冬 - Eccedentesiast [prolog]

  
  
---·❆·---
𝐄𝐜𝐜𝐞𝐝𝐞𝐧𝐭𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐭 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐮𝐧𝐥𝐨𝐜𝐤!˚🔓 ༘
--------

  
  

Warnings⚠️:
- Fuyumi Jun's
- Some characters belong to Idolm@ster SideM
- Written in Bahasa, approximately local
- Harsh words
- Minor character death
- May contain some inaccuracies regarding many things
- Enjoy!☁︎·̩͙✧
  

  
   

.

.

.

.

.
  
  

Ketika semesta tidak lagi memberikan kesempatan untuk memilih, maka semua akan berharap pada takdir.

  
  


.

.

.

.

.

  
  

"Woi bangun."

Tiba-tiba aku bisa merasakan cahaya menyeruak masuk ke dalam mataku tanpa permisi walaupun aku masih dalam kondisi menutupnya rapat -belum sepenuhnya bangun dari alam mimpi. Silau banget gila.

"AKKHH, MATIIN LAMPUNYA!" aku berteriak tidak terima pada pelaku yang menyalakan lampu kamarku sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahku. Aku tau pasti itu kakak laki-lakiku, siapa lagi.

"Ga ada protes. Bangun atau kutinggal,"

"Ya udah tinggal aj—EH JANGAN DONG." Aku langsung bangkit dan terduduk di tempat tidurku kemudian mengerjapkan mata, masih untuk membiasakan mataku dengan cahaya.

Please, aku ngga mau ditinggal lagi dan harus naik bis atau pesan ojol pagi-pagi.

Aku mengusir kakakku dari kamar lalu cepat-cepat bersiap dan menyusulnya untuk sarapan. Ngga lupa juga menyapa papa dan mama yang udah ada di ruang makan sejak tadi pagi.

"Nanti kamu pulang agak cepat ya, papa mau ngomong."

Hm?

"...o-oke," jawabku sambil menghabiskan makananku. Semoga aja ingat, aku kan lupaan orangnya.

"Ma, pa, berangkat dulu ya!" Ujarku sebelum meninggalkan rumah.

"Iya, hati-hati."

Aku duduk di atas boncengan sepeda kakakku dan membiarkannya membawaku sampai ke sekolah. Alasanku ngga mau ditinggal adalah ini —karena kalau aku ditinggal, aku harus naik bis pagi yang penuh sesak atau pesan ojol pagi-pagi yang kemungkinan di-cancel oleh pengemudinya lebih besar dibanding waktu-waktu lain. Dibayangin aja udah bikin mual-ukh.

Sepedanya berhenti tepat di depan parkiran sekolah lalu dia membiarkanku melompat turun dari sana. "Bye,"

"Lhoh, Haru-nii ngga sekolah juga hari ini? Hari pertama masuk padahal."

Haru-nii, panggilan yang kuberikan untuk Wakazato Haruna, kakakku yang satu sekolah denganku. Juga satu angkatan, tahun terakhir.

Kakak adik kok bisa satu angkatan? Ya karena dia harus tinggal kelas dua tahun yang lalu, dan akhirnya harus menjadi teman seangkatanku—adiknya sendiri. Usia kami yang memang hanya berjarak satu tahun membuat kami bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi teman seangkatan.

Ujung-ujungnya dia nitip tugas ke aku. Nyebelin, untung kakak sendiri.

Padahal dia juga terancam tidak naik kelas lagi kalau absensinya tidak 90% penuh, tapi berkat kegiatan klubnya dia berhasil untuk naik kelas tahun ini. Meskipun begitu, tetap aja dia masih rajin membolos untuk kerja part-time. Dasar workaholic.

Namun aku tau itu semua dia lakukan untukku dan untuk keluarga kami juga.

Ya, keluarga kami memang tidak se-'kaya' itu, tapi kami masih termasuk dalam golongan menengah. Papaku memiliki sebuah perusahaan kecil, namun akhir-akhir ini sepertinya ada suatu masalah pada perusahaannya. Papa selalu membahasnya dengan Haru-nii, dan—aku? Aku ngga pernah ngerti dong mereka ngomong soal apa. Waktu kutanya jawaban Haru-nii selalu sama, "Nanti kamu bakal tau,"

Lama-kelamaan kakakku selalu menambah jam kerjanya, dan itu membuatku takut. Apa separah itu keadaannya?

Kemudian sekarang aku juga mulai mengurangi segala kehedonan dan terkadang berusaha mencari uang dengan menjual beberapa lukisanku. Hasilnya memang tidak seberapa karna aku memang agak jarang mengerjakan ini, tapi lumayan deh. Setidaknya aku bisa membeli peralatan dan keperluan tugas sekolahku dengan uang sendiri. Aku nggak pernah nerima uang jajan dari papa dan mama. Ya, aku sendiri yang meminta agar mereka tidak memberiku lagi dengan alasan belajar hidup mandiri.

