10• Boleh Aja, Sih.
Acara pernikahan yang dihadiri kurang lebih 1000 tamu undangan, sudah berakhir beberapa jam lalu. Tepat saat waktu menunjukan pukul 16:30 WIB. Sekarang hanya menyisakan orang-orang yang mulai berlalu lalang membereskan segala sampah dekorasi yang dipakai melengkapi acara.
Ada beberapa kerabat yang belum pulang. Mereka yang datang dari jauh, memilih berbincang hangat dengan tuan rumah sebelum kembali ke hotel yang sudah dipesan.
Keluarga Adhitama sendiri sudah pulang sekitar satu jam lalu, tentu saja Chivar menjadi pengecualian. Selain menjadi anggota baru dalam keluarga Andreas, saat ini pria yang telah menanggalkan jas dan menyisakan kemeja putih yang lengannya tergulung sampai siku sedang mengobrol asyik dengan para sahabatnya.
Duduk di kursi taman yang dekat dengan kolam ikan. Chivar, Adam, dan Wira sedang menikmati beberapa cangkir minuman hangat juga dingin. Tak lupa dengan camilan ringan dan kue yang disediakan pelayan.
"Var, lo beneran nggak punya wine atau amer gitu? Kembung dari tadi gue minumin sirop mulu. Ya, kali nemenin pengantin berasa lagi bukber. Untung si Adam nggak baca doa Allahuma laqasumtu," kata Wira setelah meminum es sirup rasa pandan berisi potongan buah di dalamnya.
"Nggak usah ngada-ngada lo, Setan! Mertua gue kehidupannya lurus. Nanti kaget liat mantunya kobam."
Wira terkekeh geli mendengarnya. "Ciee ... yang udah punya mertua."
Sementara itu, Adam yang memang lebih waras dari mereka bertiga hanya menggeleng heran. Ia lirik jam tangannya yang sudah menunjukkan waktu malam sebelum menikmati minuman hangat yang disediakan.
"Jadi lo belum pilih syarat apa pun, Var?" Pria manis dengan kemeja abu itu mulai bersuara. Adam bersandar santai di punggung kursi sambil menatap Chivar yang beberapa jam lalu sudah berganti status.
Menggeleng sambil melihat para pekerja membongkar pelaminannya, Chivar menoleh ke arah lelaki yang tadi bertanya. Kemudian, berbisik setelah mengawasi sekeliling. "Gue sama Webhi nikah karena terpaksa. Bahkan gue nggak tahu apa si Maleficent bakal niat lanjut atau nggak sama pernikahan ini. Tapi gue udah pasti pilih open relationship, sih."
Adam hanya mengangguk menanggapinya. Tadi saat memberi selamat pada Webhi, tatapan wanita itu tampak sendu. Meski sebenarnya tak heran mendengar dari Chivar kalau mereka memang dijodohkan. Hanya saja ia tak menyangka jika Webhi benar-benar enggan menutupi raut pasrahnya. Wanita itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu.
"Sekarang gue sama Wira mau balik, lo nggak apa-apa kan, kita tinggal?" imbuh Adam lagi.
"Ya, nggaklah anjir!" Chivar berucap dengan nada setengah kesal. Kemudian, menatap jahil dua pria di seberangnya. "Atau kalian mau tidur di sini? Temenin gue belah duren," kelakarnya yang dihadiahi dengkusan kasar oleh Wira.
"Ngapain gue tidur di sini, mau denger ah-eh-oh lo sama Webhi? Tapi nggak mungkin, sih. Lo kan, lagi disapih." Wira mencibir tanpa ragu sebelum mengeluarkan tawa membahana.
"Sialan!" balas Chivar sewot, lalu sudut bibirnya terangkat membentuk seringai tipis. "No problem, sih. Gue udah salurin dua hari yang lalu."
"Bajingan!"
"Bangsat!"
"Asu!"
"Wedus!"
"Gembel!"
"Kampret!"
Makian Adam dan Wira saling bersahutan. Hal itu justru membuat tawa Chivar mengudara lebih keras.
