14• Rindu Tak Tahu Malu


Ketukan kedua di daun pintu bercat putih gading itu, disambut jawaban lembut dari sang pemilik ruangan. Setelah menghela napas panjang, perlahan Webhi putar knop besinya, lalu melangkah masuk saat benda berbahan kayu tersebut terbuka lebar hingga menampilkan seorang wanita yang sedang asyik membaca buku di atas tempat tidur.

"Papah di mana, Mah?"

Menutup buku bacaannya, Lulu mengernyit sambil melepas kaca mata. Kemudian, menepuk sisi yang kosong agar sang anak yang mulai berjalan mendekat bergabung bersamanya.

"Papah di kamar mandi," kata Lulu sambil mengulas senyum tipis saat Webhi sudah duduk di sampingnya. "Kenapa, Bhi?"

"Nggak apa-apa." Tertular senyum tulus di iras ayu wanita baya itu, Webhi memilih beringsut ke dalam pelukan sang ibu.

Perasaan dilema benar-benar mengganggunya. Tadi pagi Chivar memberi ultimatum tegas tentang kepindahan yang selalu ditunda-tunda selama seminggu ini, harus dilaksanakan besok pagi. Webhi sudah tak bisa berkelit lagi. Pria itu benar-benar marah dan mengancam akan tidur di atas ranjang yang sama jika ia masih tak mau menuruti ajakannya pindah ke rumah baru. Rumah yang memang sudah dibangun sejak lama. Katanya sudah tak sudi harus lebih lama tidur di atas sofa.

"Mah, aku boleh tanya sesuatu, nggak?"

"Tanya apa, Sayang?"

Bergeser untuk menyamankan posisi tubuhnya, Webhi bersandar pada lengan sang ibu. Lantas menghela napas lebih dalam sebelum mengembuskannya pelan. "Mamah kenapa suka banget sama Chivar? Mamah pasti punya alesan kan, kenapa pilih jodohin aku sama dia?" tanyanya lembut.

"Kenapa, Bhi?" Lulu bergerak mundur. Mengajak putrinya duduk berhadapan agar bisa melihat raut wajah Webhi. "Kalian ada masalah?"

Webhi menggeleng pelan. Meringis tipis mendapati kekhawatiran wanita itu. Pernikahannya yang baru berusia sepekan bukan tak ada masalah karena jika dijabarkan, setiap menit yang ia dan Chivar lewati dalam ruang yang sama pasti ada saja pertengkaran verbal. Penyebabnya sepele. Setiap malam mereka masih meributkan tentang lampu yang harus dinyalakan atau dimatikan.

Tentang berebut kamar mandi, tentang kebersihan kamar yang selalu dilanggar Chivar, juga tentang suhu AC yang tak sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Banyak sekali perdebatan yang Webhi yakini, ia akan memiliki penyakit hipertensi jika bicara dengan Chivar lebih dari satu jam dalam sehari.

Untung saja, ketakutan yang Webhi rasakan sejak malam pertama tak pernah terjadi, Chivar memang benar-benar memegang ucapannya sampai saat ini. Namun, ia mulai jengkel karena pria itu belum juga menjatuhkan pilihan hingga membuatnya terus kepikiran.

Tersenyum melihat kegugupan putrinya, Lulu menepuk pelan punggung tangan Webhi. Memberi ketenangan pada wanita yang sejak tadi sore sibuk mengemas pakaian untuk tinggal di rumah baru. "Karena Chivar bener-bener sayang banget sama ibunya. Sama saudara-saudaranya."

Kembali fokus pada wajah yang sudah memiliki kerutan halus di sudut mata, Webhi memilih mengangguk saja. Saat resepsi pernikahan, sekilas ia memang melihat bagaimana Chivar mengobrol akrab dengan ibunya, bersenda gurau dengan kedua adik kembarnya yang kebetulan seusia dengan Devan, dan berbicara santai pada para tamu undangan yang seolah mengabarkan kalau pria itu memang orang yang menyenangkan. Namun, untuk saat ini Webhi masih tak yakin pria itu baik.

"Pria yang bisa menghargai ibunya dan menyayangi saudara perempuannya, dia pasti bisa memperlakukan baik istrinya, Bhi. Seperti Papah."

"Eh, ada apa nih? Papah kok, ngerasa disebut-sebut." Pria yang baru saja selesai dengan urusan kamar mandi, mengambil alih atensi dua wanita yang sontak menoleh padanya. Yazir mengernyit melihat dua wanita penghuni rumahnya menyorot dengan tatapan berbeda.

Jika sang istri menatapnya lembut dengan seulas senyum tulus, maka putrinya memberi sorot gelisah yang membuat ia berjalan untuk bergabung dengan mereka.

"Kenapa, Bhi?" Suara berat Yazir kembali mengisi ruangan yang sempat hening beberapa detik. "Kamu belum siap pindah, ya?"

Tanpa basa-basi kepala Webhi mengangguk pelan. Pria di depannya punya intuisi yang tajam tentang anak-anaknya. Jadi, Webhi rasa percuma menutupi kegundahannya pada pria baya itu.

"Apa perlu papah bicarain ini sama Chivar?" tawar Yazir serius.

