冬 - Eccedentesiast [1.05]

Sialan.

Fuyumi Jun sialan.

Bisa-bisanya dia bilang dengan santainya, "ngerepotin tau nggak?", saat aku mengembalikan buku dan berterima kasih padanya.

"What the hell. Gue ngga pernah minta jawaban dari dia ya sat, dia sendiri yang tiba-tiba ngasih, pake dilempar lagi. Anjing lah." Kira-kira begitu lah kata-kata umpatan yang kulontarkan saat curhat pada Akiyama.

Kalau nggak ikhlas dari awal tidak perlu memberiku bukunya. Kan ngerepotin?

Aku berjalan meninggalkan gedung sekolah sambil sesekali mendengus kesal. Aya yang berjalan di sebelahku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yang penting doi nyelametin lo kan? Setidaknya lo nggak kena semprotnya Hazama-sensei." Kata Aya sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku menoleh ke arahnya, tidak terima dia membela Jun daripada aku. Dia temenku bukan sih?

"Tapi Ya, dia tuh-"

Tin.

Suara klakson mobil yang terdengar memekakkan telinga itu membuat kami berdua terkejut.

Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan kami, pantas saja suara klaksonnya keras sekali. Tapi kenspa mobil ini terasa tidak asing?

Jendela pengemudinya turun perlahan lalu menampakkan seorang bersurai hitam yang kukenal pasti. Fuyumi Jun.

Kemudian dia mengisyaratkanku untuk masuk kedalam mobilnya dengan dagunya.

Udah sinting.

Aku melirik sekitar. Seperti dugaanku, banyak siswa-siswa lain yang memperhatikan kami. Tentu saja sedan mengkilapnya itu akan terlihat biasa saja di parkiran mobil, tapi kalau berhenti tepat di depan gerbang masuk sekolah? Sinting.

Dan yang terpenting adalah, masih ada Aya disebelahku.

Katanya dia ingin merahasiakan hubungan aneh kami? Tapi apa yang dia lakukan sekarang?

Meskipun Aya sudah tau-karena kuberitahu tentunya. Tapi tetap saja Jun tidak tau kalau Aya sudah tau kan?

Aku melirik Aya untuk mencari bantuan, tapi dia hanya membalasku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Aya, lo jadi nemenin gue ke cafe yang baru buka itu kan?" Kataku yang berusaha melarikan diri.

Aya menatapku lalu memberi isyarat dengan jarinya untuk mendekatkan telingaku padanya. "Maaf, hari ini gue ada les balet." Bisiknya.

"Gue doain lo sampe di rumah dengan selamat deh. DAH!" Katanya sambil memukul ringan punggungku lalu berlari kecil meninggalkan sekolah.

Oh. My. God.

Aku kembali melihat Jun yang masih setia menunggu di depanku. Kali ini dia menatapku sambil tersenyum mengejek-mungkin karena dia tahu rencana pelarianku yang gagal barusan.

Aku memutar bola mataku dan menghela nafas sejenak, lalu memutuskan untuk memenuhi keinginannya.

Aku membuka pintu penumpang belakang bermaksud untuk cepat-cepat masuk tapi-terkunci.

Maunya apa sih?

Aku kembali menatap sang pengemudi yang masih memasang muka datarnya. "Maumu apa hah?" Tanyaku sambil berkacak pinggang.

"Duduk depan, aku bukan supirmu."

Aku mengernyitkan dahi, "Kamu mau aku yang nyetir?"

Dia menjawabku sambil memutar bola matanya, "Di sebelah kiriku, bodoh."

Oh, bilang dong.

Aku memutari mobilnya lalu masuk ke kursi sebelah pengemudi, untung kali ini pintunya mau terbuka. Aku cepat-cepat memasang seatbeltku lalu berkata padanya, "ada apa sih? Banyak orang tau, kalo ada yang curiga gimana?"

Tentu saja dia tidak menjawab, dia hanya melajukan mobilnya dan mengabaikanku.

Aku kaget? Tentu.

Tiba-tiba dia memaksaku untuk pulang bersamanya, ini adalah sebuah hal yang... aneh?

Aneh, bisa dibilang ini suatu pertanda. Entah pertanda baik atau buruk. Namun, pasti ada sesuatu yang akan terjadi.
  
  
  

- 𝓔𝓬𝓬𝓮𝓭𝓮𝓷𝓽𝓮𝓼𝓲𝓪𝓼𝓽 -

  
  
  
"Nah akhirnya pulang juga kalian,"

Mama?

Ya, begitu Jun membuka pintu apartmentnya aku langsung menangkap sosok mamaku yang berdiri di ambang pintu. Tidak hanya mama, di ruang tamu juga ada papa yang menunggu kami.