"Nanti siang aku masuknya waktu absen kelas, hari ini kamu pulang sendiri ya?" Jawab Haru-nii sambil dengan santainya mengusap pucuk kepalaku.

"Iya deh, iya... see you." aku mengulas senyum sebelum membalikkan badanku, berjalan menuju aula dan meninggalkannya.

Jujur aja, sebagai pelajar aku paling malas masuk sekolah, apalagi hari pertama. Isinya pasti sambutan kepala sekolah, sosialisasi kurikulum, ceramah wakasek kesiswaan, dan segala tetek bengeknya. Ya enak sih sebenarnya, ngga ada pelajaran, masuk kelas cuma buat perkenalan. Cuma ya gitu—2 jam kami semua dibiarin duduk di lantai aula yang dingin. Sumpah, ngantuk parah. Waktu liburan, jam segini aku masih tiduran cantik di kasur.

Aku tetap berusaha membuka mataku selama acara berlangsung—meskipun terkadang gagal. Aku tidak mau bermasalah dengan garda sekolah karena tertangkap basah tidur saat ini. Sahabatku, Aya, dia duduk di barisan depan karena datang pagi, aku duduk dibelakang karena datang lima menit sebelum gerbang ditutup haha. Maka dari itu sekarang aku ngga ada teman ngobrol yang bikin aku semakin ngantuk sendirian.

  
  
  

- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -

  
  
  

Rasa kantukku itu mendadak hilang saat berada di dalam kerumunan siswa yang melihat pembagian kelas di papan pengumuman.

"Eh, kita sekelas!" Aku melirik Aya sekilas lalu mengembalikan pandanganku pada papan pengumuman untuk memastikan apa yang dikatakannya benar.

"KITA SEKELASSS!!" Aku dan Aya meloncat kegirangan.

"... dan sialnya gue juga sekelas sama lo berdua,"

Bagus, suara menyebalkan itu merusak momen kegembiraanku dan Aya. Kami berdua langsung menoleh pada sang pemilik suara itu.

Akiyama Hayato, cowok yang sudah kukenal selama dua tahun belakangan ini. Pertama, aku terjebak dengan kelompok yang sama dengannya waktu mpls. Kedua, aku sekelas dengannya waktu kelas 10 dan 11. Aku saja baru kenal dengan Aya saat kelas 11, dan sekarang aku harus sekelas lagi dengan Akiyama?

Takdir macam apa ini, bikin emosi.

"Sial, kenapa mesti Akiyama lagi..." Aya menghela nafas kasar sebelum menatapku kembali dengan tatapan 'cobaan apa lagi ini Tuhan'.

"Heh, lo pikir gue ngga bosen sekelas mulu ama kalian berdua? Apa lagi sama lo." Akiyama menatapku tajam sebelum tatapannya kembali ke arah papan pengumuman.

"Idih, siapa juga yang mau sekelas sama lo lagi. Udah deh, Aya ayo buruan ke kelas-"

Bugh.

Aku tepat menubruk dada seseorang hingga terjatuh saat berniat keluar dari kerumunan itu. Aku sempat berpikir untuk protes namun langsung kuurungkan saat melihat siapa orang yang kutabrak.

Cowok bersurai hitam legam yang sedang mengulurkan tangannya padaku. Matanya bulat indah seperti mengandung sebuah galaksi di dalamnya, didukung dengan bulu matanya yang lentik dan wajah yang mulus seperti bayi. Tinggi badannya yang tak seberapa ditambah dengan ia yang sedang menunduk membuatku dengan mudah menatapnya.

"Maaf, kamu ngga apa-apa?" Ucapnya.

"...Hei?"

"A-ah, it's okay. Aku ngga apa-apa." Aku terlalu asik mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, hingga lupa untuk menyambut tangannya.

Tak bosan-bosan aku melihat lelaki di depanku ini. Seperti ada yang menghipnotis mataku untuk tak mengalihkan pandangan.

"Umm, permisi? Tangan?"

"Uh? Oh maaf!" Aku langsung menarik genggaman tanganku darinya. Udah dibantuin berdiri, tapi tangannya ngga kulepas dari tadi. Duh, malu.

Dia menunduk sekilas lalu berjalan menuju lorong kelas. Tentu saja iris mataku masih mengikuti bahu mungilnya yang mulai menjauh itu.

"Heh! Bengong mulu, kenapa sih? Katanya mau ke kelas," Tanya Akiyama tiba-tiba, mungkin dia bingung dengan segala tingkah lakuku barusan. Jujur saja aku juga bingung.

Aku tak menoleh, namun aku yakin sekarang Akiyama mengikuti arah pandangku juga.

