秋 - Gelato [2.08]

Gue tetep pulang bareng Akiyama.

Ya mau gimana lagi, tiba-tiba gue ditarik trus gue dipaksa buat duduk di boncengan sebelum dia ngayuh cepet. Untung disitu lagi nggak ada siapa-siapa, udah pada pulang duluan. Harumi juga udah pulang.

Untung Harumi nggak liat.

Padahal tuh ya, tadi gue sengaja sembunyi di gedung SD. Nunggu semua pulang dulu baru gue pulang. Tau-taunya ini bocah satu masih ada di tempat.

"Tadi Ichiro kenapa nangis?"

Gue ngangkat kepala gue yang langsung disambut dengan angin yang menyapu muka gue. "Hah?"

"Tadi, waktu lo turun sama Ichiro. Kenapa dia nangis?"

Oh. Lo maksa gue pulang bareng karna penasaran sama itu?

Bilang dari tadi kek.

"Itu..." Gue ngeliat atas bentar sambil mikir dan ngerangkai penjelasan buat Akiyama. "Gue ceramahin dikit, karna dia nggak mau terus terang sama adeknya."

Kami sampai di perempatan dan lampu merah lagi nyala, Akiyama mengerem sepedanya. "Ichiro yang ngambil?"

"Menurut lo dia ngambil?"

Akiyama melirik gue yang ada di belakangnya sambil menggeleng. "Tapi gue nggak yakin juga kalo temen sekolahnya Jiro yang ngambil. Di PK kan banyak orang tuh, masa mereka main nyelonong masuk tanpa dicurigai?"

Ya nggak salah juga sih... tapi... "lo tau kenapa Jiro nggak ada di PK waktu kelerengnya ilang?"

"Camping kan?"

"Trus kalo Jiro camping, temen sekolahnya kagak ikut camping gitu?"

Akiyama menjatuhkan rahang bawahnya saat gue tanya. Tapi nggak lama karna lampunya udah ijo lagi jadi gue pukul-pukul punggungnya dari belakang biar dia lanjut ngayuh lagi.

"Tapi masa Ichiro yang ngambil?"

Gue menggeleng, masa bodo dia liat apa enggak. "Ichi nggak ngambil, tapi jatuhin."

"Jatuh dimana?"

"Tempat lo sama Jiro nyari tadi."

Akiyama nyapa pak satpam bentar waktu kami nyampe di gerbang perumahan. Terus nggak ngomong apa-apa lagi sampai sepeda ini berhenti di depan rumah gue.

Gue melompat turun, tapi gerakan gue membuka kunci pagar terhenti karna dia melanjutkan pertanyaannya. "Tapi di tempat itu nggak ada, kan kelerengnya ada di Ichiro?"

Gue membalikkan badan dan menjawab, "mereka kan udah nyari di situ kemarin sore. Waktu itu Ichi yang nemu, makanya Jiro bilang nggak ada."

"Kenapa disembunyiin?"

"Takut Jiro marah."

"Kenapa? Bukannya yang penting ketemu?"

Gue menghela nafas lalu melirik kanan dan kiri, memastikan tidak banyak orang liat karna ini bakal jadi cerita yang panjang. "Karna satu, kayaknya itu benda yang penting buat Jiro. Dua, kayaknya Jiro nggak suka dibohongi. Tiga, karna ada satu lagi barang yang dijatuhin Ichiro dari lantai dua."

"Ada lagi?"

"Em, itu... tanaman kacang hijau. Lo tau kan seberapa ambisnya Jiro soal tanemannya?"

Gue dapat melihat dahi Akiyama yang berkerut, tanda kalo dia lagi bingung. "Tapi tanamannya udah ada di kamar kan? Berarti udah dikembaliin Ichi? Kenapa yang dikembaliin cuma tanaman? Nggak kelerengnya sekalian."

Gue menggaruk kepala gue pelan, "gue jelasin kronologinya aja gimana?"

Akiyama mengangguk dan gue mulai menyiapkan diri untuk story telling.

