Hinggap Secara Istimewa
Gue dan Dharma sepakat buat makan di restoran all you can eat spesialis bakar-bakar daging. Dia yang ngajak sih tepatnya. Udah lama nggak makan daging sampe puas katanya.
Pas sampai, kita dapat kursi sofa untuk empat orang, and you kbow what? Dia duduk di sebelah gue dong.
Oh, lo semua mungkin nggak tahu ya, gue adalah tipe orang yang lebih suka duduk sebelahan daripada depan-depanan. Gue mending nggak bisa liat orang yang ngomong sama gue daripada nggak bisa denger dia ngomong apa.
Dulu sama Galang, gue susah. Galang paling males duduk sebelahan. Tapi giliran resto-nya ramai dan gue nggak bisa dengar dia ngomong, gue dimarahin terus.
Sebenarnya kebanyakan orang itu ya kayak Galang, makanya kaget pas tahu-tahu Dharma duduk di sebelah gue.
"Nggak sempit kan, Lish?" kata Dharma ke gue.
"Nggak kok, kan emang sebangku jatahnya berdua," jawab gue cepet. Mata kami nggak saling tatap. Baguslah, dia jadi nggak perlu liat gugupnya gue.
Kami memesan set daging dan menunggu datangnya pesanan daging kami untuk dibakar. Selagi menunggu, aku mengadah untuk memperhatikan wajah Dharma.
Tahu wajah anak kecil yang lagi ngeliat taman bermain dari kejauhan? Nah, saat ini muka Dharma menunjukkan ekspresi itu. Gue yang ngeliat spontan terkekeh.
"Kenapa kamu, kok ketawa??" tanya Dharma bingung.
"Nggak pernah aja liat kamu kayak anak kecil nunggu masuk playground."
"Hmm... restoran all you can eat emang playground-nya orang dewasa nggak sih?"
"Nggak, Dhar. Club yang playground-nya orang dewasa. Club. Tempat clubbing," gue buru-buru mengoreksi pernyataannya. Dia ketawa terbahak-bahak, jelas nggak kepikiran sama sekali tentang tempat clubbing.
"Aku nggak pernah ke sana jadi tahunya playground yang kayak gini aja..."
Idih idih... kamu pikir aku mudah dibohongin?
"Mana ada anak agency nggak pernah clubbing?! At least buat supervisi event gitu??" gue jelas menyangsikan ucapannya yang ketahuan banget bohongnya itu. Memang aku nggak tahu kalau pernah ada program agency-nya yang dilakukan di beberapa club?
"Syukurnya sih sampai sekarang nggak pernah dapat kewajiban ke sana. Kalo nggak harus mah males ke sana," Dharma ngangkat bahunya.
"Kenapa? Nggak penasaran?" tanya gue yang penasaran sama dia.
"Nggak tahu, nggak tertarik aja," jawabnya.
Lempengnya...
Gue meringis, keinget masa waktu lagi-lagi gue dipukulin karena minta Galang berhenti main ke club. Gue disuruh di rumah, tapi dia kerjanya ngumpul sama temen-temennya di club.
Terus gue lagi yang salah karena berusaha ngejauhin dia dari temen-temennya.
"Kalo kamu suka clubbing yaa?" tanya Dharma tiba-tiba. Gue tertawa dan menggeleng. Nggak usahkah gue cerita gimana bencinya gue sams tempat itu. Ini momennya gue dan Dharma, nggak boleh dirusak sama mantan.
"Aku sukanya running sama swimming," kata gue berusaha ngegaring.
"Dih, kayak ngisi biodata waktu kecil di file temen," Dharma menanggapi kegaringan gue.
"Ih, keren banget ngisi biodatanya pake bahasa inggris."
"Iya dong, kan anak kursus."
Kami tertawa. Tumpukan daging datang dan kami mulai makan. Sharing pekerjaan membakar dan membagi daging terasa lebih efisien karena kita sebelahan.
Atau karena gue suka aja sih sebelahan sama dia.
Kita ngobrol banyak hal, dari cerita lanjutan masa kecil, hal-hal yang kita sukai, sampai makanan-makanan favorit. Nyaris semua makanan favorit Dharma gue juga suka. Sate, mie-mie khas segala negara, sampai makanan jepang.
"Kadang kepengen makan daging kayak gini di rumah... tapi bingung ya?" kata Dharma.
"Mau? Entar aku propose ke ibu kost ide yakiniku dinner. Tapi pas belanja kebutuhannya bantuin ya?" balas gue.
"Kamu bisa?" tanya Dharma semangat.