"Akiyama, lo percaya ga sih ada cinta pada pandangan pertama?" Tanyaku, sekali lagi tanpa menoleh.

"Hah?"

  
  
  

- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -

  
  
  

"Oh, jadi orang itu yang lo tubruk di lobi?"

"Hm, he's kinda cute right?" Jawabku membenarkan pertanyaan Aya tetapi sambil balik bertanya.

Jam telah menunjukkan angka sebelas dan hampir semua siswa sudah berada di dalam kelas mereka masing-masing. Aku dan Aya langsung mengambil duduk bersebelahan di kelas, untuk mengobrol dan berjulid ria pastinya. Untungnya waktu kami datang, masih tersisa banyak bangku kosong.

Ya, kurasa dewi fortuna benar-benar memihak padaku kali ini. Karena aku bisa sekelas dengan siswa yang tadi kutabrak. THANK GOD!

"Jadi dia yang lo bilang tadi pagi-cinta pada pandangan yang pertama?" Kata Akiyama yang tiba-tiba aja muncul dari belakang kami.

"Hm." Jawabku lagi, masih dengan posisi nyamanku untuk memandang ke arahnya yang duduk tak jauh dari tempatku.

Indahnya ciptaan Tuhan.

"Selera lo boleh juga, cuma hati-hati aja sih."

Aku mengernyit, mempertanyakan maksud perkataan manusia dibelakangku ini.

"Hati-hati?"

"Iya, doi tuh galak orangnya, perfeksionis lagi."

"Lo kenal?"

"Fuyumi Jun. Anak band gue, posisinya keyboard if you want to know. Dulunya dia pianis. Kadang dia bantu gue arrange lagu juga."

Wah, aku memang ngga boleh meremehkan koneksi Akiyama.

"Lo tuh memang kenal orang sepenjuru sekolah atau gimana?" Aya melontarkan pertanyaan yang sejalur dengan isi pikiranku. Akiyama hanya membalasnya dengan tawa ringan sebelum bel berbunyi mengakhiri percakapan kami.

Sepertinya benar kata Akiyama. Dari apa yang ku lihat dia orang yang dingin dan cukup pendiam. Hanya berbicara secukupnya pada guru atau teman sebangkunya.

Aku terus memandanginya hingga semua pelajaran usai. Untung saja pelajaran hari ini hanya perkenalan. Kalau tidak, bisa-bisa aku ketinggalan banyak materi.

Jujur, saat aku melihatnya entah kenapa ada perasaan nyaman dalam diriku. Aneh bukan? Aku tidak pernah begini pada orang asing sebelumnya.

Benar juga, setelah kupikir-pikir ini agak aneh. Apa aku pernah mengenal anak itu dulunya? Dari sekian ratus anak di sekolah ini, dan sekian ratus anak yang ada di angkatan yang sama denganku, aku tidak pernah merasa seperti ini. Kuakui aku payah dalam mengingat wajah atau nama orang baru.

"Lo beneran bucin." Ucap Aya dengan menegaskan kata 'bucin', saat aku membereskan buku dan bersiap untuk pulang sambil termenung. Fuyumi Jun sudah meninggalkan bangkunya dari tadi, tapi masih belum meninggalkan pikiranku hingga saat ini-hehe.

"Ngga apa-apa, setiap orang akan jadi bucin pada waktunya." aku tersenyum santai menatap Aya dan disambut tatapan jijik darinya.

"Astaga, waktu jatuh tadi otak lo ikutan jatuh terus ketinggalan di depan papan pengumuman ya?"

Aku menyikut perutnya pelan dengan seringai tipis terukir di bibirku. "Bukan otakku yang jatuh, tapi hatiku yang jatuh padanya. Ahahaha," Aku tertawa dengan jokes yang kulempar sendiri. Oke, yang barusan itu memang menggelikan.

"Shit, cringe!" Aya hanya bisa bergidik lalu menggelengkan kepala, pasrah karenaku. "By the way ada cafe baru buka deket stasiun, lagi mau jajan nggak?" Lanjutnya.

Aku berpikir sejenak. Sepertinya aku melupakan sesuatu.

"Nanti kamu pulang agak cepat ya, papa mau ngomong."

Oh iya, papa! Untung aja inget.

"Maaf, kayaknya gue pass dulu buat hari ini. Papa nyuruh pulang cepet."

"Ah, okay. See you then." Aya melambaikan tangannya dan menghilang dibalik pintu kelas.

Aku ikut berjalan keluar kelas, lalu bergegas menuju gerbang karena hari ini Kak Haru tidak menjemputku.

Papa mau ngomong apa sih? Entah kenapa aku jadi takut pulang.

Ada apa ya? Nggak biasanya papa mau ngobrol serius denganku.

