1• Pertemuan

PROLOG


Malam itu, di dalam restoran mewah. Pertemuan dua keluarga menjadi awal percakapan intim tentang sebuah pernikahan.

Lebih tepatnya sebuah perjodohan.

Azalea Webhi Andreas, wanita berperangai kaku dan masa bodoh yang tak pernah membayangkan ikatan pernikahan dalam tali perjodohan, terpaksa menyetujui rencana itu untuk suatu alasan yang tak bisa ia sebutkan.

Lantas, di seberang meja yang menghidangkan makan malam istimewa, seorang pria bernama Sigit Chivar Adhitama tampak tergoda dengan gagasan orang tuanya. Pria itu tak segan melempar senyum jemawa sambil menatap wanita yang sejak awal tak mengeluarkan ekspresi apa pun, kecuali diam dengan sejuta pemikiran.

Hal yang membuat Chivar penasaran untuk mengenal lebih dalam sosok anggun yang jelas membangun benteng tinggi pada siapa pun yang mendekatinya.

Meski sebenarnya ia sadar betul perjodohan itu menjadi solusi bagi masalahnya.

_____________________

Pertemuan
_____________________

Panas matahari yang menyinari sebagian belahan bumi, tak menyurutkan langkah tegas seorang pria berkemeja cokelat dengan helm proyek di kepalanya. Chivar berhenti saat sampai pada salah satu bangunan yang berdiri di atas tanah seluas dua hektare lebih. Dua tangan kekarnya menumpu di antara perpotongan pinggang, sementara telinganya fokus mendengarkan mandor proyek menjelaskan sudah sejauh mana bisnis propertinya berkembang.

Sudah ada 50 unit rumah siap huni dengan masing-masing memiliki dua kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang keluarga yang cukup untuk meletakkan dua sofa panjang beserta meja ukuran sedang.

"Pak!"

Dua pria yang mendampingi Chivar ikut menoleh saat sopir yang ditugaskan menunggu di kantor sementara, memanggil dari kejauhan.

Cecep Saripudin, pria berusia 40 tahunan itu tampak terengah saat sampai pada majikannya. Mengatur napas yang tersengal, lelaki berperawakan tambun dengan tinggi tubuh kurang dari 160cm itu berjongkok kelelahan. Tak peduli meski ditatap heran oleh ke tiga pria di depannya.

"Ngapain, sih, lari-lari? Nggak sadar diri badan udah kayak tong minyak."

Cecep menegakkan tubuhnya sebelum menyengir mendengar ucapan pria yang memang lebih mengutamakan fakta daripada menjaga perasaan. "Itu ... anu, Pak."

"Kenapa anu kamu?" Chivar kembali menatap para tukang. Mereka sedang sibuk mengangkat besi di salah satu bangunan yang niatnya akan dibuat gazebo. "Pakai helmnya! Hei! Utamain keselamatan kerja! Safety! Inget APD!¹" teriaknya saat melihat pekerja yang tak memakai helm di kepala.

Sementara itu, dua pria di sisi Chivar yang masih melihat sang sopir mengatur napas sedang menyembunyikan tawa gelinya. Kemudian, berdeham pamit untuk memeriksa para pekerja yang ada di depan mereka.

Cecep mengambil posisi di samping pria yang sudah 10 tahun lebih menjadi bosnya. "Pak bukan tentang anu saya, tapi anu Bapak," katanya dengan logat sunda yang kental.

Chivar tak acuh. Masih mengedarkan pandangan pada bangunan-bangunan yang belum rampung sebelum menoleh pada pria yang wajahnya basah karena keringat.

"Anu saya? Kenapa sama anu saya, Cep?" balasnya asal sambil berjalan menjauh dari lokasi tersebut. "Atur napas dulu, Cep. Baru ngomong! Kamu yang lari saya yang sesak napas."

Pria dengan seragam hitam itu menurut. Cecep kembali mengatur napas sambil mengikuti langkah pria di depannya sebelum memulai percakapan kembali. Hingga tinggal beberapa meter menuju kantor sementara yang berdiri di tengah pembangunan resort, ia kembali berujar, "Ada perempuan cari Bapak."

Chivar mengernyit, menyilangkan dua tangan ke belakang badan sambil terus berjalan santai. "Perempuan, cakep nggak?"

Cecep yang sudah sangat terbiasa meladeni ucapan pria tinggi itu, hanya mengangguk meski Chivar tak memperhatikannya.

Pria muda berlesung pipi itu justru lebih tertarik dengan perumahan berwarna hijau muda yang berbanjar rapi di sisi kiri dan kanan mereka. Di antaranya sudah berpenghuni. Mereka para penghuni yang kebetulan ada di beranda, menyapa seraya tersenyum ramah.

"Cakep, Pak. Bening banget kayak Nyonya Belanda. Geulis pisan pokona mah²," sahut Cecep antusias.

