8. Memoiré
Genre : Romance
Sub genre : -
Author : Ryze95
****
Saat itu, saat bersamamu, memandangi sebuah pemandangan yang sama...
Langit dinodai oleh warna jingga, kita memandangi kelopak bunga sakura yang jatuh
berguguran, menari-nari mengikuti hembusan angin sebelum akhirnya mereka jatuh diatas tanah...
Sakura diibaratkan sebagai sebuah janji, walaupun ia hanya mekar dalam kurun waktu yang sangat singkat, namun ia selalu berjanji akan kembali bermekaran di musim semi berikutnya...
Kuncup bunga sakura yang sedang bermekaran diibaratkan sebagai kebahagiaan dan sukacita...
Namun saat kelopak bunga sakura berguguran, mereka diibaratkan sebagai kesedihan...
Bisa dibilang, hal ini memang benar-benar kurasakan, karena tepat pada saat satu-persatu kelopak bunga sakura yang tersisa berguguran,
Kau meninggalkanku...
Janji yang kita buat dihari itu hanyalah sebuah kebohongan,
'Aku tidak akan pernah meninggalkanmu'
Itulah kebohongan terbesarmu yang tidak akan pernah kulupakan dan selalu membanjiri memoriku...
---
Memoiré
©Ryze95 Spring - Romance
Songfict 🎵 Mao - Kimi no Kioku
---
Tentang kita, dan musim semi...
"Akari, kau datang rupanya!"
Senyum yang mengembang terlukis indah di paras tampan seorang pemuda dengan manik mata semerah batu ruby, ketika melihat sosok gadis cantik bermanik sebiru lautan yang sedang tersenyum manis ke arahnya.
"Bagaimana latihannya? Apa ada kemajuan?"
Gadis itu bertanya seraya menghampiri sang pemuda yang sedang duduk di atas sebuah kursi roda, memandangi pemandangan lewat jendela kamarnya.
"Begitulah, kurasa aku harus lebih giat lagi."
Jawab si pemuda.
Si gadis-Akari, meraih pegangan kursi roda yang berada di balik punggung si pemuda, ia lalu memutar kursi roda dan mendorongnya dengan hati-hati menuju ke luar kamar.
"Kita mau kemana?"
"Hmm, karena ini sudah masuk musim semi, aku ingin kau juga ikut menikmati indahnya bunga sakura," Akari terkekeh pelan, "Karena latihanmu sudah selesai, tidak ada salahnya kan kita jalan-jalan sebentar."
Si pemuda tersenyum, walau ia tidak dapat melihat ekspresi gadis itu yang berada di belakangnya, ia tahu jika saat ini Akari sedang tersenyum.
Saat mereka keluar dari pintu lorong yang mengarah ke arah sebuah taman, angin lembut nan sejuk menyambut mereka berdua, bau obat-obatan yang menyengat dan suara dari alat-alat medis yang tidak bosan menghiasi bangunan bercat putih itu tergantikan dengan pemandangan yang menyejukkan mata.
Puluhan pohon sakura yang tertanam di pekarangan taman itu telah mekar dengan sempurna, dedaunan hijau di atas pohon telah tertutupi sepenuhnya oleh ribuan kelopak bunga kecil berwarna merah muda.
"Yukio... kau lihat? Bunga nya indah bukan?"
Akari sangat antusias ketika mendorong kursi roda si pemuda melewati jalanan taman yang bertapakkan batu alam, suara cicit burung terdengar bagaikan lantunan sebuah musik, sejauh mata memandang, hanya ada pemandangan yang didominasi oleh warna merah muda.
Pemuda itu-Yukio, menengadahkan kepalanya ke arah langit, menatap ribuan kuncup bunga sakura yang bermekaran di atas ranting-ranting pohon dan sebagian kelopak bunga sakura yang tertiup oleh angin berguguran bagaikan salju di musim dingin.
"Aku lupa kapan terakhir kali aku melihat bunga sakura bersemi seperti sekarang," ujar Yukio.
Akari tersenyum, "Tahun depan, ayo lihat bunga sakura lagi, kita berdua."
Setelah itu, hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Tidak menjawab pernyataan gadis itu, Yukio hanya terdiam, dengan kedua tangan yang terkepal erat, lidahnya seakan kelu untuk sekedar menjawab 'ya'.
"Yukio... kenapa kau tidak menjawabnya?"
Akari berubah murung, ia menghentikan laju kursi roda dibawah salah satu pohon sakura di ujung taman, hanya ada mereka berdua di sana, jauh dari keramaian.
Yukio menghela nafas panjang, "Aku... tidak tahu apa tahun depan, aku masih bisa menikmati pemandangan seperti ini denganmu..."
Helai rambut pirang milik Yukio yang semakin pucat dan tipis bergoyang tertiup oleh angin, mengisyaratkan kesedihan saat Akari melihatnya.
