冬 - Eccedentesiast [1.18]
"AHAHAHAH KOMUK LO SUMPAH! AHAHAH—BENGEK GUE." Tawa Nakamura terdengar menggelegar sekaligus menyebalkan di indera pendengaranku.
Kalo gue bilang gue mulai suka Fuyumi, lo gimana? Katanya tadi.
Tapi belum sempat aku berkata apa-apa dia sudah tertawa seperti orang gila.
Nakamura menghapus air matanya yang sedikit keluar, lalu mengatur nafas. Walaupun sesekali gagal karna dia masih tertawa kecil.
Aku kayak orang bego beneran sekarang. :)
"Udah?" Tanyaku saat dia mulai tenang.
Gadis itu tersenyum penuh arti padaku, "yang tadi boong kok, karna gue nyerah."
Aku langsung mngerutkan alisku. Jelas aku bingung. Apa maksudnya nyerah?
"FY Media udah nyetujuin proyek kerja sama yang diajuin ayah." Jawabnya seakan mengerti pandangan bingungku. Sepertinya dia ingin berbicara panjang sehingga aku memutuskan untuk diam dan mendengarkan.
"Lagian Fuyumi Jun juga udah tau tentang dia." Lanjutnya sambil mendongak—menatap langit yang sedikit berawan tapi tak memiliki tanda untuk turun hujan.
Aku tidak sebodoh itu untuk ridak mengerti siapa dia yang dimaksud. "Tentang Chika?" Tanyaku pelan.
Dia mengangguk sekilas lalu melanjutkan perkataannya. "Entah kenapa gue ngerasa kalo Chika yang menghentikan rencana jahat gue buat Fuyumi Jun. Entah kenapa, firasat gue mengatakan dia yang beritahu semua ke Fuyumi, mulai dari kenyataan dia udah meninggal dan gue yang pura-pura jadi dia."
"Gue bukannya punya indera lain ya, tapi gue cukup deket sama Chika dulu. Dan entah kenapa gue bisa merasakan itu. Gue bahkan merasa bahwa Chika memperingati gue buat nggak jahat sama lo." Lanjutnya sambil kini menoleh ke arahku.
"Makasih, udah jadi satu-satunya orang yang bela adek gue enam tahun yang lalu."
Aku menunduk lalu memoriku kembali terputar pada kejadian enam tahun yang lalu.
Bagaimana aku merengek pada paman karena kasus gadis kecil itu yang tiba-tiba ditutup.
"Nggak baik kerja dengan terlalu melibatkan perasaan, jadilah lebih profesional." Kata paman saat itu.
Keadilan huh? Aku sejak saat itu belajar, bahwa semua keadilan dilandaskan dengan uang.
Tapi sebenarnya aku sedikit heran, kenapa gadis ini bisa tau kejadian sedetail itu bahkan ketika aku hampir melupakannya.
"Kalo lo bertanya-tanya dari mana gue tau semua itu, Nakamura Yuto itu kakak sepupu gue."
HAH?
"Jadi selama ini gue dikelilingin Nakamura." Kataku sambil mengacak pelan rambutku frustasi.
"Dan begonya lo ga sadar."
"Bacot."
Nakamura Yuna kembali dengan tawa menyebalkannya, untungnya dia segera melanjutkan uraian ceritanya. "Yah intinya, Fuyumi udah tau dan kami putus. Kalo kalian mau balikan, balikan sana gue udah nggak peduli. Lagian Fuyumi Jun mau pacaran sama gue karna kasihan aja kok, dia kan ngira gue Chika."
"Segampang itu?"
"Ya mau gimana lagi, ayah gue yang selalu ngelobi buat jodohin gue sama Fuyumi juga nggak pernah berhasil. Gue mah pasrah aja ke ayah." Katanya sambil memutar bola mata jengah.
"Lagian ya, misi gue bikin dia menderita udah berhasil. Bahkan dia menderita lebih dari yang gue rencanakan, padahal cuma gue pisahin sama lo." Tawa sinis yang mengakhiri ucapannya membuatku kembali jengkel.
"Dia bucin banget sama lo, ga tahan gue lihatnya. Untung udah baikan kalian berdua." Lanjutnya yang menbuatku langsung menoleh tidak terima. "Sejak kapan gue baikan sama dia? Jangan sotoy lo." Balasku datar.
Nakamura menaikkan sebelah alisnya tanpak sedikit bingung.
"Bukannya lo berdua tadi berbuat maksiat di UKS?"
- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -
Sejak saat itu aku dan Nakamura tidak berteman. Yah, tidak musuhan juga sih.
Biasanya jika orang berapapasan akan saling tersenyum ramah, tapi jika itu kami maka senyum miring yang akan terlihat.
Lalu untuk masalah dengan Fuyumi Jun...
Sebenarnya aku agak sedikit bersalah padanya. Aku terlalu marah saat mengingat bahwa dia menciumku saat masih jadian dengan Nakamura, tapi ternyata mereka sudah putus.