"Kebayang konsepnya. Harusnya sih nggak susah..." kata gue sambil ngebayangin beneran apa yang harus gue lakuin. Tapi nanti buat jaga-jaga gue cari-cari online juga tentang apa aja yang dibutuhin buat bikin yakiniku di rumah.
"Kereeen..." katanya denganmuka takjub.
Duh, kok gitu sih mujinya? Gue kan jadi deg-degan...
Kita makan sambil ngobrol nyaris kayak anak kuliahan yang baru makan ke tempat all you can eat. Dengan badan yang agak berhadapan, sekarang suasana udah cair dan asik banget. Padahal ini bukan sekali buat gue, dan jelas bukan sekali buat dia.
Tapi ini pertama kalinya gue ke tempat yakiniku dengan perasaan seseru ini, padahal cuma berdua doang.
Pas bagian bayar, dia ngebayarin gue. Gue bercanda bahwa gue bisa dimarahin Gendis kalo dia tahu anak agency ngebayarin AE-nya gini. Tahu dia bilang apa?
"Aku nggak ngajak kamu ke sini sebagai AE kok."
Terus maksudnya ngajak sebagai apa dong dong dong???
Ah senenglah, gue yakin nggak bakal ada yang bisa ngerusak malam ini. Terlalu bahagia gue ngabisin waktu sama Dharma ini...
"Delisha."
Gue nengok dan senyum gue hilang. Fine, tadi gue terlalu cepat berkesimpulan. Harusnya gue tahu, takdir selalu punya cara buat bikin hati gue nggak terlalu terbang.
"Siapa, Lish?" tanya Dharma. Gue menatapnya lemah dan ngerangkul lengannya. Terus gue bawa dia jauh-jauh, ngebiarin laki-laki yang tadi memanggil gue ngeliatin kita berdua dengan muka garangnya.
Muka yang siap ngegampar gue kalo gue masih jadi istrinya.
***
Gue lari tanpa menunggu Dharma pagi itu. Nggak tahu, kepengen sendiri aja. Semalam gue cerita bahwa gue ketemu Galang. Nggak cuma ke Dharma, tapi juga ke Dian dan Alfin yang masih nonton di ruang utama waktu gue balik dari makan berdua.
Nggak banyak yang diceritain, tapi kita semua waspada. Galang bener-bener bisa ngelakuin apapun buat nyakitin gue, Dian dan Alfin nggak mau itu terjadi.
Tapi gue nggak mau dikekang dan lari adalah cara gue meraih kebebasan. Meskipun cuma beberapa jam, tapi seenggaknya gue ngerasa bebas. Sewaktu gue udah balik, gue lagi-lagi harus ngetawain otak dangkal gue. Mana mungkin kan gue bisa bebas semudah itu?
"Kamu masih suka lari pagi?" tanya Galang yang sudah berdiri di depan rumah Dian.
Gue mengata-ngatai diri gue dalam hati. Rasa itu masih ada. Rasa takut dan benci itu masih begitu besar untuk Galang. Padahal gue udah nggak mau merasa apa-apa lagi ke dia karena dia udah bukan bagian dari hidup gue lagi.
Gue nggak menjawab dan buru-buru masuk ke dalam rumah. Di sana gue lihat Alfin, Dian dan Dharma sedang bermain dengan Gisa.
"Guys, ajak Gisa ke atas. Galang dateng," kata gue buru-buru. Gue tahu saat ini Galang lagi ngikutin gue ke dalem rumah. Gue nggak berniat menghindari dia. Apapun yang dia mau omongin ke gue, gue mau ladenin. Biar urusan gue cepat selesai sama dia.
Raut muka Alfin langsung keras. Dia nyuruh Dian bawa Gisa ke kamarnya di atas. Nggak lama, sosok Galang pun muncul di depan pintu.
"Cabut lo dari rumah gue," kata Alfin tanpa basa-basi.
"Siapa lo ngelarang-larang gue ketemu Delisha?" tanya Galang sengit. Dua orang ini emang nggak pernah akur. Ditambah kejadian yang gue alami, gue rasa Alfin bener-bener udah nggak bisa mikir baik tentang Galang.
"Lo pikir lo siapa mau ketemu Delisha?" tanya Alfin sambil menyeringai, memperlihatkan wajah merendahkan Galang.
"Fin, it's okay. Lo duduk deket gue kalau khawatir," kata gue buru-buru.
"Aku mau ngomong berdua sama kamu!" kata Galang dengan nada mengancam.
"Ngomong dengan temen-temen saya atau nggak ngomong sama sekali. Silakan pilih," ucap gue ke dia.
Gue mau memberi jarak dan bersikap seperti seorang menyedia jasa yang sedang mendapat protes klien terasa cukup berjarak.
