Berdua berbagi Luka

Waktu udah menunjukkan pukul sebelas malem waktu gue mutusin buat nonton di ruang utama. Jam segini orang-orang udah pada sibuk di kamar masing-masing.

Sewaktu gue nganggur dan jadi ibu rumah tangga dulu, gue tiap hari kerjaannya nonton TV. Akhir-akhir ini nggak tau kenapa kepengen begitu lagi. Kepengen ngabisin lebih dari lima jam di depan TV. Nggak berasa karena acaranya seru-seru. Gue sampe hafal program serial di channel masing-masing. Padahal judulnya aja TV kabel, channelnya kan ratusan.

Gue kepengen nonton, nggak mikirin apa-apa. Nggak perlu inget apa-apa. Tapi emang dasar ya otak gue, dia malah ngajak pikiran gue berkelana kemana-mana.

Soal omongan Chika seminggu lalu, soal kepantasan gue sebagai istri, soal kegagalan gue sebagai perempuan, semua nggak hilang.

Nggak tahu kenapa semua semakin terasa benar meskipun berkali-kali gue nguatin diri dan bilang itu salah. Nyatanya sampai sekarang gue merasa salah, nggak pantas dan gagal sebagai manusia. Mau gue ngeyakinin diri dengan cara apapun percuma.

Belum lagi ucapan Chika tentang gue. Apa gue memang selemah dan sesalah itu kalo ngerasa nggak sanggup bersilaturahmi dengan cowok yang udah sangat nyakitin gue? Apa salah kalau gue masih terluka meskipun udah lewat enam bulan gue berpisah sama dia?

Apa hati gue nggak boleh istirahat? Capek sakit hati terus...

Kenapa ada orang yang begitu asing sama gue tapi ucapannya bisa begitu nusuk jauh ke dalem hati gue. Bikin gue nggak bisa berhenti mikir jelek tentang diri gue sendiri, nggak bisa ngerasa kalo gue normal dan bukan produk gagal...

"Delish..."

Suara itu ngagetin gue. Gue nengok, Dharma udah berdiri di deket sofa.

"Eh..., Dhar," gue kaget dan gelagapan ngeliatnya. Dari tatapannya, gue sempet mikir kalo dia baru aja ngebaca pikiran gue
Setelah gue pikir-pikir lagi, hal itu nggak mungkin kali, Del.

Dia duduk ke sebelah gue dengan muka khawatir. Gue gugup setengah mati waktu tangannya tersngkat dan mengusap pipi gue.

"Lo kok nangis?" tanyanya singkat.

Gue kaget, langsung mundurin muka gue dan ngecek mata gue. Basah beneran.

Wah gila, sampe nggak nyadar gini gue! Terlalu menghayati luka nih kayaknya...

"I- iya nih filmnya sedih banget," kata gue sambil nunjuk TV. Muka Dharma keliatan bingung.

"It's... just for laugh," katanya sambil nunjuk ke TV juga.

Gue melongo ngeliat ke arah TV. Sumpah ya, terakhir gue liat tadi film drama gitu. Ini kenapa jadi acara nge-prank orang gini?!

Oke sip. Gue ketahuan mewek sama si cowok gemes. Kurang hina apa lagi hidup gue seminggu terakhir ini.

"Ada yang lagi gue pikirin, Dhar. Duluan ya," tanpa kepengen berbasa-basi lebih lanjut, gue pamit. Gue buru-buru senyum sopan dan berdiri.

"Katanya cerita tuh bisa ngebantu ngurangin beban yang dirasain..." baru selangkah gue jalan buat balik ke kamar, gue denger Dharma ngomong gini. Gue liat mukanya, dia senyum dan lanjut ngomong.

"Karena kalo cerita lo tuh ngeluapin emosi lo, jadi bisa lebih lega, ngurangin stres..."

Gue ngeliatin dia, bertanya-tanya itu maksudnya apa.

"Katanya cerita juga bisa bikin lo dapetin pandangan baru tentang masalah lo, bisa jadi dapet solusi juga..."