Webhi terdiam. Ia tak tahu, apa meminta bantuan ayahnya untuk membujuk Chivar menunda kepindahan adalah ide bagus? Sepertinya tidak.

"Bhi ...." Pria itu melempar senyum tulus setelah memanggil putrinya. "Setelah menikah seorang istri wajib mengikuti suaminya. Meski kamu pergi dari rumah ini, kamu tetap anak Mamah sama Papah dan rumah ini masih jadi rumah tempat kamu pulang. Pernikahan itu bukan tentang satu orang, ada dua pemikiran yang harus mencapai kesepakatan. Papah tahu, kamu nyaman banget di sini tapi bagaimana dengan suami kamu? Kalian nggak bisa hanya membuat salah satu dari kalian nyaman sementara yang lain punya tujuan."

"Pah ...."

"Papah tahu kamu sama Chivar masih dalam masa perkenalan. Tapi papah yakin, dia akan memperlakukan kamu dengan baik." Tangan Yazir terulur untuk menepuk pelan bahu sempit sang anak. "Dia udah janji sama Papah."

***

Setelah mendengar petuah menenangkan dari kedua orang tuanya, Webhi kembali ke kamar. Duduk di tepi kasur sambil memandangi layar ponsel yang menampilkan obrolan dalam aplikasi WhatsApp. Sudah lama sekali tak ada chat baru yang masuk dari nomor itu.

Dengan hati yang mulai bergemuruh gelisah, Webhi ketik beberapa pesan yang menyampaikan kerinduannya pada sang pujaan. Berharap bisa membaca panggilan 'Bhie' yang selalu membuatnya tersenyum. Dan semoga saja pria itu tak berpikir dua kali untuk langsung menghubunginya saat ini.

Webhi.
Mas Ardaf, aku besok pagi pindah.

Webhi.
Mas sibuk banget, ya? Kayaknya sampai sekarang aku belum dapat kado pernikahan.

Webhi.
Gimana kalau kadonya diganti sama kedatengan Mas besok pagi?

Webhi.
Atau makan siang bareng? Nanti aku dateng ke kantor kalau Mas mau.

Webhi.
Mas?

Webhi.
Aku kangen.

Setelah pesan terakhir berhasil terkirim dan hanya terbaca tanpa ada tanda-tanda balasan, linangan air mata yang tak Webhi sadari terjun bebas membasahi pipi. Rasanya masih sama pedih. Rindu tak tahu malu yang bercampur pilu masih membuat dadanya sesak. Tertunduk menyembunyikan tangis dari langit malam yang menonton di balik jendela kaca, Webhi terisak kecil. Sampai suara derit pintu yang terbuka disusul langkah yang kian mendekat, membuatnya terkesiap dan menghapus air mata cepat.

"Aku bilang sama Cecep berangkatnya jam sepuluh pagi. Orang-orang yang aku suruh buat bikin taman di halaman belakang udah konfirmasi kalau pekerjaan mereka sedikit lagi beres. Mungkin besok masih ada tukang yang lalu lalang."

Bukan dijawab dengan nada ketus dan dingin seperti biasa, Chivar yang baru saja memasuki kamar setelah pulang bekerja mengernyit heran. Wanita dengan dress rumahan berwarna putih itu melenggang pergi menuju kamar mandi. Bahkan tak menoleh sama sekali padanya yang sudah berdiri di dekat ranjang.

***

Dengan sorot mata yang angkuh, Grace lempar ponsel Ardaf ke atas meja restoran. Hingga suara benda canggih yang berbenturan pada benda berbahan kayu mahoni itu menarik perhatian beberapa orang di sekitarnya. Ia baru saja menghapus pesan yang masuk ke dalam alat komunikasi itu. Dengan emosi yang mulai naik, Grace mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Melipat tangan ke bawah dada sambil menatap tajam benda yang baru saja ia buang.

Grace dan Ardaf sedang ada di sebuah restoran mewah. Melakukan kencan romantis yang selalu tertunda karena kesibukan masing-masing. Ardaf masih di toilet saat pesan dari adik angkatnya bermunculan di layar ponsel dan Grace yang tak sengaja membaca nama si pengirim, langsung bergerak menyambar benda itu untuk membaca isi pesan tersebut.

Tanpa berpikir dua kali, ia hapus semua pesan-pesan menjengkelkan Webhi yang mudah sekali membuatnya marah. Padahal hanya karena ada kata 'kangen' dalam ketikan yang dikirim wanita itu.

"Udah selesai?"

Kemudian, raut amarah dan angkuh yang tadi sempat membuat orang di sekitarnya berbisik-bisik, berganti dengan senyum manja saat pria yang saat ini mengenakan kemeja cokelat susu duduk di hadapannya. Grace tatap pria itu dengan senyum yang membuat kernyitan samar di kening Ardaf muncul.

"Aku tanya kamu udah selesai makannya? Eh, kenapa senyum-senyum begitu?"

"Nggak apa-apa. Malam ini aku seneng banget." Lalu tanpa ragu, Grace meraih tangan Ardaf yang ingin memeriksa ponsel. "Aku udah selesai, sekarang kita pulang aja, ya?"

"Oh, oke."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top