Ada orang tuaku di sini, pantas saja Jun memberiku tumpangan pulang. Seperti yang kuduga-itu adalah suatu pertanda.

Namun sepertinya, aku tahu apa yang akan terjadi.

Papa bakal marah. Pasti.

Tapi kenapa harus disini? Kenapa harus di apartemen Jun? Nggak bisa ya telpon aku aja buat ke rumah?

"Sore Jun. Maaf ya, om sama tante tiba-tiba datang." Sapa mamaku hangat pada lelaki disebelahku. Jun membalasnya dengan anggukan singkat, "tidak apa-apa, tante."

Setelah menerima balasan, mamaku kembali berjalan ke ruang tamu. Jun mulai melangkah, namun sebelum itu aku menarik lengan bajunya pelan lalu berbisik kepadanya, "Kamu mau langsung ke kamarmu?"

Tentu saja dia bingung dengan ucapanku, tapi itu memang kebiasaannya-pulang sekolah langsung mendekam di dalam kamar sampai keesokan paginya.

"Aku takut..." cicitku pelan, namun aku bingung bagaimana aku harus melanjutkan kalimatku.

Aku takut dia akan terganggu karena bentakan ayah akan sangat berisik. Meskipun dia lebih muda dari ayah, dia tetap tuan rumah.

Lagipula bagaimana aku bisa menahan malu nantinya jika membuat keributan di apartemen orang.

Aku terus melamun sampai ada sebuah tangan yang terulur mengusak pucuk kepalaku pelan, seakan-akan menyuruhku untuk tenang.

Tenang. Aku harus tenang.

Aku menengadah melihatnya, tangannya masih berada di kepalaku selama beberapa detik sebelum akhirnya turun dan dia berjalan kembali ke kamarnya. Dia melakukan semua itu dengan tampang datar, percaya nggak?

Aku berjalan dari lorong depan pintu ke ruang tamu dan duduk di sofa yang berhadapan dengan orang tuaku lalu melirik sekilas ke arah Jun yang membuka pintu kamarnya.

"Ada apa, Pa?" Tanyaku langsung pada papaku. Ya, karena aku tau pasti papa lah yang perlu bicara denganku-bukan mama.

"Kamu bicara apa pada Fuyumi?"

Nah kan, soal ini. Sudah kuduga, sepertinya aku memang berbakat menjadi detektif.

"Om Fuyumi? Cuma minta bantuan. Kenapa?"

"Kenapa kamu tolak?"

"Karena aku nggak mau."

"SIAPA KAMU SEENAKNYA MENOLAK HAH?!" Pria paruh baya itu mulai berteriak mengancamku dengan suara rendah namun lantang dan penuh penekanan.

Ini lah yang kutakutkan, ayah tidak pernah peduli dia mengeluarkan emosinya dimana saja atau kapan saja. Dia pasti tidak sadar bahwa sekarang ini dia sedang mempermalukan keluarganya sendiri dengan marah-marah seenaknya di apartemen seorang Fuyumi.

Kalau sudah begini ya sudahlah. Toh aku pun, udah nggak tahan.

Aku menghela nafas sebentar menenangkan diriku lalu menjawabnya dengan santai, "Om Fuyumi sendiri yang bilang 'tolong' sama aku pa, itu artinya aku boleh nolak kan?"

BRAK.

Aduh tolong jangan gebrak meja itu-itu terlihat mahal, kalau disuruh mengganti bagaimana?

"Lebih baik kamu dengarkan papamu-"

"Kenapa? Om Fuyumi baik-baik aja tuh kutolak permintaannya, kenapa papa yang marah?"

Papa mulai berdiri dan menatapku tajam, "Papa tidak menjodohkanmu untuk membuatmu memberontak dari papa."

"Memang, papa kan jodohin aku buat dapet uang."

Anjir mulut gue.

Aku mulai menyesal karena baru saja memicu amarah papa. Kini pria itu menatapku semakin nyalang dan aku hanya bisa berdoa beliau tidak menghancurkan apapun di sini.

"Anak ini, tau apa kamu soal uang hah?" Tiba-tiba saja papa mengambil tas sekolahku yang kutaruh di sebelah sofa. Awalnya aku tidak peduli, toh itu milikku bukan milik Jun ataupun keluarganya.

Hingga pria itu mulai mengobrak-abrik isi tasku dan mengeluarkan semua isi di dalamnya.

"Hah, sudah papa duga kamu masih suka ngelakuin hal nggak berguna ini hm?" Dia mengambil sekotak watercolor set yang ikut keluar bersama buku-buku pelajaranku.

Ou shit, please. Apapun kecuali itu!