Chivar kembali memberi atensi pada sopirnya yang sudah memiliki dua anak, lalu makin merasa penasaran dibuatnya. Lokasi yang ia kunjungi memang terletak tak jauh dari kantor sementara. Hanya butuh beberapa menit berjalan, bangunan bercat abu itu sudah terlihat dan memang ada mobil hitam yang terparkir di halaman kantor.

"Namanya Webhi, Pak," lanjut Cecep.

"Webhi?" Chivar memastikan dan saat Cecep menyahut iya tanpa ragu, senyum miring terakit jelas di wajahnya.

Langkah lebar Chivar dipercepat menuju bangunan kecil yang terdapat dua pohon palem di samping kirinya. Ia ingin memastikan apa benar itu wanita yang seminggu lalu bertemu dengannya dalam acara makan malam penuh kejutan?

Meletakkan helm pada loker yang tersedia di depan kantor, Chivar berjalan menuju keran untuk mencuci tangan. Benar saja, lewat jendela kantor matanya menangkap siluet wanita mungil yang duduk tegak di sofa. Wanita itu menatap sekeliling ruangan yang sebenarnya tak banyak kesan menarik. Hanya tempat air minum, sofa panjang dan single, denah lokasi pembangunan yang tertempel di tembok, serta meja berbahan kayu mahoni yang dilengkapi kursi putar tempat Chivar mengurus pekerjaan.

Chivar tersenyum setengah kagum melihat kefokusan wanita itu yang tak sadar saat dirinya masuk. "Oh ... hai?"

Lensa cokelat bening yang sejak pertemuan pertama menarik perhatian Chivar, mulai menyorotnya. Masih sama, tak ada ekspresi apa pun yang terlihat kontras di wajah wanita itu.

Webhi refleks berdiri. "Hai. Kamu lagi sibuk, ya?"

Suaranya terdengar lembut dan halus. Berbeda jauh dengan tampilan luarnya yang terlihat tegas dan cuek. Azalea Webhi Andreas, wanita berkulit putih yang menjadi anak angkat dari pasangan dermawan Yazir Andreas dan Lulu Andreas. Bertubuh mungil seperti rata-rata orang Indonesia dengan wajah oval yang dipercantik bulu mata lentik serta bibir manis tanpa polesan warna berani.

Manis, batin Chivar seraya mengangguk samar.

"Ya ... nggak bisa di bilang sibuk banget, sih. Cuma lagi kontrol para pekerja." Chivar duduk di single sofa setelah memberi gestur tangan mempersilahkan wanita itu kembali duduk. "Gue nggak nyangka bakal kedatengan tamu spesial. Ada apa, nih?" katanya sambil menatap wajah yang sepertinya tak pernah ia lihat ada senyum di sana.

Webhi tahu pria itu pasti bisa menebak maksud kedatangannya. Seringai tipis dengan sorot mata yang tampak terhibur sudah bisa menjelaskan hal itu. "Mau bahas masalah perjodohan kita."

"Oh," balas Chivar seolah tak tertarik. Pria itu mengangguk sebelum memeriksa ponsel dalam saku celana. Ia harusnya tak terkejut mendengar kalimat tanpa ragu yang keluar dari mulut kecil Webhi.

Harusnya!

"Kita cari tempat lain buat bicarain ini. Gue nggak biasa ngomongin hal pribadi di dalam kantor," sambungnya kembali menatap Webhi yang saat ini mengenakan blazer hitam dengan kaus polos berwarna senada sebagai dalaman.

Tampilan itu dilengkapi celana jin biru yang tampak pas memeluk kaki jenjangnya. Wanita itu menggerai rambut hitam sebahunya, membiarkan helai halus yang tampak berkilau menggantung manis di sisi wajah.

Mengangguk pendek, Webhi kembali bersuara. "Kamu ada rekomendasi tempat?"

Suara itu sebenarnya merdu, hanya saja nada yang lurus dan dingin membuat bunyinya menjadi tak manis untuk didengar. Chivar sempat berpikir, mungkin saja Webhi seorang operator di perusahaan telekomunikasi yang suka menyahut dalam panggilan telepon tak terjawab.

Mungkin aja ya, kan? kata Chivar dalam hati.

"Ada kafe di deket sini. Gue juga sekalian mau makan siang, sih." Chivar bangun, menyambar jaket kulit hitam yang tersampir di kursi putarnya untuk menutupi kemeja cokelat yang ia gunakan. Kemudian, melirik Webhi yang spontan memeriksa jam tangan.

"Iya, gue tahu ini bukan masuk jam siang, tapi jam sore," lanjutnya setelah selesai mengenakan jaket. "Nggak usah khawatir, ini makan siang ke dua gue, kok."

