秋 - Gelato [2.07]
Fujita bersaudara itu membuka jendela besar yang ada di kamar mereka. Kemudian tampaklah sebuah balkon kecil yang berteralis. Ya jelas sih bakal berteralis, walaupun dua Fujita itu udah cukup gede tapi kamar berbalkon tetep berbahaya buat bocah-bocah energetik kayak mereka.
"Kelerengnya dulu aku taruh di sini, di belakang tanemanku." Kata Jiro sambil nepuk-nepuk meja yang ada di balkon. Meja itu tidak bisa disebut meja kecil karna hampir memenuhi balkon itu sendiri. Di atas meja itu sekarang cuma ada satu gelas plastik bekas air mineral dan dua payung lipat.
Tapi... tanaman?
Gue mengangkat gelas plastik yang ditunjuk Jiro, buat lihat isinya. Oh, kacang hijau toh.
"Udah gede kan kak tanamanku! Hehe!"
Gue cuma mengangguk mengiyakan, "hmm... ini buat tugas sekolah?"
Jiro mengangguk semangat. "Sebenarnya udah selesai sih tugasnya, tapi karna waktu itu tanamanku masih kecil jadi aku rawat lagi sampai sekarang."
"Waa... hebat...." gue udah keliatan niat muji belum?
Jiro mengusap hidungnya lalu mendengus bangga. "Kan! Makanya aku taruh di balkon biar kena sinar matahari, biar cepet tinggi. Trus pamerin deh ke temen-temen ahaha!"
Sombong sejak kecil, tapi dengan teori yang tidak benar. Tapi... dia kelihatan senang, ya udahlah. Lagipula gue bukan guru IPAnya.
Dan lagi, keliatannya dia tau cara bikin tanaman lebih cepat tinggi. Dilihat dari ciri-ciri tanaman yang gue angkat saat ini—
"Jadi gimana kak?"
Gimana, gimana, "ya kamu kenapa naruh kelereng di balkon sih!" Tanpa sadar gue sedikit ngebentak Jiro yang seenaknya narik-narik kaos gue.
Tapi gue rasa itu nggak masalah, karna Jiro nggak takut sama sekali kalo sama gue. Buktinya, "habisnya waktu itu ada Ren sama Hiro ke sini! Ya aku sembunyiin di balkon biar nggak ilang."
Gue menghembuskan nafas pasrah.
Ya nggak di sembunyiin di balkon juga kali! Kena angin dikit mah jatuh anjir.
"Ren? Hiro?" Tanya Akiyama yang inisiatif nyari di kolong meja.
"Itu temen sekolahnya Jiro," Kali ini Ichiro buka suara, dan gue langsung ngeliatin bocah itu. Alasannya? Ya karna aneh aja. Dari tadi Ichiro cuma diem padahal dari kemaren dia selalu ngerjain gue.
Nggak lama kemudian Jiro masuk ke pandangan gue sambil ngerrntangin tangannya, seakan nutupin kakaknya dari gue. "Bukan Kak Ichi yang ngambil!"
Ya yang bilang gitu siapa coba.
"Kita punya kelereng yang sama! Waktu tau kelerengku ilang Kak Ichi langsung nawarin kelerengnya, aku percaya Kak Ichi!"
"Ichiro juga punya?" Akiyama mendekat ke arah kami bertiga. Ichiro mengangguk sebelum mengambil sesuatu dari dalam laci meja belajarnya.
Anak itu menyodorkan itu ke Akiyama dan gue ikut ngeliat juga. Eh? Ada kotaknya dong.
Kelereng itu di taruh di sebuah kotak plastik bening kecil. Waktu Akiyama buka kotak itu pun jujur gue agak kaget.
Anjir, gue kira yang ilang tuh kelereng biasa.
Untuk ukuran kelereng yang biasa dibuat main sama bocah, bisa dibilang ini satu kasta lebih tinggi lah. Bagus sih, kek bening marble ungu biru gitu.
"Itu hadiah ulang tahun pertama kita waktu di Pancaran Kasih, dikasih sama suster kepala."
Jadi... INI MASALAH SERIUS TOH?
"Bagus kan? Makanya nggak pernah aku buat main, Kak Ichi juga." Jiro yang awalnya semangat banget juga bicaranya berubah jadi sendu.
"Berarti kelereng punya Jiro ada kotaknya juga?" Gue merasa agak bersalah karna nggak terlalu serius nyarinya tadi. Tapi kalau seandainya kelereng itu ada kotaknya—
"Ada!"
—berarti nggak mungkin menggelinding jatuh karna angin.
"Bedanya kalo punya aku ada angka 1, kalo kotaknya Jiro ada angka 2." Kata Ichi sambil menunjuk angka yang tertulis pada kotak itu.
"Oh! Di payung juga ada angka 1 sama 2, itu tanda punya Ichi atau Jiro gitu?" Tanya Akiyama sambil ngelirik payung yang ada di atas meja balkon.
"Iya!"
Simpel ya.
Gue jalan ke balkon, ngintip ke bawah, kanan dan kiri. Di bawah ada pot-pot tanaman gitu, di sebelah kanan kiri ada pohon. Oh, tapi di pohon sebelah kanan ada layangan nyangkut. Ada tulisan angka 1 juga, punya Ichi ya?