Aku langsung berdiri meskipun badanku sudah mulai bergetar. Tak mau kalah, aku menatap balik papaku dan berkata, "Hal ini nggak ada hubungannya sama permintaan Om Fuyumi."

"Tapi karena hal ini kamu jadi anak yang nggak berguna!"

"Sayang!"

PRAK

Hancur sudah.

Meskipun tidak hancur sepenuhnya, barang yang kubeli dari hasil kerja kerasku hancur di depan mataku sendiri. Padahal dia tidak tahu betapa susahnya aku berkerja untuk membeli barang yang dia lempar itu.

"Nak, kamu dengarin papamu aja ya? sekali ini aja," Kata mama menenangkan kami berdua. Oh, tapi itu justru memicu amarahku.

Sekali ini katanya? "Kalau aku memang nggak pernah dengerin papa, aku pasti udah bahagia karna bisa lepas dari semua ini ma." Kataku sambil kembali duduk meringankan kakiku yang sudah bergetar hebat.

"KAMU-!" Papa kembali berteriak sambil melayangkan tangannya padaku.

Aku sudah tidak peduli sekaligus tidak punya tenaga untuk menghidar. Dan yang bisa kulakun hanyalah menutup mataku seerat mungkin, membayangkan rasa sakit yang akan kurasakan beberapa detik lagi.

Siapapun... tolong...

"Om, tante."

Suara dingin yang familiar itu melintas di telingaku. Suara dingin yang biasanya mencekam, entah kenapa kali ini terasa menenangkan.

Suara sang tuan rumah itu menyela perdebatan kami. Tangan ayahku masih melayang di udara karena terinterupsi olehnya. Nyaris sedikit lagi tangan itu akan mengenai kepalaku. Ya, itulah pemandangan pertama yang kulihat saat aku membuka mata.

Jun menatap papa dan mamaku bergantian, lalu sekali berkata pada mereka, "Om, tante. Saya mau pesan delivery makanan, om dan tante mau ikut makan disini atau..."

Mamaku langsung bangkit berdiri. "Om dan tante sudah mau pulang kok Jun, kalian makan berdua saja ya." Jawab mama. Kemudian mama langsung menarik papaku dan pamit untuk pulang.

Wah, sekilas tadi aku lupa ini bukan rumah kami sendiri.

Ya, ini bukan rumahku sendiri jadi aku tidak boleh menangis. Tidak di depan Jun. Tapi...

Air mata itu jatuh begitu saja dari pelupuk mataku. Ukh, kenapa aku jadi lemah begini sih?

Tuk.

Perhatianku berhasil teralihkan padanya yang menaruh sebuah mangkuk di meja ruang tamu. Dia duduk di sofa berhadapan denganku lalu menuangkan susu ke dalam mangkuk itu. Aku cepat-cepat menyeka mataku untuk melihat isi mangkuk itu.

Apa itu-sereal?

Setelah selesai menuangkan susu, dia menyorong mangkuk itu kearahku. "Nih, makan." Katanya.

Aku hanya menatapnya kebingungan. Sejak kapan dia sebaik ini?

Seakan mengerti tatapan bingungku, dia menjawab "Kata nenekku, orang sedih suka makanan manis. Makan dulu, habis gitu buruan mandi."

Itu artinya nenekmu suka makanan manis, bego.

"Pft-"

"Nga-ngapain ketawa?"

Tanpa sadar aku menertawainya, jujur sikap perhatian seperti ini tidak cocok dengan sikap-sikap dinginnya selama ini. Lalu... "sejak kapan kamu punya sereal?"

"Aku punya sekotak di kamar. Kamu pikir tiap pagi aku sarapan makan apa?"

Aku yang baru saja mengangkat sendok untuk menyantap kudapan ini terkejut. "Jadi selama ini kamu udah makan duluan sebelum aku masak?"

Dia mengangguk singkat. "Gara-gara siapa coba hari ini aku sarapan dua kali?" Katanya sambil menyenderkan badannya pada sofa. Entah kenapa kata-kata itu seolah mengejekku yang selalu memaksa dia memakan masakanku.

"Maaf..." kataku sambil menunduk. Ya kukira selama ini dia ngga pernah sarapan. Apalagi aku biasa melihatnya minum kopi pagi-pagi, sehabis makan sereal terus minum kopi gitu? Hmm perpaduan yang aneh...

"Ya udah, besok-besok aku nggak bakal-" Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia meraih tanganku yang sibuk menyendok sereal dari mangkok itu.

"Besok kamu masak kan? Soalnya ini yang terakhir, habis." Katanya sambil sedikit melirik kearah sereal yang kumakan.
  
  

冬 - to be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top