"Udahlah! Dam, ayo kita pulang! Si Chivar makin nggak waras kalau ditemenin." Wira bangun dari kursi sambil menepuk bahu sepupunya. "Kasian juga anak lo kalau ditinggal kelamaan."
Adam yang ikut bangun mengernyit kebingungan. Sama seperti Chivar yang kini berdiri di sampingnya. "Anak apaan, Sarap. Jangan ngaco lo, ya!" hardiknya tak santai.
Wira menyengir mendapati emosi pria yang memang sangat mudah terpancing. Anehnya, ia merasa senang saat melakukan hal itu meski tak jarang imbalannya sebuah pukulan. "Tadi kan, kita lewat gedung pesantren. Terus ada baliho yang tulisannya. 'Mari bersama, kita tanamkan akhlak mulia pada anak cucu Adam' gue kira itu anak lo, Dam." Dan benar saja, pukulan keras mendarat mulus di bahunya.
Chivar tertawa mendengar hal itu sementara Adam mulai berdoa. Jika diberi kehidupan setalah mati maka jangan beri ia sepupu seperti ini lagi. Ya, cukup di kehidupan ini ia dibuat darah tinggi oleh saudaranya sendiri. Sebenarnya, Chivar terkadang jadi salah satu pemicunya. Jadi, apa Adam akan menambahi doanya agar tak dipertemuakan Chivar jika memang manusia hidup lebih dari sekali?
Ah, Entahlah! Meski begitu Adam tak membenci hubungan yang sudah terbentuk sejak mereka masih sangat kecil.
"Ya, udah. Hati-hati di jalan, ya! Inget, kalian belum pada nikah!" seru Chivar dengan nada sombong sambil berjalan mengantar dua pria yang salah satunya berdecak kasar.
"Terima kasih atas perhatiannya wahai pengantin yang sudah tak perjaka lagi," balas Wira dengan suara dibuat-buat. "Lagian gue mau ke suatu tempat setelah ini. Iya kan, Dam?" Lalu merangkul santai bahu Adam yang hanya berdecak lirih menanggapi ucapannya.
"Udah malem! Mau ke mana lagi lo?" ketus Adam dengan perasaan rancu saat seringai menyebalkan terbentuk nyata di wajah Wira.
"Kita mampir ke rumah janda bohay bentar yuk, Dam!"
"Najis!"
Setelah itu Chivar kembali tergelak tawa. Tepat saat mereka sampai ke parkiran. Selain waras, Adam juga satu-satunya pria baik, sopan, solidaritas, dan paling berdedikasi di antara mereka bertiga meski cara bicaranya sudah terkontaminasi karena sering bergaul dengan ia dan Wira.
Sebenarnya tak heran jika dua pria yang masih memiliki hubungan keluarga itu punya kepribadian yang berbeda. Ayah Adam yang merupakan kakak dari ayahnya Wira adalah seorang pemuka agama sekaligus kepala sekolah di kota asalnya, Aceh.
Berbanding terbalik dengan orang tua Wira. Ayahnya membuka klub malam di Jakarta sementara ibunya menjadi wanita sosialita yang sering wara-wiri mengisi acara unfaedah dengan para istri pengusaha.
Setelah melihat dua sahabatnya pergi dengan mobil yang sama, Chivar mulai memasuki rumah lewat pintu belakang yang tak jauh dari tempatnya berada. Di pintu utama, para pekerja yang disewa masih sibuk membersihkan halaman rumah.
Meskipun mudah bergaul dan tengil, Chivar masih merasa sungkan memasuki kediaman yang baru dua kali ia kunjungi. Sekarang ia mulai jengkel pada Webhi karena lima belas menit lalu, ia sudah mengirim pesan singkat pada wanita itu. Mengabarkan kalau sahabatnya akan pulang dan menyuruhnya turun untuk berpamitan. Walaupun Wira dan Adam tak meminta.