"Tahun depan kita akan melihat bunga sakura mekar lagi," ujar Akari meyakinkan.
Yukio terkekeh pelan, "Kau memang selalu dapat membuatku kehilangan kata-kata."
Akari berputar, kini ia berada dihadapan Yukio, sedikit berjongkok agar sejajar dengan Yukio yang masih duduk di kursi roda, kedua tangannya terulur menyentuh lembut pipi Yukio, gadis itu menyembunyikan kekhawatirannya saat merasakan tulang pipi Yukio yang semakin hari semakin menonjol karena wajah Yukio semakin tirus.
"Tahun depan, kita tidak akan melewatkan musim semi di tempat ini..." Akari tersenyum, "akan kubawa kau ke taman Ueno, disana pemandangannya lebih indah, lalu kita akan melakukan hanami bersama."
Tangan Yukio terulur membelai rambut Akari dengan lembut, membuat pipi gadis itu merona merah saat merasakan sentuhan hangat telapak tangan Yukio di puncak kepalanya.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Akari..." raut wajah serius menghiasi wajah Yukio, "aku berjanji, jika aku akan selalu bersamamu."
Akari tersenyum, menampakkan senyuman palsunya untuk menutupi kenyataan pahit. Wajah Yukio yang riang kini terasa semakin redup, tawanya yang lepas kini jarang terdengar lagi, dan tubuhnya yang tegap kini mulai kehilangan kekuatannya. Yukio hanya dapat bertahan selama beberapa menit saja untuk sekedar berjalan kaki, sebelum akhirnya ia kelelahan dan berakhir duduk di kursi roda seperti saat ini.
"Percayalah padaku, Yukio..." Akari memejamkan matanya hanya untuk menutupi jika saat ini air matanya hampir saja menetes, "Kau pasti sembuh..."
"Karena aku, adalah dokter yang paling hebat sekaligus pelindungmu." lanjut Akari sembari membuka matanya dan menatap tepat di manik ruby milik Yukio.
Yukio melihat ada sebuah kekhawatiran yang tersirat di wajah manis gadis itu, segera ia alihkan pembicaraan ini kearah yang lain untuk mencairkan suasana yang semakin menyesakkan.
"Tentu saja, bukankah kau dokter spesialis leukimia yang hebat?" canda Yukio sembari sedikit menggoda Akari.
Akari menyeringai kesal, "Tentu saja aku ini dokter yang hebat! Buktinya aku tahan menghadapi pasien menyebalkan seperti mu selama lima tahun!"
"Saking hebatnya, sampai-sampai kau tidak tahan dengan pesona pasien menyebalkan mu ini."
Yukio mengangguk-angguk setuju dengan tersenyum jahil ke arah Akari hingga pipi gadis itu semakin merona merah.
Setelah hari dimana aku membawamu melihat pemandangan musim semi dengan guguran bunga sakura, hari-hari yang berlalu terasa semakin lambat, semakin hari kau semakin meredup, bahkan untuk sekedar mengangkat tubuhmu pun kau sudah tidak sanggup melakukannya...
Malam itu, ketika Akari berada di ruangannya, ia menerima sebuah laporan medis, ketika ia membaca isi laporan tersebut, ia sungguh terpukul, kedua tangannya mengepal menggenggam erat laporan hasil tes laboratorium atas nama 'Yukio Amakusa' dan seketika air matanya tak terbendung lagi.
"Yukio Amakusa, 26 tahun, lahir pada tanggal 28 Desember 1991, dari hasil lab menyatakan bahwa leukimia yang diderita oleh pasien telah mencapai stadium akhir, dengan laporan sebagai berikut:
Paru-paru rusak, dengan kerusakan organ vital lainnya telah mencapai taraf yang paling parah,
Diperkirakan hal terburuk akan dialami oleh pasien selama satu minggu kedepan..."
Tubuh Akari bergetar saat membaca satu point laporan yang terlampir hampir di akhir laporan,
"Diperkirakan umur pasien tidak akan sampai dua minggu lagi..."
"Jangan bercanda!"
Akari melempar laporan yang ada di tangannya ke atas meja dengan kasar, ia kemudian keluar ruangan dengan perasaan campur aduk, satu tempat yang terlintas di benaknya hanyalah tempat itu.
Kamar perawatan Yukio.
Aku tahu kemungkinan terburuk yang akan kau hadapi, meski begitu aku ingin terus berjuang untuk mempertahankanmu dan melindungimu, bahkan jika ingin memohon, aku ingin menanggung sebagian rasa sakit yang kau rasakan, tak peduli jika tubuhku akan hancur...
Melewati lorong sunyi dan berhenti di depan pintu sebuah kamar bertuliskan 'Yukio Amakusa', gadis itu mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar.
Akari menghapus sisa-sisa air matanya, menepuk-nepuk kedua pipinya lalu menarik nafas panjang.