"Kata Ichi sih kejadiannya hari Jumat, berarti waktu Jiro masih camping. Kelereng sama tanamannya Jiro jatuh dari lantai 2. Kok bisa jatuh? Masih spekulasi gue sih, tapi kayaknya Ichi berusaha ngambil layangan waktu itu."

"Oh! Layangan di pohon, itu punya Ichi?"

Gue mengangguk karna gue yakin untuk bagian ini. "Ada tulisan 1 di layangannya."

"Nah, kayaknya nih, waktu ngambil layangan itu Ichi naik meja terus manjat teralis. Tapi habis gitu dia jatuh, gagal ngambil dan layangan itu masih ada di pohon sampe hari ini."

"Jatuh...?"

"Tangannya memar."

"Tapi Ichi suka main voli."

"Disitu anehnya, lebam karna voli harusnya sejajar sama ibu jari. Kalo lo perhatiin dia punya memar yang sejajar sama jari kelingking. Ya bisa karna faktor lain juga, makanya gue bilang spekulasi."

Akiyama terlihat dapat menerima argumen itu jadi gue lanjut bercerita.

"Dia jatuh, mejanya miring, tanamannya Jiro jatuh. Ichiro langsung nyari di pot-pot itu, tapi ya... antara benihnya hilang ato rusak."

"Jadi yang di kamar tadi itu?"

"Benih baru yang ditumbuhin Ichi pake cara cepat. Jiro bilang, dia taruh tanamannya di sinar matahari biar cepet tumbuh tinggi. Tapi lo tau ini salah kan?"

Gue tersenyum waktu Akiyama bilang, "kacang hijau bakal lebih cepat tumbuh tinggi kalo disimpan di tempat gelap."

Binggo. Baguslah dia masih inget ulangan kemaren.

"Ichiro takut Jiro marah karna benihnya ilang, dan gue rasa Ichiro tau teori ini. Tinggal rendem di air, trus disimpen di tempat gelap. Udah deh langsung berkecambah lagi, lalu dibiarin agak tinggian biar Jiro nggak sadar kalo itu bukan tanaman aslinya. Biar dikira kalo benih itu udah tumbuh selama ditinggal camping."

"Itu Ichi yang bilang?"

"Ichi cerita dikit, tapi gue udah mulai curiga waktu liat tanaman itu. Pucat."

"Oke lanjut, masalah tanaman udah aman tapi Ichi masih ditimpa kesialan lain." Lanjut gue.

"Kelereng?"

Gue mengangguk. "Kelereng itu disembunyiin Jiro dari temen-temennya dan gue rasa Jiro nggak beritau ke Ichi kalo kelerengnya lagi ada disitu. Ya karna nggak penting juga bagi Ichiro buat tau."

"Kelerengnya ikut jatuh tapi Ichiro nggak tau sampai adeknya pulang dan koar-koar kalo kelerengnya ilang." Lanjut gue sambil kembali membuka pagar karna gue rasa cerita gue udah selesai.

"Heee... as expected dari anak olimp."

Tunggu, dia muji gue ini?

Gue langsung membalikkan badan lagi buat tersenyum lebar sambil menyibakan rambutku kebelakang, berlagak songong. "Oh jelas, medali emas OSN Biologi gue nggak bakal mengecewakan." Gue ngomong gitu padahal kasusnya Ichiro tadi cuma tentang hormon auksin. Tapi bodo amat lah ya yang penting gue bisa flexing di depan Akiyama.

"He?"

"He?" Gue membeo karna ekspresi Akiyama nggak seperti yang gue harapkan sekarang. Dibanding sewot karna gue membanggakan diri dia justru terlihat bingung.

"Lo... OSN Biologi...?"

"Hooh," gue mangangguk santai.

"GUE KIRA MATEMATIKA!"

Ye, bego.

"Makanya waktu itu gue dukung lo jadi bendahara." Lanjutnya yang hanya bisa membuatku tertawa speechless. Kebodohan macam apa ini.

Gue memilih buat memutar mata, dan akhirnya dia pamit sambil ketawa karna kebodohannya sendiri.

