冬 - Eccedentesiast [1.10]
"Itu yang pake cardigan kuning,"
Aku agak menyipitkan mata untuk melihat sosok yang dimaksud oleh Akiyama barusan. Kebetulan daerah kantin yang dekat stand penjual memang lebih ramai dari pada yang lain, jadi agak susah untuk menaruh perhatian pada sosok yang khusus.
Cardigan kuning... ah ketemu!
Loh, kok?
"Lah itu kan yang kemarin ke kelas kita? Yang nyasar trus lo anter itu kan?" Akiyama hanya mengangguk sebagai jawaban karena dia masih sibuk menggigiti sedotan es tehnya.
"Kenapa lo tiba-tiba nyari anak itu?" Tanya Aya yang barusan menyelesaikan buburnya. Aku menggeleng, "nggak nyari juga sih tapi penasaran aja, soalnya jarang ada yang masuk tengah semester gini."
"Ooh... gue kira mau lo labrak gegara kemaren nempelin Fuyumi." Aku hanya menatapnya malas, mau protes tapi males soalnya mereka sering banget ngejeknya sampe kebal.
Tapi sebenarnya rasa penasaranku juga berhubungan dengan Jun.
Kenapa? Karena cewek itu, cewek dengan cardigan kuning itu, adalah orang yang dimaksud Jun kemarin malam.
Si penyelamat.
Nakamura Yuna.
"Nakamura Yuna, baru pindah kesini kemarin—ah iya kelasnya 12 Ipa 2, kelas sebelah. Katanya sih anak orang kaya, soalnya banyak yang liat kalo jemputannya pake X7." Akiyama menjelaskan panjang lebar membuat mulutku dan Aya ternganga lebar.
"Anjing—ginjal gue bergetar." Kataku sambil meringkuk dan memeluk perutku.
"Ya kan, tau gitu kemarin langsung gue pepet. Sapa tau nular duitnya," balas Akiyama.
"Ya udah sekarang tuh petrus jakandor gas!" Aya dengan seenaknya mendorong Akiyama hingga cowok itu hampir terjungkal karenanya. "Eitt, canda doang elah gue mah loyal orangnya."
"Idih loyal tapi lemah, tiap..."
Dua orang yang duduk di seberangku asik berdebat namun aku memilih memperhatikan gadis itu sekali lagi.
Cantik.
Kalem.
Ah iya, kaya.
Nyaris sempurna.
Aku hanya bisa tersenyum miris ketika memikirkan bahwa semua kata-kata itu berbanding terbalik dengan diriku. Nggak bakal kaget juga sih kalau Jun suka sama yang modelan begitu, lagipula cewek itu juga mempunyai nilai plus yang tak bisa ditandingi siapa pun—penyelamat hidupnya.
Netraku tiba-tiba menangkap sesosok yang dari tadi memenuhi pikuranku. Jun, berjalan bersama Sakaki disebelahnya dengan makan siang di tangannya.
Ketika manik kami bertemu aku langsung mengulas senyum, semoga senyumku tidak terlihat canggung. Untungnya dia membalas senyum lalu berjalan mendekat.
Namun langkah cowok itu terhenti ketika ada orang yang menahan tangannya dari belakang.
Orang itu... ah iya, Nakamura-san.
"Eh, eh, apa-apaan tuh." Suara Akiyama menyadarkanku meski agak berbisik. Sepertinya dia tau bahwa dari tadi aku melihat kedua orang itu.
Nakamura kemudian menarik tangan Jun dan mereka keluar dari kantin bersama. Hanya tarikan lembut, maksudku karna Jun memang tak terlihat berminat untuk melawan.
Tapi aku bahkan tidak pernah menyentuh jari itu.
Kenapa dadaku tiba-tiba terasa panas?
"Udah jangan diliatin, mungkin cuma dipanggil guru." Kata Akiyama kemudian karena aku tak kunjung menolehkan kepalaku.
