冬 - Eccedentesiast [1.09]

"GAMBRENG!"

"SERI MULU DAH!"

"LO JANGAN IKUT-IKUT GUE DONG!"

"IH SIAPA NGIKUT COBA?"

Sejak deep talk dengan Jun beberapa hari yang lalu, hari-hariku kembali berjalan seperti biasa. Tidak ada yang spesial.

Di sini lah aku, di pojok belakang kelas, gambreng bareng Aya dan Akiyama-yang kalah bakal jadi babu buat beli makan di kantin trus dibawa lagi naik ke sini + pake uang yang kalah. Fyi, kelas kami di lantai 3.

Maka dari itu, AKU GA BOLEH KALAH.

POKOKNYA GA BOLEH.

"GAMBRENG!"

Akiyama keluar kertas, Aya keluar gunting, aku keluar gunting. "YEAYYY!!" Sorakku sambil berpelukan dengan Aya.

Akiyama memandang kesal tangannya lalu memgumpat kecil, "anjing."

"Gue mau spagetti bolognise tapi kalo nggak ada carbonara aja gapapa." Celetuk Aya ketika Akiyama kembali ke bangkunya untuk mengambil dompet.

"MANA ADA?!" Tanyanya tidak terima.

"Ada bego, barusan buka sebelahnya bakso pak aji. Yang jual masih kakak-kakak brou sapa tau bonus nomer wa ye ga?"

"Hmm terserah," Akiyama memutar bola matanya sebentar sebelum melirik tajam ke arahku, tatapannya seakan mengatakan 'awas lo minta yang mahal juga'.

"Gue ayam geprek aja,"

"NAH! Gitu dong-"

"Tapi yang pake keju mozarela leleh ya! Level satu trus tambah gorengannya tempe dua aja, mbaknya hafal kok sama pesenan gue."

"TITISAN DAJJAL MEMANG LO BERDUA!" Akiyama berteriak begitu sambil melangkah keluar kelas dengan langkah yang agak dihentakkan. Aku dan Aya mah bodo amat, menulikan diri lalu terkikik melihatnya.

"Aduh puas banget gue,"

"Akiyama tuh jarang kalah gambreng, sekali kalah kudu dimanfaatin lah!"

"Bener banget, gue heran itu anak hoginya gede amat." Aku menimpali Aya yang masih memegangi perutnya karena capek tertawa.

"Eh tapi Akiyama baliknya bakal lama nggak sih?" Lanjutku sambil duduk di tempat dudukku. "Gue haus anjir, mana air minum gue udah habis lagi."

"Bakal lama sih, orang kita mintanya juga aneh-aneh." Aya tersenyum miris melihatku cemberut.

"Minum gue masih ada sih, mau?" Tawarnya yang membuatku langsung tersenyum lebar.

"MA-"

Duk.

Aduh.

Aku dapat merasakan puncak kepalaku tiba-tiba basah dan dingin, membuatku merinding dan langsung mendongak.

Aku menemukan Jun yang tengah menaruh sesuatu di atas kepalaku. "Aku salah beli, tapi nanti kalo aku buang kamu ngomel."

Aku menerima benda itu dari tangannya, sebuah botol pocari yang masih penuh isinya. "Ya iya lah mubazir tau, sini buat aku aja!"

Aku yang haus buru-buru menegak minuman itu. Lagipula Jun juga sudah berjalan kembali menuju bangkunya.

"Kalian pacaran?"

"UHUK-"

Aku terkejut setengah mampus, belum siap dengan pertanyaan dadakan itu. Aya yang ikut terkejut melihatku tersedak langsung menepuk-nepuk punggungku.

"Kenapa tiba-tiba lo tanya gitu sih?" Ucapku setelah menetralkan nafas.

"Y-ya habisnya aneh gitu kalo salah beli, orang tombolnya pocari sama ichiocha di VM aja LDR-an." Kata Aya sambil melirik ke arah Jun yang memegang botol ichiocha di salah satu tangannya.

(*VM: Vending Machine)

Lah, iya juga.

"Kesenggol kali,"

Jun memang sudah mulai banyak bicara dan tersenyum padaku, kurasa kami mulai nyaman dengan kehadiran masing-masing. Sebenernya aku mau berharap, tapi takut jatoh juga kalo berharapnya ketinggian.

