13• Pasangan Beda Rasa
"Kira-kira kalau aku dorong kamu dari belakang endingnya bakal romantis nggak ya, Bhi?" Seraya berujar, Chivar membawa tungkainya menuju wanita yang duduk di pinggir kolam.
Webhi memang tak terkejut berlebihan atau sekedar menoleh untuk mencari tahu siapa pemilik suara. Namun, gerak kakinya refleks berhenti saat mendengar derap langkah mendekatinya. Sekian detik kemudian Chivar sudah berdiri di sampingnya.
"Habis nelepon pacar, ya? Mungkin aja kamu baru sempet putusin dia sekarang karena perjodohan kita. Eh, tapi kayaknya nggak mungkin kamu punya pacar. Kan, kamu yang maksa aku terima perjodohan ini." Chivar memilih berdiri sambil melipat tangan di bawah dada. Tatapannya jatuh pada riak air kolam yang memiliki luas sekitar 20x20 meter. Tak hirau dengan wanita yang mendelik tajam sebelum mendengkus kasar.
"Selain takut gelap, ternyata kamu juga suka nguping, ya? Pantas telinganya lebar!" Setelah membuang pandangan ke arah air berkaporit, Webhi beranjak dari posisinya.
Ck, sialan! Baru lempar satu kalimat aja udah bikin jengkel, batin Chivar menggerutu. Harusnya ia tak terkejut saat Webhi yang saat ini sibuk memakai sandal sambil menyambar ponsel yang tadi sempat tergeletak di pinggir kolam, bicara demikian.
"Mamah nunggu kamu buat sarapan!" imbuhnya lagi dengan nada setengah kesal. "Oh, iya. Kamu bilang banyak hal yang perlu kita bicarain?" Lalu berjalan bersisian dengan Webhi yang mulai meninggalkan lokasi kolam renang.
"Hm, banyak. Tapi kita nggak bisa bicarain itu di rumah."
"Terus?" Kembali memasukkan tangan pada saku celana, Chivar menoleh pada gadis yang baru ia sadari hanya memiliki tinggi sebatas ketiaknya saja. Serius segini doang? Pendek banget jadi cewek.
Dasar tak tahu diri. Padahal bukan Webhi yang terlalu pendek, melainkan tinggi tubuhnya yang melampaui rata-rata orang Indonesia. Chivar memiliki tinggi sekitar 187cm. Di antara para sahabatnya, dialah yang sering kesulitan memilih ukuran celana.
"Di toko aku aja. Bagaimana?" Webhi mendongak setelah menoleh untuk melihat secara langsung respons pria yang saat ini mengangguk pendek.
"Tapi kamu harus nunggu giliran," balas Chivar santai. Mereka mulai memasuki rumah melewati pintu belakang yang jaraknya tak terlalu jauh dengan ruang makan. "Semalam Papah juga bilang mau bicarain sesuatu. Gila, ya?! Baru sehari tinggal di sini aja aku udah jadi rebutan." Lalu terkekeh mendengar decak lirih dari wanita di sampingnya.
"Tapi, Chi ...." Webhi berseru sambil menghentikan langkahnya. Pria di sampingnya pun refleks berhenti dengan kening mengernyit kebingungan. "Kamu hati-hati aja kalau lagi ngobrol sama Papah. Jangan keliatan banget bodohnya kayak lagi ngobrol sama aku. Juga jangan sampai mulut kamu bocor tentang perjanjian kita, soalnya Papah orang paling peka di rumah ini. Biasanya tahu hal yang kadang disembunyiin anak-anaknya."
Belum sempat Chivar menyahut dengan serangkaian protes yang sudah ada di ujung lidah karena dikatai bodoh, Lulu yang kebetulan melihat mereka berdiri di lorong menuju ruang makan, langsung memanggil untuk segera sarapan. Tak perlu menunggu respons Chivar yang tampak kebingungan, Webhi memilih memutar tubuh dan berjalan meninggalkan pria yang saat ini mendengkus kesal.
Namun, jika Webhi memiliki sifat alami yang suka blak-blakan maka Chivar ahli dalam tingkah menyebalkan. Ah, kalau diperhatikan sifat mereka memang sama saja.
"Kamu tenang aja, Bhi." Pria itu berbisik saat langkahnya menyamai ayunan kaki pendek Webhi menuju meja makan. "Apa perlu aku bahas tentang honeymoon kita sama Papah dan Mamah? Mamah sih, yang pasti setuju banget sama usulan ini. Bagaimana?" Setelah melempar seringai terbaiknya, Chivar melenggang pergi meninggalkan Webhi yang refleks berhenti saat kata bulan madu meluncur dari bibirnya.
Yes! Kesel kan, lo?! batin Chivar girang.
Sepanjang waktu sarapan dengan menu lengkap di atas meja itu terjadi, Webhi tak henti melempar tatapan tajam saat Chivar memulai obrolan dengan ibunya. Berharap sorot mematikan dari manik karamelnya bisa menembus otak kecil di dalam kepala Chivar yang sepertinya memang sengaja membuat dirinya kesal. Karena setiap kali pria itu selesai bicara, lirikkan menyebalkan dan seringai tipis selalu muncul di wajah bodohnya.
Ck! Apa katanya tadi, bulan madu? Bahkan dalam mimpi pun Webhi tak mengharapkannya.
