冬 - Eccedentesiast [1.11]

Sekarang pukul 17.00 yang berarti masih ada satu jam sebelum aku harus menghubungi kakakku lagi. Aku memasukkan handphoneku pada saku jaket lalu memilih masuk ke sebuah taman yang agak sepi.

"Lah lo udah disini toh, pantes bau dosanya kuat banget."

Si bangsat.

Aku menoleh ke belakang lalu memasang kuda-kuda siap baku hantam. Cowok itu tertawa puas lalu berjalan menuju ayunan yang kebetulan letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri sekarang. "Perasaan tadi waktu pulang kita karokean berempat deh, ga rela ya pisah sama cogan?"

Aku hanya memasang wajah ingin muntah sebagai jawabannya lalu beralih untuk duduk di ayunan yang satunya.

Memang itu sih alasanku agak terlambat pulang, karaokean berempat bareng Akiyama, Aya, dan Sakaki. Namun aku juga tidak bakal mengira kalau di apart sudah ada Nakamura-san.

"Bacot," Jawabku tak minat dengan ucapannya.

Dia menaikkan satu alisnya lalu bertanya, "Lagi ada masalah? Tumben banget ke daerah sini."

Aku menghela nafas kasar lalu menggerakkan ayunan yang kududuki untuk bergerak pelan.

"Beda, apa yang diceritain Jun sama apa yang gue liat itu beda."

"Hah?"

"Hah hah tukang keong."

Akiyama menggenggam salah satu rantai ayunanku yang bisa diagapai, "gue nggak ngerti bego, kalo cerita tuh yang jelas."

"Ya itu udah jelas."

"Ngga tau ah males." Akiyama bangkit dari duduknya namun belum sempat dia berjalan menjauh aku sudah mencekal tangannya terlebih dulu sambil tertawa. "Iya iyaa, jangan ngambekan ih gue pingin nampol."

Cowok itu merotasikan bola matanya kemudian memilih untuk bersandar di salah satu tiang sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Nakamura-san ada di apart Jun sekarang."

Akiyama mengeluarkan segala ekspresi berlebihannya tak lupa dengan telapak tangan kanannya yang menutup mulut. "Udah berani bawa simpanan ke rumah ya,"

Aku memilih untuk tertawa miris daripada mengomelinya, "salah gue sih, gue berulah lagi."

"Ah... lo liat?"

Aku mengangguk pelan, "lagian kakak gue aneh banget masa, kan gue penasaran jadinya."

"Aneh gimana?"

"Sebelum gue liat, kakak gue sempet nelpon gue dulu nyuruh gue buat ngusir Nakamura-san pergi dari sana tapi kalo nggak memungkinkan gue aja yang pergi gitu lah intinya."

Akiyama mengerutkan kening lalu menengadah ke atas, "kenapa kakak lo malah nyuruh ngusir tamu?"

"Nah itu makanya gue bilang aneh."

Dari semua kalimat abu-abu yang kudengar, seakan-akan kakak mengatakan,

Dia sumber bahayanya,

Singkirkan dia jika kalian berdua ingin selamat,

Tapi jika keadaan tidak memungkinkan,

Kaburlah lebih dulu.

"Dan akhirnya gue memilih kabur... ciri khas gue banget nggak sih? Selalu kabur haha..."

Aku menunduk lalu merasakan tangan Akiyama yang mengusak suraiku pelan, "gue tau lo nggak ada niatan kabur dari awal, jadi kenapa hm?"


- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -

Aku keluar kamar dan menemukan Nakamura-san tepat berdiri di depanku. Ya, tepat di depan pintu kamarku.

"Ke-kenapa?" Tanyaku sambil buru-buru menutup pintu dibelakangku agar dia tidak dapat melihat isi dalamnya.

"Itu ruangan apa?" Tanyanya sambil berkedip polos namun membuatku ketakutan setengah mati. Aku berusaha agar tetap terlihat tenang dan menjawabnya, "ruang belajarnya Jun, orangnya mana by the way?"

"Oh, lagi telpon sama ayahnya tapi lama banget jadi aku bingung mau ngapain." Jawabnya dan aku ber-oh ria sebentar.

"Aku mau liat dong, ruangannya." Katanya lagi yang membuatku mati-matian mengarahkan tubuhku untuk menghalaunya.

"Mmm... lebih baik kamu ijin dulu sama yang punya deh," plis plis percaya plis, aku nggak tau harus ngomong apa lagi.