Aya memutar mata lalu ikut duduk di kursi depanku. Kami ngobrol sebentar sebelum yang ditunggu-tunggu akhirnya dateng juga. Tapi kok-

Akiyama masuk dengan tangannya yang penuh membawa tiga porsi makanan. Oke, sampai sini belum ada yang aneh.

Tapi ada seorang gadis yang tidak kukenal, bahkan sepertinya aku tidak pernah melihatnnya di sekolah ini, mengekor pada Akiyama. Adik kelas kali ya?

Akiyama terlihat menunjuk sesuatu dengan dagunya dan gadis itu menunduk seakan berterima kasih.

"Siapa tuh? Kecengan baru?" Tanya Aya begitu Akiyama sampai di depan meja kami dan mengambil kursi asal untuk duduk.

Cowok itu menghembuskan nafas kasar lalu menjawab, "orang nyasar anjing, kecengan mulu lo kira gue fakboi?"

"Yailah ga seru," balas Aya dengan cibikan bibirnya.

"Ke kelas ini buat apa? Kok perasaan gue nggk pernah liat mukanya ya?" Akiyama sudah bersiap mengajak Aya ribut tapi teralihkan atensinya karena pertanyaanku.

Pemuda bersurai hijau terang itu menggedikan bahunya sambil menatapku. "Anak baru mungkin? Tapi kesini nyari calon suami lo masa,"

"Hah?"

"Itu, dia nyari Jun."

Dan benar, aku dapat melihat gadis itu asik ngobrol dengan Jun sekarang.

"Selingkuhan?"

"Gue belom nikah ya bangsat."

  
- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -
  

"Ba!"

Aku yang mau menempelkan keycard pada pintu apartemen terkejut dan berakhir menjatuhkan benda itu.

Aku merapalkan segala kata umpatan dalam hati pada si pemilik rumah yang sekarang temgah terkikik di belakangku.

Dulu dingin banget kayak es, sekarang malah kayak dajjal kelakuannya.

"Kok udah pulang?" Tanyaku mengingat dia yang jarang pulang tepat waktu.

"Nggak boleh?"

"Ya terserah sih..." Jawabku sambil mencibik pelan, membuat senyum remeh terpatri di wajahnya.

Cklik. Tiiiitt-

Aku mendengus sambil meliriknya tajam sebelum masuk ke dalam apart. Tapi langkahku harus berhenti ketika aku mendapati adak sesosok wanita paruh baya tepat di depanku.

"Aduh anak-anak bunda akhirnya pulang."

"Loh, bunda? Kenapa kesini?" Jun memunculkan kepala dari belakangku ketika mendengar suara bundanya.

"Kenapa? Nggak boleh?"

"Ng-nggak gitu bun..."

"Yaudah ayo masuk sini kalian berdua ngapain di depan pintu, kayak orang nagih utang aja." Meskipun berkata begitu nyatanya bunda hanya menarik tanganku dan meninggalkan anaknya yang sibuk menutup pintu.

Dan kini kami bertiga sudah berada di meja makan. Belum mandi, cuma cuci tangan trus dipaksa makan sekarang katanya keburu dingin. Padahal ini masih sore, masih kenyang huhu... mana tadi ayam gepreknya dikasih bonus sama abangnya lagi.

"Dek,"

Merasa dipanggil aku pun menurunkan sendok dan mendongak-menatap kearah wanita dihadapanku. "Iya bun?"

"Kamu nggak diapa-apain sama Jun kan?"

"UHUK-" Bukan, itu bukan aku, melainkan sang putra yang kebetulan duduk di sebelahku.

Aku buru-buru menaruh air ke dalam gelasnya dan menyodorkan itu kepadanya yang masih terbatuk.

"Bunda..." katanya kemudian sambil menatap bundanya dengan ekspresi meminta penjelasan.

"Ih, orang bunda nggak tanya kamu juga."

"Ya kan aku nggak mungkin macem-macem bun..."

"Nggak ada namanya maling ngaku maling, makanya bunda tanya dia bukan tanya kamu." Jawaban bunda membuat sang putra menggerutu pelan, namun aku dapat mendengarnya sedikit.

