuh pada kasur king size yang ada di tengah-tengah ruangan luas tersebut. Sambil menatap gipsun dengan ukiran rumit berwarna putih terang, otaknya kembali mengingat obrolan beberapa jam lalu bersama wanita yang saat ini mungkin sedang menggerutu kesal.

Baru saja hendak terkekeh membayangkan wajah memberengut Webhi yang entah sejak kapan menjadi sebuah hiburan, perhatian Chivar kembali dialihkan pada ponsel yang berdering.

"Halo, Pak. Maaf saya mau kabari lagi, perempuan yang cari Bapak ternyata mau ketemu sama Ibu. Katanya sekretaris Tuan Ardaf."

Refleks bangun dari posisi nyamannya, Chivar mengernyit. "Oh. Ya udah, suruh masuk aja." Lalu sambungan kembali terputus tanpa menunggu respons pekerjanya.

Kini Chivar yang berniat istirahat dalam kamar barunya, berjalan menuju ruangan yang persis berada di sebelahnya. Meski bukan kamar utama yang memiliki luas seperti miliknya, tetapi ruang tidur itu tak kalah mewah.

"Bhi?"

Tak ada jawaban.

"Bhi, kamu tidur? Habis makan nggak boleh tidur, loh." Chivar berseru sambil mengetuk daun pintu dengan ukiran bunga. Kebetulan yang menarik, karena ia baru tahu dari Devan kalau wanita itu menyukai bunga.

Masih tak ada jawaban, Chivar memilih membuka pintu kamar yang tak terkunci. Melihat Webhi yang ternyata asyik melamun di balkon.

"Bhi?" Berjalan mendekat, Chivar mendapati dengkusan lirih dari wanita yang sama sekali tak menoleh padanya. "Kamu marah? Ck, kekanakan banget, sih!"

Kini Webhi menoleh dengan tatapan kesal bercampur tak terima. "Mau apa?!"

"Di luar ada sekertaris kakak kamu, katanya ... astaga!" Chivar terkejut saat wanita pendek itu berlari sambil mendorong bahunya kasar. "Kadang kayak nenek lampir, kadang kayak bocah. Emang kadang-kadang banget jadi istri," gerutu Chivar sambil menggantikan posisi Webhi yang berdiri di dekat pembatas balkon berbahan kaca tebal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top