"Ya udah, gue pulang dulu yak!" Dia ngomong gitu sambil ngusak-ngusak rambut gue.

Deg.

Ini bahaya.

Bahaya banget.

Dan gue harusnya protes. Ini Akiyama loh?

Tapi—gabisa.

Gue cuma berdehem mengiyakan sebelum gue teringat sesuatu dan kembali mencegatnya. "EH BENTAR!"

Akiyama yang awalnya udah mancal dikit langsung ngerem lagi dan balik badan buat ngeliat gue. "Apaan lagi?"

"Besok, mulai besok kayaknya kita jangan tanding lagi. Trus jangan ajak gue pulang bareng lagi."

Jangan kayak gitu lagi, please.

Gue nggak tau kenapa tapi raut wajah Akiyama langsung berubah karna omongan gue itu. Nggak kayak Akiyama yang tengil seperti biasanya, kali ini dia keliatan... serius.

"Kenapa?"

"Itu..."

Karna kayaknya hati gue mulai berantakan gara-gara lo. Nggak, nggak mungkin gue jawab gitu.

Cowo itu tertawa kecil, tapi entah kenapa nggak kayak biasanya. Nggak kayak tawanya yang biasanya. Beda. Kayak... sendu banget gitu.

"Gue... ganggu lo banget ya?"

"Hah? Nggak gitu!" Dan dia kaget. Gue pun kaget, kenapa gue ngomong gitu?

Jelas-jelas Akiyama memang suka gangguin gue kan? Jadi harusnya...

Harusnya gue merasa terganggu.

"Trus? Kenapa? Lo minta itu dari kemarin btw."

Gue terbangun dari lamunan pendek gue sebelum mengangguk. "Alasannya sama kayak kemarin, gue nggak mau orang yang lo suka salah paham. Harumi kayaknya bakal makin salah paham—"

"Harumi?"

Gue mengerjapkan mata lalu menelengkan kepala. "Bukan Harumi? Trus siapa? Ada di kelompok kita juga kan?"

"I-itu—"

"Kalo bukan Harumi berarti... Miyu?"

"Bukan—"

"Hah? Bukan juga? Lo nggak mungkin suka sama pacarnya Isara kan? Temen macam apa lo."

Akiyama menghela nafas kasar sebelum mengusap wajahnya dengan satu tangan. Kayaknya dia capek karna pertanyaan gue yang bertubi-tubi.

Habisnya gue penasaran, kalo Harumi sama Miyu bukan terus siapa anjir. Tinggal Karin. Tapi sahabat gue kan udah punya pacar. Oh atau anak ini bertepuk sebelah tangan?

"Yakali gue suka sama pacar orang."

Gue lega saat dia ngomong gitu, berarti bukan Karin. Bukan sahabat gue sendiri, dan entah kenapa itu buat gue lega. Lega banget.

Tapi siapa?

"Terus siapa anjir? Beneran anak kelompok kita?"

Alisnya menukik turun kepalanya dihadapkan ke sisi jalan biar gue nggak nisa liat dengan jelas, tapi gue masih bisa liat kalo telinganya merah banget.

Lucu.

Eh? NGGAK. Apaan sih pikiran gue ya ampun. Tuh kan, lagi-lagi.

"Anak kelompok kita..." Gumamnya pelan tapi masih bisa kudengar.

"Harumi...? Miyu...?"

"Udah gue bilang gue nggak suka sama pacar orang..."

Gue mendecak. Gue juga tau dan gue nggak nyebut nama Karin karna dia udah punya Isara. "Ya makanya—"

"Yang nggak punya pacar di kelompok kita cuma lo bego!"

Dan gue terdiam.

Gue bener-bener diam waktu dia noleh ke arah gue dan dia—kepiting rebus. Literally, kepiting rebus. Merah semuka-muka.

"GUE SUKA SAMA LO! PUAS?!"

Bercanda.

Ini bercanda kan?

Tapi gue nggak bisa ngomong gitu karna Akiyama bener-bener...

...nggak kayak orang yang lagi bercanda.

"Bodo! Gue pulang."



秋 - to be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top