"Apaan sih, nggak cocok banget kamu pakai saya-saya-an!" kata Galang.
"Kalo nggak mau cabut sana, buruan! Atau gue panggil satpam kompleks buat usir lo sekarang, mau?!" desak Alfin. Galang mau tak mau menurut.
Dia duduk di sofa dan gue duduk cukup jauh dari dia. Sementara itu, Alfin dan Dharma duduk di dekat gue. Gue perhatiin, tatapan Galang nggak lepas dari Dharma.
"Siapa lo?" tanya Galang pada Dharma.
"Bukan urusan kamu," gue yang jawab.
"Aku tanya dia ya, bukan kamu," balas Galang ke gue.
"Bukan urusan Anda," jawab Dharma cepat. Dia membela gue. Gue ngasih dia senyum terima kasih.
"Pagi-pagi udah main ke tempat cewek, apa nggak malu lo?" Galang belum menyerah.
"Lang, kalau tujuan kamu cuma untuk membuat saya dan temen-temen saya kesal, mending pergi dari sini deh," kata gue lelah.
"Kamu berani ya sama aku sekarang?"
"Saya nggak pernah takut sama kamu. Apalagi sekarang, setelah kamu bukan siapa-siapa."
"Baru juga kerja, udah banyak lagaknya. Makanya dulu aku nggak mau kamu kerja..."
"Lo cabut deh buruan!" Alfin kehilangan kesabaran, tapi Galang langsung mengangkat tangannya untuk menahan Alfin yang sudah emosi. Dia menarik nafas panjang, lalu bicara lagi ke gue.
"Aku denger dari Chika, kamu udah dekat sama laki-laki lain," kata Galang, masih memperhatikan Dharma.
"Bukan urusan kamu." Memberi tahu Galang bahwa hidup gue udah sepenuhnya terlepas dari dia dan pengaruhnya adalah tujuan kenapa gue mau percakapan ini diadakan.
Dia sudah nggak berhak atas gue, dan dia harus tahu itu.
"Hebat kamu ya, cepet juga pergerakannya."
"Masih kalah sama kamu, udah nikah lagi kan? Selamat ya..."
Dia menatap gue tajam. Chika mungkin lupa bilang kalo mulut embernya udah ngasih tahu gue soal pernikahan Galang. Sementara cowok ini, dia mau bikin gue ngerasa bersalah? Ngerasa jalang?
Gue bukan lo, Lang.
"Dia lebih baik dari kamu. Lebih nurut, lebih pinter ngurus rumah..."
Gue nggak tahu harus gue jawab dengan apa tepatnya kata-kata itu, jadi gue diem. Masih sambil nggak melihat mata dia.
"Dia juga udah mengandung anak aku."
Oke cukup.
"Lang, saya nggak ada waktu untuk meladeni kamu. Kalau saya ada salah semasa saya jadi istri kamu, saya minta maaf," gue berdiri dan buru-buru menyudahi percakapan yang ternyata nggak berfaedah ini. Dia menatap gue kaget.
Mungkin dia masih jetlag. Dia pikir gue masih bisa dia jadiin emotional sandbag. Well guess what? Gue udah bebas dari lo dan sifat racun lo, Lang. Lo nggak puas sama hidup lo? Cari orang lain yang bisa lo injek-injek.
"Sekarang udah ya? Toh kamu juga udah dapat pengganti yang jauh lebih baik dari saya. Jadi kita jalani hidup kita masing-masing."
"Kamu... kamu berubah," Galang terlihat kehilangan kata-kata. Gue anggap ini sebagai kemenangan kecil gue.
"Saya nggak pernah bersikap tegas begini karena saya dulu menghormati kamu sebagai suami saya. Tapi sekarang kita bukan siapa-siapa. Saya nggak bisa biarkan diri saya dihina orang asing, Lang."
"Cowok itu ya yang udah ngerubah kamu?!" dia nunjuk Dharma yang masih kelihatan tenang tapi sangat waspada terhadap letupan-letupan emosi Galang.
"Mungkin, tapi itu bukan urusan kamu lagi. Mending sekarang kamu pergi, Lang."
Galang melihat gue dengan tatapan tajamnya. Gue berusaha menatap balik. Dulu, kalau udah ngeliat gue dengan tatapan itu, dia bakal ngegampar gue.
Tapi sekarang nggak mungkin. Sekarang gue udah bukan istrinya...
Gue benar. Dia nahan geramnya sendiri dan pergi.
Setelah Galang pergi, gue duduk lemes di sofa. Nggak lama Dian datang, Gisa dia titipin ke Mbak Tum. Gue nangis dikelilingi Dian, Alfin dan Dharma. Gue malu karena mereka harus melihat kesalahan gue di masa lalu. Pilihan terbodoh yang pernah gue lakukan, yang kayaknya enggan berhenti mencoreng muka gue di depan orang-orang.