Tapi itu juga salahnya, karna sampai sekarang pun dia tidak berniat menjelaskannya padaku.
Ah iya, kurasa dia sekarang mulai menjauh.
Aku jadi bertanya-tanya apa kejadian di UKS itu benar-benar terjadi atau hanya khayalanku yang terlalu memikirkannya. Karna kami hampir tidak pernah berinteraksi.
Hingga saat ini.
Sore itu, di saat jam pulang sekolah. Aku yang tengah menuruni tangga beriringan dengan Akiyama dan Aya, tiba-tiba ditarik dari sana—diculik dan dibawa ke dalam sedan hitam yang kuhafal benar siapa pemiliknya.
"Lo mau bawa gue kemana?" Lelaki yang tengah menyalakan mesin mobilnya itu hanya melirikku sekilas dan tidak menjawab. Akhirnya aku mendengus kecil lalu memakai seatbelt.
Jujur saja dengan melihat interior mobil ini aku sudah rindu dengan bagaimana kami dulu sering memakai mobil ini untuk berburu sejumlah street food pada malam hari.
Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dia akan membawaku kemana. Aku sudah terlalu lelah.
Hari ini aku ada tugas presentasi dan terus dicerca oleh pertanyaan dari sang guru. Dan akhirnya guru itu mengatakan "sebenarnya saya masih kurang puas, tapi sudahlah kamu boleh duduk." Setelah pertanyaan yang jumlahnya sependuduk Amerika Serikat itu dia masih mengatakan kurang puas? Apalagi yang perlu kujelaskan huh?!
"Hey, bangun."
Suara dan tepukan lembut yang kurasakan di pipiku membuat kesadaranku perlahan kembali. Kemudian ketika aku membuka mataku langit di luar sudah terlihat agak gelap.
"Dimana ini?"
Lelaki yang kutanyai itu tidak menjawab malah langsung keluar dari mobil. Aku mendengus lalu meregangkan badan sedikit. Namun tiba-tiba pintu di sebelahku terbuka dan menampilkan sosok tadi yang kini tengah mengulurkan tangannya padaku. "Ayo."
"Ayo apa?"
Aku dapat mendengarnya mendecak sebelum menarik tanganku untuk ikut keluar dari dalam mobil.
Gemerlap lampu dari tempat itu langsung membuatku teringat, ini adalah tempat yang sering kukunjungi dengannya dulu. Food Festival.
Ah, aku lupa ini awal bulan. Pantas saja tempat ini buka.
"Mau makan apa?" Dengan tangan kami yang tetap bertautan, dia menggeretku sambil berjalan.
Aku menimang sebentar, "nggak deh nanggung, nunggu makan malem aja."
"Tapi ini udah malem."
"Lah berarti tadi gue tidur lama banget dong." Aku segera merogoh saku rokku lalu melihat lockscreen hp—benar saja tertulis 05.30 p.m. disana.
Dia tertawa pelan, lalu membalas "lama banget kayak kebo."
Aku langsung melotot ke arahnya dan tawanya bertambah keras. "Mau udon nggak?" Tanyanya mengalihkan.
"Boleh deh." Jawabku sambil mengangguk sekilas. Cowok itu lalu mengangkat tangannya untuk membenarkan rambutku yang terkena angin, "masih ngantuk?"
Aku mengangguk sekali lagi dan dia malah mencubit hidungku, membuat mataku yang semula mau menutup sekarang terbuka lebar.
"Duduk situ, aku pesenin. Tapi jangan ditinggal tidur dulu, nggak ada yang jagain." Katanya sambil menarik tanganku ke salah satu bangku kosong.
Aku menengadah ke arahnya sambil memasang wajah bingung, "jagain apa? Lo mau nitip jagain kunci mobil—"
"Jagain kamu lah, kan akunya ke stand udon."
Pipiku terasa menghangat, dan getaran di dadaku masih terasa seperti dulu.
Sialan lo Fuyumi Jun.
"Udah pokoknya jangan tidur dulu sampe aku balik." Dia mengacak rambutku sebentar sebelum berlari ke arah stand makanan berkuah itu.
Angin malam berhembus lembut menyapa kulitku, membuatku semakin ingin terlelap. Aku duduk semakin meringkuk dan meletakkan kepalaku diatas meja. Tenang saja, aku tetap berusaha membuka mataku.
Yah, walaupun semakin sulit—
Pluk.
"Dibilangin jangan tidur dulu."
"Abis lama." Cibirku sambil menutup mata, tidak mempedulikan bahuku yang sedikit berat karna dia meletakkan sesuatu di sana barusan.
"Maaf, tadi ambil jaket dulu di mobil. Pake yang bener jaketnya."
"Iya iya, cerewet." Aku terpaksa mengangkat kepalaku dan memakai jaketnya yang tadi hanya ia sampirkan di bahuku.