Gue ngintip kolong meja bentar dan nggak nemu apa-apa.
Berarti kemungkinan...
"Kalo kakak pinjem kotak kelerengnya, Ichi keberatan nggak?"
Ichi cuma natap gue bingung terus ngeluarin kelerengnya dari kotak. Dia nyodorin benda itu sambil tetap mengerutkan dahi. "Kotaknya aja?"
"Iya, kalo ilang nggak apa-apa?"
"Kalo kotaknya aja sih kita bisa nitip Kak Aoki buat beliin lagi..."
Oke sip, "ada kelereng nggak kepakai?"
"Kalau kelereng biasa ada sih kak. Butuh berapa memangnya?" Jiro yang denger pertanyaan gue langsung ngobrak-ngabrik tasnya. "Satu aja, kotaknya cuma muat buat satu." Jawab gue dan nggak lama Jiro langsung nyodorin kelereng ijo yang udah buluk.
Ukuran kelerengnya agak beda sih, tapi nggak masalah.
Gue memasukkan kelereng itu ke dalem kotak terus gue nepuk pundak Jiro. "Nah, sekarang kakak punya misi buat Jiro!"
Mata Jiro langsung berbinar-binar, bocah itu sekarang loncat-loncat kegirangan kayak anak anjing yang dijanjiin makanan. "Kita mau langsung nangkep pelakunya kak?"
Gue ketawa terus gelengin kepala yang buat Jiro langsung lesu lagi. "Kok—"
"Yang penting sekarang kelereng kamu ketemu dulu kan?"
"I-iya sih..."
"Udah cari di pot-pot tanaman yang dibawah balkon?"
Jiro sama Ichiro mengangguk serempak. "Di bawah juga nggak ada, makanya aku bilang pasti dicuri!"
"Udah dicari bener-bener belum?"
Dan mereka pun cuma bisa cemberut. "Kemarin kita nyarinya waktu udah sore... jadi..."
Gue cuma bisa senyum terus nunduk dikit buat ngacak-ngacak rambut Jiro. "Dicari lagi yuk! Nanti aku jatuhin ini dari atas biar kira-kira tau jatuhnya dimana." Kata gue sambil nunjukin kotak berisi kelereng lain yang tadi gue minta.
"Oke..." Jiro cemberut trus akhirnya keluar kamar. Gue nyenggol bahu Akiyama bentar, "lo temenin gih."
"Iya iya, ini gue mau ikut turun."
Oke bagus deh.
Tugas gue di sini tinggal, mencegat Ichiro supaya nggak ikut turun juga.
Gue narik pelan tangan kanan Ichiro yang awalnya membuntuti Akiyama buat keluar kamar. Ichiro meringis dikit waktu tangannya gue pegang, dan itu buat gue kaget.
Tangannya banyak lebam. Harusnya nggak mengherankan sih, anaknya suka main voli. Tapi letak lebamnya...
"Ichi bantuin kakak di sini ya?"
Cuma dijawab dengan anggukan. Demi apa, Ichiro diem banget sekarang ini.
Gue jalan ke balkon dan liat di bawah udah aja Akiyama sama Jiro yang lambai-lambai sambil ngeliat ke atas sini.
Gue mengambil semua barang yang ada di meja dan menitipkannya pada Ichi yang berdiri di belakang gue. Dua payung, dan satu kecambah kacang hijau, cuma itu kok.
Kotak itu lalu gue taruh di atas meja dan mejanya gue miringin ke arah luar. Setelah itu terdengar suara nenda jatuh dan waktu gue intip ke bawah, Akiyama sama Jiro udah mulai nyari di sekitar pot.
Nah, sekarang...
Gue berbalik dan nemuin Ichiro yang masih nunduk sambil bawa barang-barang yang gue titipin.
"Ichi, nanti minta maaf sama Jiro ya." Kata gue sambil ngambil alih payung-payung yang dipeluk Ichi.
Ichi kesentak bentar trus akhirnya dia mau natap ke arah gue. "Aku nggak ngambil kelerengnya—"
"Tapi sekarang kelerengnya ada di kamu kan?"
Anaknya diem, nggak diem sepenuhnya juga sih. Agak gemetar, sambil megang tanaman milik adiknya. Gue ngambil alih tanaman itu dari Ichiro dan gue taruh di tempat asalnya.
"Kelerengnya Jiro dimana?"
Nangis.
Ichiro nangis adalah suatu hal yang nggak pernah gue bayangkan sebelumnya. Bocah tengil yang nyebelinnya minta ampun, sekarang cuma nangis terisak di depan gue.
Gue nggak terlalu bisa nanganin bocah SMP yang nangis lagi, mampus.
Gue ngusak pelan rambutnya Ichiro supaya dia tenang. "Diambil dulu yuk." Dan akhirnya dia nurut.
Ichiro mengambil sebuah kotak berisi kelereng, sama persis seperti yang tadi kujatuhkan ke bawah. Namun kali ini tertulis angka 2 di sana.
"Aku nggak sengaja..."