Webhi tak merespons apa pun selain diam dengan wajah tanpa ekspresi andalannya, lalu keluar bersama Chivar yang memberi saran untuk memakai mobilnya dengan alibi ribet jika harus membawa dua kendaraan pada tujuan yang sama.

***

Kafe The Cats tertulis di atas bangunan bergaya minimalis yang terdapat beberapa pohon hias berbaris rapi di dekat pintu masuk.

Seorang pemuda dengan seragam abu dan apron hitam bertulis nama kafe tersebut, menghampiri Chivar dan Webhi saat keduanya sudah duduk di kursi. Mereka memilih meja dekat dengan jendela besar transparan di pojok ruangan.

"Saya pesen potato herb wedges sama es amerikano." Chivar melirik Webhi yang baru saja menutup buku menu sebelum membuka suara untuk menyebutkan pesanan.

"Saya es amerikano aja."

Pelayan kafe itu mencatat dan mengangguk, lalu melenggang pergi dengan mengeluarkan beberapa kalimat formal dan senyum ramah.

Sebenarnya Chivar tipikal pria yang tak bisa berlama-lama dalam keheningan dan sepertinya, Webhi spesies manusia yang harus di pancing untuk membuka mulut.

"Kamu suka kopi juga?"

Webhi mengangguk. Tangannya berada di atas pangkuan saat menatap pria yang sedang bersandar pada punggung kursi. "Jadi, bagaimana keputusan kamu?" mulanya tanpa basa basi.

Ah, lama-lama Chivar sedikit risih mendengar kalimat baku dari wanita itu. "Menurut lo gimana tentang perjodohan kita?"

"Aku nggak pernah menganggap sebuah perjodohan itu awal yang baik, tapi aku pikir kadang semua hal yang terjadi di masa depan memang nggak bisa diprediksi oleh manusia." Webhi lempar tatapannya pada pemandangan jalan raya di balik jendela kaca. "Aku harap kamu terima perjodohan ini."

Chivar hampir saja membuka mulut lebar mendengar pernyataan wanita itu. Ia pikir Webhi akan memaksanya menolak perjodohan itu dengan berujar, kita nggak saling cinta, aku nggak bisa menikah sama pria asing tanpa adanya cinta. Maaf, aku mencintai pria lain.

Namun, siapa sangka? Sungguh di luar ekspektasi pemikiran wanita yang memiliki wajah putih cerah bak model iklan kosmetik asal Korea itu.

"Tapi, ada beberapa syarat dalam perjodohan ini. Jika kamu berkenan menerima maka syarat itu harus kita sepakati." Webhi kembali bersuara saat tak ada respons dari pria di depannya.

Wow ... menarik, batin Chivar.

Ia menyeringai tipis. Mencondongkan tubuh sebelum menumpu lengan pada meja kaca di depan, lalu menyorot mata yang saat ini menatapnya dingin. Ugh ... Chivar tak bisa untuk tak mengatakan kalau wanita yang sepertinya terlahir tanpa tahu cara tersenyum manis itu, terlihat begitu cantik dan menantang dalam waktu bersamaan.

"Syarat?" Chivar mengangguk setengah hati. "Syaratnya apa aja?"

"Ada beberapa syarat pranikah atau lebih tepatnya peraturan kalau kamu terima perjodohan kita."

Sudut bibir kiri Chivar terangkat skeptis. "Apa syaratnya kita nggak bisa tidur sekamar, gue nggak boleh nyentuh lo, kita cuma nikah sebatas di atas kertas. Halah! Persetan sama syarat-syarat model sinetron gitu," serunya mencemooh tanpa ragu. "Rugi dong gue, udah keluarin mahar nggak dapat imbalan."

Webhi kembali menatapnya tanpa ragu, tetapi Chivar bisa melihat dengan jelas tangan di atas pangkuan yang tampak dari balik meja berbahan kaca itu, makin terkepal erat. Ia harus memberi apresiasi untuk Webhi yang pintar mengendalikan ekspresi.

"Boleh." Webhi berucap dengan tatapan yang kembali mengarah pada pelataran kafe. "Kamu boleh lakukan apa pun yang kamu mau, asal setujui persyaratannya."

"Wow ...." Chivar berdecak kagum. "Jadi apa syaratnya?"

Menarik napas sebelum kembali menatap iris gelap yang tampak berbahaya dan jenaka, Webhi berujar yakin. "Gampang, kamu pilih setia dalam pernikahan atau open relationship. Pilih salah satu sebelum kita bahas konsekuensi dan aturan mainnya."

Chivar terdiam kebingungan hingga menimbulkan kernyit samar dalam ruang kosong di antara alisnya. Kemudian, kembali melempar punggung disandaran kursi dengan pemikiran yang mulai berspekulasi negatif.

"Jangan bilang kalau lo sebenernya udah gak perawan?"

_______

1. APD ( Alat Pelindung Diri)
2. Cantik banget pokoknya! (Geulis pisan pokona mah!)



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top