Lalu tepat setelah itu makanan kami datang dan membuat segala rasa kantukku pergi saat aroma kaldu itu mulai masuk ke hidungku. Namun setinggi apapun semangat makanku, hal itu tak dapat mengalahkan rasa penasaranku. "Jadi?" Tanyaku.
Dia yang baru mengangkat sumpit pun terlihat kebingungan, "jadi... apa?"
"Kenapa lo bawa gue kesini?"
Dia membeku, raut wajahnya berubah. Sumpitnya dia letakkan kembali lalu maniknya menatapku lurus. "Aku—"
"Fuyumi! Akhirnya ketemu, tadi liat mobilmu doang. Hey, disini nih anaknya."
Seorang remaja pria yang tak kukenal wajahnya tiba-tiba menepuk pundak Jun dari belakang. Tak lupa juga dia memanggil temannya yang lain, sehingga meja ini sekarang bertambah dua penghuni lagi.
Seorang perempuan yang tak kukenal juga kini duduk di sampingku, sedangkan laki-laki tadi duduk di samping Jun.
"Wiiih, siapa nih? Tumben kamu bawa cewek?" Dia menyenggol pundak Jun dengan sikutnya, dan yang disenggol sekarang menatap ragu ke arahku. "Dia..."
Melihatnya aneh, aku langsung saja memperkenalkan diriku—walaupun aku tidak tahu siapa orang-orang ini dan apa pentingnya mereka mengetahui namaku, tapi ya sudahlah. Aku menunduk singkat pada mereka, "Aku Wakazato—"
"Wakazato??" Tanya kedua orang itu serempak.
Aku terkejut dengan reaksi mereka. Tentu saja, karna yang biasanya terheran dengan nama margaku hanyalah...
"Berarti kamu benar adiknya Wakazato Haruna yang debutnya barusan itu ya?"
Hanyalah mereka dari kalangan itu.
Ah, harusnya aku tahu kalau Jun pasti punya teman sesama tuan muda. Dan kini dengan bodohnya aku menjatuhkan diriku.
"Eh tapi bukannya perjodohan kalian udah batal ya? Hmm, ada apa ini?" Tanya cewek di sebelahku, tapi aku dan Jun sama-sama memilih untuk tutup mulut.
"Tapi aku penasaran deh," Cowok itu kini menatapku lekat seakan menilai penampilanku dari ujung rambut. "Kenapa kamu nggak pernah dikenalkan sebelumnya? Bahkan kita nggak pernah tau kalau Wakazato Haruna punya adik."
Aku benci pertanyaan itu.
Karna aku memang tidak bisa menjawab apa-apa. Apa harus aku bilang secara gamblang? "Aku anggota kepolisian." Cari mati namanya.
"Tapi kalau diingat-ingat, generasi kita ini jarang ada yang debut sosialnya terlambat."
"Seingatku malah tidak ada yang terlambat. Tapi kalau yang memang tidak dibahas lagi ada, putra kedua Sato-san yang DUI* itu."
(*Driving Under Influence)
"Oh aku ingat itu, lalu ada satu lagi kan? Putri sulung Nakamura juga tidak pernah didebutkan sampai sekarang, kabarnya sih MBA*."
(*Married By Accident)
"Iya, pokoknya jarang banget makanya semua pada heran. Bahkan sempet tersebar kabar kamu anak pungut. Itu bener memangnya?"
Aku muak.
Like... seriously? Pertanyaan itu dengan mudahnya meluncur dari kedua orang asing itu. Kukira orang-orang yang mengaku kelas tinggi iru bakal berpendidikan.
Ternyata mulutnya aja nggak punya etika.
Aku menaruh kembali sumpitku lalu tersenyum pada kedua orang tadi. "Aku putri kandung Wakazato kok, tolong jangan disebar yang aneh-aneh ya?"
"O-oh, iya. Maaf ya,"
"Nggak apa-apa, aku permisi dulu kalau begitu. Duluan ya," aku segera bangkit dari dudukku lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga.
Debut di kalangan sosial itu merepotkan. Harus memenuhi semua ekspektasi orang, dan itu merepotkan.
Tidak masuk dalam kalangan sosial adalah satu-satunya hal yang kusuka dari pekerjaanku sebagai tim penyelidik. Setidaknya hingga perjodohanku dengan Fuyumi yang tiba-tiba.
"Mau kemana?"
Langkahku terhenti ketika ada tangan yang menahan pergelanganku. "Pulang lah?" Jawabku pada sang empunya tangan itu.
"Aku anter. Kamu kesini bareng aku, baliknya harus bareng aku juga." Dia menarik tanganku hingga kini kami berdua kembali duduk di dalam sedan hitamnya.
"Gue bisa pulang pake ojol—"
"Nggak." Jawabnya singkat dan langsung menyalakan mesin mobilnya.
Terserah.
冬 - to be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top