Aku memang masih sedikit tidak rela ketika melihat kejadian barusan, tapi ada sesuatu lain yang membuatku masih tetap melihat ke arah itu.
"Enggak... tapi itu kasian Sakakinya ditinggal."
- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -
"Kamu kepikiran tentang Nakamura-san?"
"Hah?" Suara Sakaki disebelah lantas membuyarkan segala khayalan dan lamunanku.
Tadi saat aku melihat Sakaki yang kebingungan karena ditinggal, Akiyama langsung memanggil cowok itu untuk bergabung dengan kami. Dan berakhirlah dia duduk di sini sekarang, di sebelahku.
"Yah... agak,"
Sakaki termenung sejenak. "Kamu... ngerasa kalau dia berbahaya?"
Aku mengernyitkan dahi lalu menatapnya. Berbahaya? "Maksudnya? Tapi dia yang dulu nyelametin Jun kan? Kenapa harus bahaya?"
Setelah mendengarkan rentetan pertanyaanku alis Sakaki langsung bertaut. Terlihat bingung dan terkejut.
Bentar deh, reaksi apa-apan itu?
Memangnya Sakaki nggak tau tentang insiden itu? Kukira dia pasti tau karena sudah berteman dengan Jun sejak kecil. "Be-bentar, kamu nggak tau insiden itu?" Tanyaku memastikan.
"Kalau yang kamu maksud insiden 6 tahun lalu aku tau."
Aku langsung mengangguk, "iya itu maksudku, orang yang nyelametin Jun dari insiden itu."
"Hah? Nggak mungkin—"
"Kalian berdua dari tadi ngeteh apa julid sih? Bisik-bisik mulu." Perkataan Akiyama menyela percakapan kami. Ah iya sampai lupa kalo masih ada dua curut ini di depanku.
"Minta jawaban fisika, tapi sama Sakaki malah diceramahin akunya." Jawabku sesantai mungkin agar mereka tidak curiga.
"Ih Sakaki nggak boleh gitu, azab orang nggak mau berbagi contekan itu nanti pantatnya dielus-elus biawak." Mendengar nasihat Aya yang sangat masuk akal, Sakaki pun terlihat semakin mengerutkan dahinya.
- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -
Sebulan setelah itu, hubunganku dengan Jun masih baik-baik saja. Tidak ada sesuatu yang spesial, hanya dia yang semakin sering pergi bersama dengan Nakamura Yuna.
Bahkan sepertinya posisi Sakaki Natsuki mulai tergantikan dengan kehadiran cewek itu. Sebenarnya hal itu tidak terlalu kupedulikan, toh itu urusannya dan tidak ada dampak apa-apa bagi kehidupanku. Tapi sekarang rasanya ketidakpedulianku sudah hilang entah kemana.
Bagaimana tidak, aku melihat cewek itu berada di rumahku—ah bukan, lebih tepatnya di apartemen Jun.
Harusnya aku tidak masalah.
Iya tidak masalah kan? Ini apart Jun, jadi terserah dia.
Tapi kenapa rasanya mau ngomong kasar ya?
Ketika aku berhasil membuka pintu, Fuyumi Jun langsung menyambutku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Saat aku mau bertanya, ada seorang cewek yang muncul dari ruang tengah. "Itu siapa, Fuyumi-kun?" Dia menanyakanku seakan aku yang asing di sini.
"A-ah dia teman sekelasku."
Teman sekelas—haha. Ternyata memang aku orang asing disini hm?
"Hai! Nakamura-san, benar kan?" Sapaku yang membuat dia hanya mengangguk canggung. "Aku cuma ngambil barang ketinggalan kok, laptopku dimana?"
Alibiku itu membuat Jun menatapku dengan tatapan sungkan—hm, tapi lebih terlihat seperti dia mengasihaniku.
"Di ruang belajarku, pintu putih–"
Itu kamarku, sialan.