Jadi, itu hanya alasannya saja. Chivar masih malu dan sedikit bingung karena masih sangat asing di rumah besar Andreas. Lantas, langkah lebarnya yang sengaja ia pelankan berhenti ketika pria yang mulai hari ini menjadi ayah mertuanya memanggil santai.
"Iya, Om?" jawab Chivar tepat saat beberapa langkah lagi menuju tangga. Tadi ia sempat diberitahu oleh pemuda yang menjadi adik iparnya kalau kamar Webhi ada di lantai dua.
"Panggil Papah aja, Var." Yazir yang baru selesai membersihkan diri setelah berbincang hangat dengan sanak saudara, berdiri mantap di hadapan sang menantu. "Temen-temen kamu sudah pulang?"
Sebenarnya banyak sekali yang ingin Yazir bicarakan. Namun, tidak untuk malam ini. Ia mengerti pria yang ada di depannya pasti letih dengan serangkaian acara yang melelahkan hari ini. Sama sepertinya.
"Oh, itu. Sudah, Pah." Chivar tersenyum tulus menatap wajah berwibawa di depannya. "Kenapa, ya?"
"Sebenernya ada yang mau Papah bicarain. Cuma nggak sekarang, kamu pasti capek."
Eh, mau ngomong apa nih, orang tua? Apa jangan-jangan minta cucu? Bisa aja ya, kan? Secara anaknya baru Webhi doang yang nikah.
"Eh, sekarang juga nggak apa-apa, Pah. Aku belum terlalu ngantuk. Webhi udah bilang mau tidur duluan karena katanya capek banget."
Bohong!
Chivar berbohong. Bahkan setelah mengantar keluarganya pulang, ia tak bertemu Webhi lagi. Wanita itu seperti hilang ditelan bumi. Ya ... bumi dalam selimut mungkin. Benar-benar tak peduli dengan keberadaannya. Menjengkelkan sekali, bukan?
"Mau ngomong apa, Pah?" Chivar membalas santai. "Kalau mau minta cucu, bujuk jelmaan Maleficent pake apa coba? Eh, emangnya gue mau gitu?" batinnya bingung sendiri.
"Nanti aja kita bicaranya, jangan terlalu dipikirin. Anggap aja ini rumah kamu, Var. Jangan sungkan kalau mau minta sesuatu. Tanya Papah atau Mamah kalau Webhi lagi nggak ada. Jangan malu." Pria itu menepuk bahu Chivar dengan gerakan tegas. "Sekarang istirahat aja. Kamu udah tahu kamar Webhi, kan?"
"Oh, iya, Pah. Tadi udah dikasih tahu sama Webhi."
Bohong lagi.
Sialan! Kenapa Chivar jadi gugup begini, sih? Tangannya spontan menggaruk tengkuk yang tak gatal sambil menghindari tatapan pria yang memakai kaca mata transparan. Devan memang memberitahu kalau kamar Webhi di lantai dua, hanya saja tak mengatakan lebih rinci keberadaannya. Sementara rumah bak istana itu tak mungkin memiliki satu kamar di lantai atas sedangkan lantai pertama saja begitu luas.
Ah, masa bodohlah! Masa iya sih, gue minta antar mertua ke kamar Webhi. Ck, malu-maluin aja, gerutu Chivar dalam hati. Lagi pula keluarga itu hanya memiliki satu anak gadis, bukan? Jadi, seharusnya tak berisiko jika Chivar salah masuk kamar.
"Ya udah, kalau gitu papah juga mau istirahat."
Setelah menepuk bahu Chivar lagi, Yazir melenggang pergi menuju kamarnya yang memang ada di lantai bawah. Sedangkan Chivar yang mulai berjalan menaiki anak tangga, merasa kebingungan dan kesal sendirian.
Sialan! Kenapa gue kayak orang bego gini, sih. Si Webhi juga, bukannya muncul buat jemput suaminya malah hilang gitu aja. Mana nggak ada pembantu yang lewat pula. Masa iya, gue harus ketuk satu per satu kamar di lantai dua. Kan, asu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top