Kok... ngegemesin banget? Ini Mas-nya mau gue peluk apa gimana sih?

"Gue nggak apa-apa, Dhar. Biasa cerita ke Dian juga kok," kata gue. Bingung juga sih rasanya cerita ke Dharma. Cowok itu nunduk.

Aduh... muka bete-nya pengen gue unyeng-unyeng!

"Fine," katanya sambil ngambil remote. Gue balik ke sofa pelan dan nggak berhenti ngeliatin dia sampe dia ngeliatin gue balik.

"Kecuali... kecuali lo mau dengerin gue sekarang?" kata gue. Ya ampun, rasanya kayak ngomong sama anak kecil yang lagi ngambek.

"Hm? Boleh, gue lagi nggak ngapa-ngapain kok."

Ya emang! Jelas-jelas lo abis mancing gue buat cerita...

Gue kembali ke posisi gue semula. Dia menghadap ke gue. Bahaya juga nih deket-deket berduaan aja jam segini. Semoga gue nggak nyosor deh.

"So? What happened?"

Satu pertanyaan yang langsung bikin perasaan gue ramai. Setelah sibuk memilah-milah rasa dan kata, gue narik nafas panjang.

Berat... entah kenapa rasanya begitu berat mengakui keadaan gue ke orang lain. Gue liat matanya yang masih nungguin gue. Lagi-lagi gue narik nafas.

"Six months a go, I was having a divorce," kata gue cepet, secepet bulu-bulu dicabut pas lagi waxing.

Sesak, perih, ngilu jadi satu. Air mata gue keluar lagi. Selama gue di kost-an Dian dan bekerja, gue merasa single all the time. Gue lupa rasanya menjadi janda, gue sempat lupa kalau gue pernah menikah.

Gue lihat Dharma masih menyimak, jadi gue lanjut cerita.

"Gue nggak ngerti gimana, but living here and having a job... ada sebagian dari diri gue yang kepengen mengubur kenyataan kalo gue pernah bercerai. Gue kepengen terlihat seperti career woman who just happened to be single."

"Why?" tanya Dharma. Gue senyum sungkan sambil mikir apa kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.

"Cause I feel less failure that way."

Gue ketawa, ngerasa konyol sama diri gue sendiri. Ngerasa bodoh karena mikir gue bisa lari dari status gue, dari kegagalan gue.

"You're not a failure," kata Dharma. Validasi yang terasa kosong buat gue.

"You see, you might think that true. People around you think that true. Tapi rasanya nggak begitu, Dhar. Rasanya gue itu loser akut yang nggak akan bisa keluar dari kubangan loser nggak peduli sekuat apa gue mencoba," gue merocos frustasi.

"Kenapa lo ngerasa loserPeople divorcing all the time. Maksud gue, lo bukan satu-satunya. Some divorcee have a brilliant career."

Gue mencerna ucapa  Dharma. Ada benernya juga nih cowok. Tiba-tiba gue inget waktu dia nyelamatin gue dari Chika.

"Inget waktu gue traktir team lo makan siang nggak?" tanya gue. Dia  ngangguk

"Waktu itu gue ketemu kenalan yang ngasih tahu kalau mantan gue udah nikah lagi," kata gue. Muka Dharma langsung keliatan kaget dan paham.

"I see..." kata Dharma.

"Gue pikir gue udah  berhasil ninggalin isu perceraian itu di belakang gue. Gue pikir gue udah move on. Tapi ternyata masa lalu itu nggak bakal berhenti ngejar gue ngingetin gue sama kegagalan gue."

Gue menunduk. Saat ini gue bahkan nggak bisa maksain diri buat senyum. Nggak ada yang bisa disenyumin dari apapun yang baru gue ceritain.

Bicara ke orang lain juga berarti mengakui bahwa apa yang gue rasain dan gue alami itu real. Perceraian gue dan Galang nggak pernah terasa begitu nyata sebelumnya dan gue seperti sedang dipaksa nonton film horor yang sebenernya nggak berani gue tonton.