"Ngapain coba dia ke sini?! Kenapa harus nyakitin gue lagi?! Emang nyenengin banget ya liat gue sakit?!" kata gue sambil sesenggukan.
"Lain kali gue panggil satpam langsung. Nggak usah ngomong sama dia lagi," kata Alfin.
"Sabar ya, Del... sabar..." cuma itu yang bisa Dian bilang. Tapi dia meluk gue erat banget. Gue mulai tenang setelah dia ngusap punggung gue.
Sementara itu, Dharma cuma bisa diam. Tapi dia di sana, merhatiin gue. Gue maklum kalau setelah ini dia ilfil sama gue dan nggak mau kenal gue lebih deket lagi. Hidup gue emang sesampah itu.
"Gue mau istirahat di kamar dulu ya?" kata gue setelah tenang.
"Nanti makan siang di luar mau? Refreshing, sekalian ajak Gisa main..." kata Dian berusaha menghibur gue.
Biasanya gue males jalan ke luar. Tapi jalan sama Dian dan Gisa kayaknya bukan ide yang jelek. Gue pun ngangguk, berharap bahwa itu bakal cukup untuk ngeringanin perasaan gue yang udah diacak-acak Galang pagi ini.
"Gue anter ke atas," kata Dharma yang udah berdiri, siap jalan bareng gue. Lagi-lagi gue cuma ngangguk. Cowok yang satu ini emang terlalu baik, nggak mungkin gue bisa dapetin dia. Seenggaknya kita masih temenan, gue masih bersyukur.
Kita balik ke daerah kost-an tanpa suara. Naik tangga, jalan sepanjang lorong kamar juga tanpa suara. Gue tahu sepanjang kita jalan bareng ke atas, Dharma nggak berhenti merhatiin gue. Tapi gue udah nggak ada tenaga untuk melakukan apapun tentang itu.
Tenaga gue selalu habis meladeni keegoisan Galang.
Gue berterima kasih sama Dharma dan ngebuka kunci kamar gue. Saat itulah gue denger Dharma manggil gue, "Delish..."
Gue berbalik dan tiba-tiba aja tubuh Dharma udah ada di depan gue.
Belom sempet gue mikir dia mau ngapain, kedua tangan besarnya nangkup rahang gua dan membuat gue mengadah. Jantung gue kayak berhenti waktu bibirnya dengan cepat menghisap bibir gue.
Ada sensasi luar biasa yang membuat gue limbung. Satu tangan Dharma turun untuk narik pinggang gue supaya lebih dekat sama tubuhnya.
Akal sehat gue pun hilang. Gue lingkarin tangan gue ke lehernya dan gue remas bahu dan rambutnya.
Bibir Dharma basah, lidahnya gesit. Gue bener-bener dibuat kebat-kebit saat itu
Jujur pikiran gue langsung kosong. Gue cuma mau dia terus ngelakuin ini ke gue.
"Ukh..." dia ngelepasin diri dari gue dan keliatan bingung sendiri. Sementara gue, Gue masih setengah sadar, tapi agak sedih sih.
Kok udahan?
"Lish, so- sorry... it was supposed to be a hug," katanya panik. Gue mengerjap.
Ya nggak apa-apa kok, Dhar... Seneng-seneng aja gue ngecap bibir lo.
"Maaf, Lish."
"It's okay, I kinda enjoy it anyway." Dia geragas, gue juga bisa geragas jujurnya.
Gue nyengir jahil. Dia mendekat kembali, nyentuh bibir gue dan bilang, "Nah, gitu dong... senyum. Kan cantik."
Gue terpaku. Setelah semua yang dia lihat tadi, yang dia pikirin adalah gimana cara ngehibur gue, gitu?
Kenapa harus manis banget sih, Dhar?
Dia beranjak dan siap masuk kamar... tapi ada perasaan yang nggak bisa gue tahan lagi buat dia. Perasaan yang tumbuh liar di hati gue dan membuat gue nggak bisa ngeliat dia sebagai temen atau sahabat.
"Dhar... Apa sih yang kamu pikirin tentang aku?" tanya gue.
Dharma berbalik. Gue nelen ludah gue, tapi gue nggak bisa nahan perasaan gue ke dia lebih jauh lagi, "Karena aku udah terlanjur sayang banget sama kamu. Lebih dari temen."
Dia bengong denger pengakuan gue. Ada sedikit takut yang kerasa di dada gue waktu ngeliat ekspresinya. Apa gue baru aja melakukan satu kesalahan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top