"Kan cuma ruang belajar? Kamu aja boleh kenapa aku nggak boleh?" Kali ini tangannya yang terangkat untuk membuka kenop terpaksa kugenggam.

Dan saat itulah aku melihat, sebuah pemandangan menyakitkan yang tak seharusnya kulihat.

Ricuh,

orang-orang berlarian melewatiku.

Namun semua itu seakan hanya figuran yang tak penting karena bagaimana pun fokusnya adalah sebuah panggung yang terdapat tepat di depan pandangannya.

Seorang anak laki-laki diatas panggung itu ditarik oleh seorang yang jauh lebih dewasa dibanding dirinya.

Dan sebelum diseret meninggalkan panggung,

anak itu memandang nanar seorang gadis disebelahnya yang berlumuran darah.

DEG.

Aku langsung menghempaskan tangan itu dari genggamanku setelah dengan lancang aku melihat potongan adegan itu.

"Akh... sakit..."

"Nakamura-san!"

Lirihan dan teriakan dari kejauhan yang bersamaan itu menyadarkanku dari lamunan.

"Ah, maaf aku nggak bermaksud—"

"Kamu ngapain sih?" Pertanyaan itu menyela bahkan sebelum aku sempat menyentuh tangan gadis itu untuk memastikan apakah dia baik-baik saja.

Nada dingin dan tatapan kecewa.

Mengingatkanku pada pertemuan kami di rumahku.

"Nakamura-san kenapa kesini? Kita lanjut di ruang tengah lagi aja ya?" Intonasi itu berubah 180 derajat, terdengar sangat lembut di telingaku. Namun sayangnya itu tidak ditujukan kepadaku.

"Jun,"

Nakamura-san berjalan mendahului Jun menuju ruang tengah karena aku mencegat tangan cowok itu.

"Apa?"

Oh shit, kenapa dia jadi serem banget gini sih?

Aku menimang sebentar apa yang harus kukatakan padanya, dan pilihanku jatuh pada—katakan sejujurnya.

"Dia bukan orang yang kamu cari. Dia—"

Jun menghempaskan genggaman tanganku dengan kasar lalu menatap intens netraku dengan tatapan yang jauh lebih kecewa.

"Harusnya cukup ayah yang nggak percaya, kenapa harus kamu juga?" Pertanyaannya dengan penuh penekanan membuatku beku di tempat.

"Aku kira aku bisa percaya kamu? Tapi apa sekarang? Kamu selama ini orang dalam ayah bukan sih?"

Aku mengerutkan dahi tidak terima dengan ucapannya yang satu itu, "aku bahkan nggak tau kamu ada masalah apa lagi sama ayahmu—"

"Mending kamu pergi dulu dari sini."





"Oke, fine. Memang itu kan yang dari awal kamu mau?"

Aku berlari sekencang mungkin lalu menutup pintu apartemen itu dengan tidak tau diri.

Masih berjalan dengan menghentakkan kaki, begitu aku sampai di lantai dasar gedung apartement itu aku mengambil ponselku dan menghubungi log teratas.

"Lo dimana?"

"Hah? Di rumah lah,"

"Gue kesana."

"Woi—" piiiippp


- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -

"Jadi yang lo liat itu..."

Aku mengangguk sekilas, "Iya, punya Nakamura-san."

Akiyama menghela nafas dan memandang ke arah langit, sepertinya masih mencerna ceritaku. "Lo yakin kalau memang apa yang diceritain Jun beda sama apa yang lo liat? Maksud gue, lo liat kejadian yang sama kan?"

Ah iya, mungkin akan sulit dicerna Akiyama karena aku tidak menceritakan detail masa lalu Jun.

Meskipun emosi aku masih tau privasi orang ya, nggak kayak orang yang tiba-tiba ngajak cewek ke rumah itu.

Ah, tapi setelah kuingat-ingat tadi aku juga tidak sengaja mengusik ingatan orang—ya sudah lah anggap saja aku memang lancang. Padahal biasanya tidak seperti itu, kurasa karena aku terlalu penasaran dengan sosok gadis kalem itu.

Dan ya, aku memang melihat kejadian yang sama.

Tragedi di sebuah kompetisi piano, persis seperti apa yang diceritakan Jun.



Tapi...



Jika memang Nakamura-san adalah si penyelamat,


Kenapa aku melihat memorinya dari sudut pandang kursi penonton?


Kalau memang dia yang menyelamatkan Jun,


Kenapa Nakamura-san 6 tahun yang lalu dapat melihat gadis kecil yang bersimbah darah itu?


冬 - to be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top