"Masa lalu nggak bakal pernah ninggalin lo, it shapes you for who you are now," kata Dharma sambil ngeliatin gue, "gue rasa masa lalu nggak mau ngebuat lo ngerasa gagal. Dia cuma mau diterima sebagai bagian dari diri lo. Makanya dia dateng lagi, ngingetin lo lagi sewaktu lo mulai lupa."

Gue termangu. Kalimat-kalimat Dharma begitu ngena di hati gue. Ada yang beda setelah gue denger dia ngomong.

"Hmm... kalo lo liat dari sisi itu rasanya emang jadi nggak seburuk sebelumnya sih," kata gue, mengakui ada sedikit keruh yang hilang dari hati gue. Sedikit, tapi ringan bukan main.

"Nemu pandangan baru kan?" tanya Dharma. Wajahnya terlihat bangga.

Ini orang apa kucing ya, kok minta dielus?

"Gue nggak tahu gimana gue bakal menghadapi masa lalu gue nanti. Tapi mulai sekarang mungkin gue bakal nyoba nerima," ucap gue.

"Gue nggak bilang itu bakal gampang, tapi seenggaknya lo mulai dan nggak kabur lagi," balas Dharma. Gue bersender di sofa sambil ngebayangin ketemu Galang dan istri barunya.

"Nggak keruan ya pasti rasanya," kata gue dengan pandangan menerawang.

"Gue aja sampai sekarang belom berhasil nerimanya," balas Dharma lagi. Kali ini balasan itu berhasil bikin bayangan gue buyar.

"Lo? Nerima apa?"

Gue melihat Dharma tersenyum ke gue, senyum yang begitu tampan dan menggemaskan sehingga membuat gue nggak bisa menduga kalimat yang bakal mengikutinya, "Masa lalu gue. Gue juga ngalamin apa yang lo alamin, Lish."

"...Ngalamin?"

"Cerai."

... eh???

"Care enough to hear my story?"

Pertanyaan itu seolah jadi jawaban atas semua rasa bingung gue.

Gue menelan ludah. Laki-laki yang gue pikir lempeng dan lurus-lurus aja ini ternyata nasibnya nggak jauh sama gue.

Gue menatap dia sambil mikir apa yang dia pikirin saat ini? Bahkan buat gue aja rasanya malu banget mengakui ke dia kalo gue udah bercerai... pernah gagal...

Tanpa bikin dia nunggu lebih lama lagi, gue pun mengangguk.

Setelah itu, gue merasakan momen paling intim bersama seorang cowok dalam hidup gue. Bahkan melebihi momen saat gue berhubungan badan dari sepanjang yang gue ingat.

Ada yang mengikat gue dan Dharma malam itu, perlahan mengerat di tiap waktu yang berlalu. Kita terus bicara, tapi bukan tentang detail masa lalu. Kita berbagi pikiran tentang bagaimana sebaiknya kita menghadapi masa lalu sambil bercerita tentang apa yang kita punya.

Bicara dengan Dharma membuka pikiran gue, dan gue cukup tersanjung melihat responnya terhadap pemikiran gue.

Tapi nggak hanya pemikiran yang kita tukar. Malam itu, lewat cerita, gue dan Dharma bertukar rasa.

Kita asyik dalam cerita kita berdua selama beberapa jam. Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.

"Tidur yuk? Capek..."

"Yuk." Gue dan dia beranjak ke kost-an. Kita naik bareng sambil saling pandang dan tersenyum.

Cuma semalam. Beberapa jam. Tapi gue merasa ada yang beda antars gue dan dia saat ini.

"Dhar..." panggil gue saat kita udah di depan pintu kamar masing-masing, "thanks for care enough to share with me."

"Anytime. We need to stick together, anggep aja support system."

Gue masuk ke kamar dan menuju kasur dengan senyum yang lebar.

Gue bersyukur karena semalam gue bercerita dengan orang yang tepat, yang dapat membuat semua beban gue menjadi motivasi.

Gue akan berusaha lebih kuat untuk nggak meratapi diri sendiri lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top