  
  
  

- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -

  
  
  

"Pa, aku pulang-"

"Sini." Panggil suara yang kukenal sebagai suara papa dari ruang tamu.

Aku menurut dan berjalan pelan ke ruang tamu lalu menemukan papa dan mama disana dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan.

Oke, aku semakin takut.

Mama mengisyaratkanku untuk ikut duduk di sofa-dihadapan mereka, dan aku menurutinya kembali.

"Ada apa? Pa? Ma?"

Papa menatapku lekat saat aku bertanya, kemudian membuka suara "Kamu ikut perjodohan ya? Sama anak temennya papa,"

Hah? Gimana-gimana?

Ikut perjodohan? Aku dijodohin gitu? Sama anak temannya papa? Nikah muda? Tiba-tiba banget?

Oke aku lagi ngga mau mengumpat untuk sekarang tapi-anjir?

"Maksudnya?" Aku menelengkan kepala, masih memikirkan kemungkinan terburuk dari perkataan papa tadi.

"Teman papamu ini punya anak yang seumuran denganmu, begitu dia lulus perguruan tinggi dia harus melanjutkan perusahaan ayahnya. Beliau tidak ingin anaknya memiliki pasangan hidup yang tidak baik, maka dari itu orang itu milih kamu-apalagi beliau sudah kenal baik dengan papamu." Mama menambahkan penjelasan dengan panjang lebar.

Aku mencerna kata-kata mama sebentar lalu bertanya, "setelah lulus kuliah kan? Kenapa harus diomongin sekarang? Kan bisa aja waktu kuliah dia punya pacar, terus-"

"Nggak akan sempat," sela papa sebelum aku menyelesaikan seluruh rentetan pertanyaanku.

"Nggak sempat apanya? Itu masih lama pa! Kata mama tadi, dia seumuran sama aku kan? Berarti kita sama-sama masih sekolah, kenapa harus buru-buru ni-"

"Kamu nurut sekali aja bisa nggak?!" Papa kembali menyela dengan suara yang agak tinggi dan menyalang.

Oh, aku mengerti sekarang. Meskipun kejadian ini agak tidak masuk akal.

Aku dijual.

'Anak teman papa' itu harus menjadi penerus perusahaan kan? Berarti aku dijual oleh keluargaku sendiri untuk mendapatkan kekayaan mereka yang notabenenya akan mereka gunakan untuk kelangsungan hidupku dan keluargaku.

Ya, karena aku istri anaknya. Karena aku yang akan 'memproduksi' penerus mereka. Sialan.

"Aku ga boleh nolak ini?" Ucapku singkat, memastikan apa aku bisa melarikan diri dari perjodohan yang bodoh ini dengan cara baik-baik.

Mama dan papa tidak menjawab, mereka hanya menatapku khawatir. Atau bolehkah kusebut ini tatapan belas kasihan?

Ting tong.

Suara bel rumah yang di tekan dari luar membuat ayahku berdiri. "Mereka sudah disini, jaga sopan santunmu."

Mereka udah datang-SEKARANG?!

Berarti aku memang ngga punya kesempatan untuk menolak hal konyol ini. Wah rasanya aku ingin mengucapkan selamat untuk diriku sendiri.

Selamat, kamu telah dijual demi uang bahkan sebelum kamu menamatkan pendidikan dasar.

Aneh, semua yang terjadi hari ini terkesan aneh bagiku. Baik di rumah atau di sekolah, semua kejadian terasa asing dan terjadi secara tiba-tiba. Dan kurasa puncaknya adalah saat ini.

Mama-yang sebelumnya duduk berhadapan denganku-memindahkan posisinya untuk berdiri di sebelahku. Aku ikut bangkit berdiri untuk menyambut 'keluarga calon suamiku' itu.

Sebelum mereka masuk, mama membisik pelan di telingaku, "Sayang, maafkan mama ya? Mama juga ngga bisa bantu, ikuti saja papamu ya nak?"

Mama saja tidak punya pilihan, apalagi aku?

Ingin aku tertawa sekarang. Hidupku klise banget ya?

Beberapa orang mulai masuk ke ruang tamu kami, diikuti papa yang mengekor di belakang mereka. Wah, mereka benar-benar dari kasta yang berbeda. Pakaian mewah mereka yang simpel justru membuat mereka menjadi makin berwibawa.

Tunggu, satu orang mengenakan seragam. Seragam... sekolahku?

Orang itu paling pendek diantara kedua lainnya yang kuyakini sebagai anak mereka-atau calon suamiku.

Eh? Dia-

"FUYUMI JUN?!"

  
  
     

冬 - started.


  

Hai semuanya!
Dijodohin sama mas crush nih, gimana dong?

Jangan lupa tinggalkan jejak ya~
Lope u all :3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top