Gue nggak ngambil kelereng itu, gue cuma lanjut ngusap-ngusap kepalanya. "Jatuh ya?"
Ichiro ngangguk.
"Kapan?"
"Ha-hari Jumat."
"Kalau nemunya kapan?"
"Kemarin sore."
Now, its all make sense. Pantas Jiro bilang tidak ada di pot-pot bawah balkon.
Bukan tidak ada, tapi kakaknya yang nemu duluan. Yah... bisa gue bilang Ichiro lebih beruntung.
"Trus? Rencananya itu mau kamu apain?"
"Mau aku taruh di tas Jiro diem-diem." Kata Ichiro sambil sesekali mengusak wajahnya yang penuh air mata.
Bakat jadi kriminal ya ini anak.
Gue ngambil tisu yang kebetulan senantiasa gue bawa di kantong dan menyodorkannya ke Ichiro. "Tanpa minta maaf?"
Walaupun gue ngerti bahwa maksudnya dia bakal buat Jiro seakan lupa naruh kelerengnya dimana. Tapi tetep aja, gue berharap Ichiro tanggung jawab sama apa yang dia lakukan. Bukan lari kayak gini.
"Aku takut Jiro marah..."
"Kalo semisal kamu ketahuan, Jiro bukannya bakal makin marah?"
"Ya aku cari cara biar nggak—"
"Ichi."
Mata merah karna tangisan itu kini menatap gue nyalang. Dan gue cuma bisa bantu nyeka air mata itu sama tisu yang gue bawa. "Kalo masalah kayak gini aja kamu nggak mau jujur, nggak mau tanggung jawab, gimana Jiro bisa maafin kamu buat selanjut—"
TAK.
Tangan gue ditepis kasar dan itu buat gue sedikit oleng ke belakang.
"KAKAK NGGAK BAKAL TAU!"
Ichiro mulai mengacak-ngacak surainya frustasi.
"Aku... hiks—"
"—aku nggak punya siapa-siapa lagi selain Jiro..." lirihnya sebelum tangisnya makin menjadi.
"Aku cuma punya Jiro... kalau Jiro benci aku... aku..."
Gue mutusin buat meluk Ichiro yang nangisnya makin menjadi-jadi, dan gue biarin bentar dia meraung-raung di pundak gue.
"Ichiro,"
Ichiro yang masih sesenggukan itu mengusap mukanya dengan kasar.
"Kamu sayang Jiro?"
Ichiro menatap gue dengan kening berkerut, seakan mengiyakan. Gue balik ngusap-ngusap pelan surainya biar dia lebih tenang lagi.
"Kakak yakin Jiro juga sayang kamu. Semua orang ngelakuin kesalahan okay? Jiro juga pasti bisa maklumin itu,"
"Kalau kamu bohong gini bukannya lebih sakit buat Jiro kalau dia tau dari orang lain? Lagipula kelerengnya nggak hilang kan? Cuma jatuh."
Ichiro ngangguk, dan gue nurunin tangan dari kepalanya. Bocah itu masih menunduk tapi sepertinya dia mulai nerima ajakan gue untuk minta maaf sama adeknya. "Yuk, kakak obatin dulu lebamnya ya. Habis gitu kita susul Jiro dama Kak Hayato di bawah." Gue mengulurkan tangan dan langsung disambut sama Ichiro sebelum gue gandeng dia ke tempat p3k.
"Oh iya Ichi, jangan lupa minta maaf soal tanamannya Jiro juga ya."
- 𝐠 𝐞 𝐥 𝐚 𝐭 𝐨 -
"Ayo pulang bareng."
Gue noleh ke Akiyama lengkap dengan tatapan heran. "Gue nggak merasa kalah dari lo hari ini? Nggak—kita bahkan nggak tanding apa-apa hari ini."
Gue nggak ada kewajiban buat jadi supir dia hari ini ya anjir. Kenapa dia melunjak ya?
"Nethink banget ya lo kalo soal gue."
"Ya masalahnya lo tuh—"
"Gue anter."
Hah? Gue mengangkat kepala gue fan nanya sekali lagi buat mastiin apa yang dikatakan Akiyama, "hah? Apaan?"
"Gue anter, pulang." Jawabnya, tapi dia tidak menatapku sama sekali. Dia mengarahkan pandangannya pada awan random di atas.
"HEEEHH??"
Bukan, itu bukan gue. Tapi Akehoshi yang tiba-tiba aja udah ada di ambang pintu basecamp dengan membawa tasnya.
"Katanya kalian berdua nggak pacaran??"
Gue mendecak dan memutar mata sebelum melotot ke Akehoshi, "memang enggak—"
Terhenti.
Kalimat gue terhenti karna Harumi yang keluar dari ruangan dengan raut wajah yang nggak bisa gue artikan sama sekali.
"Oh! Haru, malem ini jadi nonton nggak?"
Dan gue terdiam saat itu juga. Saat Akiyama melangkah menjauh dari gue.
Buat mendekati Harumi.
Lo niat nganterin gue pulang nggak sih?
Bodo.
Gue nggak akan mau pulang sama lo.
秋 - to be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top