Aku langsung berjalan melewati Jun menuju ruang belajar yang dimaksudnya dan tanpa menoleh sedikitpun ke arah cowok itu. Entah kenapa aku dapat merasakan amarahku semakin besar ketika aku melihatnya.
Aku hanya berniat untuk mengambil laptopku sebagai bukti sandiwara yang kubuat agar Nakamura-san tidak kecewa. Ya, kami tidak boleh ketahuan kalau tinggal seatap.
Itu keinginannya untuk menutupi perjodohan kami.
Tapi kenapa dia malah menyulitkanku dengan membawa seorang gadis kesini?
Kenapa rasanya hanya aku yang berjuang?
Kenapa pula aku harus menuruti perkataannya?
Sakit, bangsat.
Tuk.
Aku melihat setetes air jatuh ke atas laptop yang berada di meja belajarku lalu aku lekas memegang ke dua pipiku—basah.
Kenapa aku selemah ini hm?
Aku mengusak kasar wajahku untuk mengelap air mata lalu menatap ke arah cermin nakas, memastikan mataku tidak terlihat terlalu sembab atau merah.
Aku buru-buru memasukkan laptopku ke dalam tas. Namun baru saja aku menutup resleting tas, handphoneku bergetar diiringi berbunyinya nada dering yang untungnya kupasang tidak terlalu keras.
Haru-nii✨ is calling
Hm? Tumben banget?
"Halo dek? Kamu dimana?" Suara khas yang sangat ku hafal itu langsung memenuhi indera pendengaranku.
"Di apart Jun, kenapa?" Jawabku agak pelan mengingat ada tamu di luar.
"Oh bagus deh, kalau bisa jangan keluar ya."
"Hah, kenapa? Tapi aku habis gini harus keluar, kak." Aku mengernyitkan dahi. Ini aneh, tidak biasanya kakak menyuruh seperti ini.
Aku yang merasa agak sedikit aneh kemudian berjalan mendekat ke arah jendela, agar suaraku semakin aman dari pendengaran Nakamura-san... dan Jun.
"Penting nggak keluarnya? Nggak bisa ditunda?" Tanya orang di seberang telepon bertubi-tubi membuatku semakin keheranan.
"Bukan gitu, ini masalahnya Jun bawa tamu ke apart."
"Siapa?"
"Nakamura Yuna, anak ipa 2. Kakak tau nggak?"
Hening. Bahkan aku tidak mendengar nafas kakakku dari sana.
Selama keheningan sejenak di sambungan telepon kami, aku melihat keluar jendela tapi buru-buru kualihkan atensiku kembali pada kamarku.
Karena di luar sana aku melihat ada orang berhoodie hitam yang juga menatap lurus ke arahku.
"Ha-halo... kak?" Tanyaku memastikan karena kakakku tetap terdiam dari tadi.
"Dek, kamu bisa buat dia keluar dari sana?"
HAH?
"Hah, nggak mungkin bisa lah? Aku aja nggak kenal sama dia?" Tanyaku sedikit membentak tapi tetap mempertahankan suara agar tidak terlalu keras hingga dapat terdengar dari luar.
"Usir baik-baik, kamu bisa bilang tiba-tiba kalian ada kerja kelompok atau keperluan lain gitu? Ah atau kamu bisa pakai alasan Jun dipanggil buat latian band."
Aku menimang-nimang perkataannya sebentar. Kalau dengan alasan seperti itu memang tidak mustahil, tapi tetep aja sulit...
"Ta-tapi kak, aku nggak janji bisa..."
"Kalau gitu kamu aja yang keluar dari sana."
"Lah gimana sih? Tadi nggak bolehin pergi, sekarang malah nyuruh pergi?"
Aku dapat mendengar usakan frustasi dari sana, mau bagaimana lagi aku disini juga bingung.
"Gini aja, kamu pergi dari sana terserah mau main kemana tapi jangan lupa ajak temen! Shareloc, nanti kakak jemput jam 6."
冬 - to be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top