***
Ada momen di mana kita bahkan tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Saat gundah yang menyelinap samar ke dalam hati, nyatanya mampu membuat diri frustrasi berhari-hari. Sialnya, meski sudah berusaha mengenyahkan kerasahan yang ada, tetapi masih tetap saja mencari apa penyebabnya.
Seperti sekarang ini. Setelah dua hari berlalu, Ardaf masih menemukan dirinya tenggelam dalam emosi yang menggebu. Tak mengerti kenapa ia begitu kesal, setiap kali pembahasan pernikahan yang sering ia dengar di sekumpulan para pekerja, kembali menyapa telinga.
Pernikahan Webhi seolah menjadi topik hangat di kalangan karyawan Startreas Group. Mereka tentu saja mengenal Webhi yang sempat bekerja selama enam bulan dengannya sebelum memilih membuka toko bunga untuk memulai usaha sendiri.
"Ardaf?"
Menoleh saat suara manis itu memanggilnya, Ardaf yang tertunduk di meja kerja tersenyum tipis melihat Grace memasuki ruangannya. Wanita itu memang memiliki akses bebas untuk memasuki kantornya. Tanpa perlu diwakili sekertaris yang biasanya akan memberi tahu terlebih dahulu jika ada tamu yang datang.
Ah, Grace bukan tamu di sini melainkan orang spesial. Wanita yang saat ini memakai dress hitam dengan reversible belt berwarna emas itu sudah duduk anggun di sofa. Rambutnya dibiarkan tergerai indah di sisi wajah sementara tas kecil yang baru saja diletakkan di atas meja, menjadi pemanis tampilan model jelita satu itu.
"Katanya ada pemotretan, ya?" Ardaf yang sudah duduk di samping kekasihnya tersenyum. Wanita cantik itu bersandar manja di lengannya sebelum mengembuskan napas kasar.
"Baru selesai." Grace tersenyum saat merasakan lengan Ardaf melingkari bahunya. "Kamu kapan selesai? Aku tadi minta Ness anterin ke sini biar bisa pulang bareng kamu," sambungnya sambil menyinggung nama asisten pribadinya yang sempat kesal karena mau tak mau harus putar balik saat ia ingin bertemu kekasihnya.
"Udah selesai, kok." Melirik jam yang menunjukan pukul 18:25 WIB, Ardaf mengusap pelan rambut hitam yang sebagian jatuh di dadanya. "Mau pulang sekarang?" Melepas rengkuhannya, lalu kembali membelai helaian berkilau itu sekilas sebelum beranjak membenahi sisa pekerjaannya di atas meja.
"Hari ini bagaimana pemotretannya, Grace?" Sambil memasukkan berkas ke laci kerja, Ardaf memulai obrolan santainya.
"Seperti biasa. Cuma fotografer kali ini agak rewel, aku kurang suka." Bangun menghampiri Ardaf yang memakai kembali jas yang tergantung di stand hanger, tangan Grace memeluk tubuh kekar itu dari belakang. Menempelkan pipi pada punggung sang kekasih yang sedikit terkejut sebelum mengeluarkan kekehan kecilnya.
"Capek banget, ya?" Memutar tubuh, Ardaf bawa wanita itu ke dalam pelukan hangatnya. Membubuhi kecupan singkat pada puncak kepala Grace sambil mengusap bahu yang tak tertutupi bahan baju model sabrina.
Grace mulai membaui aroma khas kekasihnya sambil memejamkan mata. Pelukan Ardaf memang paling nyaman. "Capek banget. Aku kalau udah nikah mau pensiun ajalah jadi model."
Ardaf mengernyit, tak biasanya Grace menyinggungnya. Kata pernikahan sangat jarang sekali keluar dari mulut wanita ambisius dan berperinsip itu. Berdeham saat ada perasaan tak nyaman menyelinap masuk ke hati, Ardaf lepas pelukannya dan menangkup wajah cantik yang menjadi langganan sampul setiap majalah terkenal.
"Kenapa nunggu nanti, sih? Sekarang kalau kamu mau resign dari dunia modeling juga nggak apa-apa, Sayang. Ada aku kalau kamu takut."
Mendengkus sambil memberi jarak pada tubuh Ardaf, Grace mulai kesal dengan sikap santai pria itu. Kemudian, terkejut saat Ardaf berjongkok di depannya dan membuka tali sepatu ankle starp yang memiliki heels setinggi 7cm.
"Lain kali, kalau udah selesai pemotretan kamu ganti sama sepatu yang biasa, ya. Kasian kaki kamu pasti pegel jalan di atas benda setinggi menara Eiffel ini," gurau Ardaf mencoba mengusir obrolan sensitif yang sepertinya akan terjadi.
Lihatlah! Bagaimana mungkin Grace yang emosinya mulai naik, seketika luluh dengan sikap hangat pria yang sejak SMA sudah bertahta di hatinya. Dengan cekatan pria itu menyambar sepatu di bawah meja, membantunya mengenakan alas kaki yang pasti akan kebesaran saat dipakai.
"Sudah. Sekarang kita pulang, ya?" tutur Ardaf lembut sambil berdiri. Lantas tersenyum saat wanita yang beberapa waktu lalu mulai terlihat muram, ikut tersenyum dan kembali bergelayut manja di lengannya.
"Pulang ke tempatmu, ya?"
Dan Ardaf hanya mengangguk saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top