"Lagian kalo macem-macem aku bisa dibantai Haruna-san,"

Aku mengulas senyum lalu kembali menatap bunda yang masih menunggu jawabanku. "Jun nggak pernah ngapa-ngapain kok bun."

"Oke bagus kalo gitu, inget kalian belum resmi ya. Masih SMA juga, masih lama buat nikahnya."

"Lagian siapa juga yang maksa buat tinggal satu atap." Jun mencibir lagi, berasa nggak ada tukads-tukadsnya sama bunda sendiri.

"Protes mulu kamu tuh! Pasangan kamu aja nggak protes,"

"Dia tuh nggak protes karna nggak enak sama bunda, ya kan?" Dia tiba-tiba menolehkan kepalanya padaku hingga wajah kami hanya berjarak beberapa cm saja.

"E-eh?" Pikiranku langsung tidak karuan ketika menatap wajahnya dari jarak sedekat ini, apalagi ketika wangi maskulin entah dari shampo atau cologne yang dipakainya menyapa indera penciumanku. Sial, padahal dia mandi aja belom.

"Kok kamu paksa gitu sih? Takut tuh anaknya,"

"Nggak mau tau pokonya dia di pihak aku, bukan di pihak bunda sama ayah." Katanya sambil menggenggam tangan kiriku dan menjulurkan sedikit lidahnya untuk mengejek bundanya.

Sumpah kayak anak kecil.

Tapi lucu.

Lalu hari itu pun berlanjut dengan perdebatan-perdebatan kecil antara ibu dan anak dari keluarga Fuyumi.

Sekitar pukul 9 malam akhirnya bunda memutuskan untum kembali pulang karena urusan mendadak, padahal ingin menginap katanya. Jun yang mendengar hal itu langsung menampakkan seringai kemenangannya.

"Baik-baik disini,"

"Iyaa,"

"Dia itu putri bungsu keluarga Wakazato, dijaga yang bener!"

"Iyaaa,"

"Jangan macem-macem pokoknya kamu."

"Iya bundaaa..."

"Bunda tinggal dulu." Sebelum pergi Bunda mencium kedua pipiku dan anaknya bergantian, lalu berjalan keluar.

Aku dapat mendengar Jun mendengus lega ketika ibunya tak lagi terlihat karena terhalang oleh pintu.

"Akhirnya," kata sambil sedikit meregangkan badan.

Aku yang melihat itu hanya dapat tertawa kecil dan berniat kembali ke kamar sebelum suaranya kembali mencegatku.

"Hei,"

"Ya?"

"Mau pizza nggak?"

Anak ini stress lagi? Masa gara-gara bunda dateng?

"Hoii, mau nggak?"

Lagi. Dia mendekatkan wajahnya pada milikku lagi. Aku benci kebiasaannya yang baru ini, membuat jantungku senam poco-poco mulu.

"A-aku sih terserah,"

"Tadi kita dipaksa makan sama bunda sore banget loh, memang kamu nggak laper lagi?"

Ya, sebenarnya "agak laper juga sih..."

Senyumnya langsung mengembang lalu dia mengusak kepalaku sebentar sebelum melenggang pergi mengambil ponselnya di ruang tengah.

"Tuna melt mau?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu mendudukkan diriku di sofa. Aku menatapnya yang masih asik mengutak-atik smartphone-nya.

"Jun,"

"Hng?"

"Seneng banget keliatannya, ada apa?" Ya, setelah kupikir-pikir anak ini nggak mungkin hedon karna lagi stress. Jelas-jelas dari tadi dia cengar-cengir mulu.

Dia hanya diam sambil menatapku lekat, tapi tak lama kemudian menjawab.

"Memangnya aku nggak pernah keliatan seneng ya?" Bertanya balik sih, bukan menjawab.

"Bu-bukan gitu juga maksudku, emm-"

Melihatku gugup Jun malah tertawa puas. Dia meletakkan handphone-nya di meja lalu ikut duduk di sebelahku.

"Akhirnya aku ketemu dia,"

Dahiku berkerut mendengar pernyataan ambigu itu, "dia siapa?"

Dia menoleh ke arahku dengan senyum tertulus yang pernah kulihat darinya, tapi entah kenapa-

"Si penyelamatku."

Entah kenapa hatiku terasa sedikit sakit.

冬 - to be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top