Ingin rasanya aku langsung memelukmu dengan erat, menangis mencurahkan segala emosiku dipelukanmu, namun aku harus tetap tersenyum, karena kau sendiri yang mengajarkanku untuk tersenyum. Tak peduli keadaanmu sesulit dan sesakit apapun, tetaplah tersenyum, karena senyumanmu akan memberimu sebuah kekuatan untuk tetap bertahan...
Suara pintu terbuka, Akari masuk kedalam kamar dengan memasang wajah riangnya seperti biasa.
"Yukio, aku datang!" ujarnya dengan riang.
Alih-alih ingin melihat wajah menyebalkan Yukio yang selalu mengoceh karena menerima 'tamu tidak diundang', Akari malah mendapatkan pemandangan kamar yang membuatnya sangat terkejut.
"A... ka... ri..."
Tubuh Yukio yang hampir terjatuh jika saja ia tidak berpegangan pada tempat tidur kini bergetar hebat, bercak darah mewarnai lantai kamar dan tempat tidur, Yukio yang panik berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidungnya dengan sebelah tangan, namun cairan merah itu tidak mau berhenti, terus mengalir dan menetes melewati rongga jari dan jatuh ke lantai.
"Yukio!!!"
Akari segera berlari membantu Yukio, memapahnya. Namun yang terjadi selanjutnya, Akari tidak dapat menahan beban tubuh Yukio sehingga mereka jatuh terduduk di lantai.
"Yukio!! Yukio!! Apa yang terjadi??"
Akari yang panik segera menggoncang-goncangkan tubuh Yukio, namun pemuda itu seakan kehilangan kesadarannya, tidak menjawab maupun menggerakkan tubuhnya.
"Tunggu sebentar, akan kupanggilkan perawat kemari-"
Kata-kata Akari terpotong oleh sentuhan Yukio yang ada di bahunya, dengan sisa kekuatannya Yukio mengangkat wajahnya hingga mereka saling bertatapan.
"Jangan... panggil... siapapun," ujarnya lemah.
"Tapi Yukio-"
"JANGAN!!"
Yukio berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, manik ruby miliknya menatap manik mata Akari, "Aku hanya membutuhkanmu... tidak ada yang lain..."
"Yukio, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa seperti ini?"
"Aku hanya latihan berjalan..." jeda sejenak, "namun setelah beberapa menit, tiba-tiba darah keluar dari hidungku dan kepalaku berdenyut tak karuan, lalu aku kehilangan keseimbanganku..."
Setetes air mata terjatuh membasahi pipi Akari, gadis itu tidak dapat berkata apa-apa.
"Bodoh, jangan menangis!" dengus Yukio.
Akari mengulurkan sebelah tangannya untuk membersihkan sisa darah yang menetes di wajah Yukio, dan sebelah tangannya mendekap Yukio dengan erat.
Tubuhmu yang sehangat mentari pagi kini berubah menjadi sedingin udara di pagi hari, rona wajahmu semakin memucat. Aku tidak dapat mengatakan apapun, karena bibirku tidak dapat mengatakannya dengan kata-kata...
"Akari, katakan padaku yang sejujurnya, kumohon..."
Bisikan Yukio terdengar sangat lirih, terdengar semakin membuat gadis itu hancur.
"Aku... tidak ingin..." jawab Akari di sela tangisannya.
"Ayolah... aku tahu kau mengetahui sesuatu dari hasil tes lab-ku seminggu yang lalu."
Akari semakin terisak dan menjawab Yukio dengan menggelengkan kepalanya. Yukio tersenyum melihat jawaban Akari.
"Jadi apakah aku sudah mendekati akhir?" tanya Yukio.
"Kau pasti sembuh Yukio..." Akari menyentuh pipi Yukio, "kau tidak akan pergi kemanapun, kau akan selalu disini bersamaku."
Yukio terdiam, nafasnya kini mulai teratur, ia kemudian membalas pelukan Akari dan mendekap gadis itu dengan sisa kekuatannya, merasakan tubuh gadis itu yang berguncang dan meredakan tangisannya.
"Aku akan selalu bersamamu..." bisik Yukio tepat di telinga Akari,
"Maka dari itu aku hanya membutuhkanmu, tidak ada yang lain..." lanjutnya.
Akari yang sudah mulai dapat mengatur kembali emosi nya kini memberi jarak diantara Yukio. Menatap Yukio yang sedang tersenyum padanya, sedikit membuat gadis itu menjadi lebih tenang.
"Besok, aku ingin melihat sakura lagi bersamamu, kau mau kan?" tanya Yukio.
"Kau tidak boleh meninggalkan kamar perawatanmu, Yukio..."
"Persetan dengan peraturan, selama kau ada disisi ku, aku tidak akan khawatir dengan keadaanku sendiri..."
Keras kepala, sedikit menyebalkan namun kau selalu membuatku luluh dengan senyuman dan tingkah laku mu...
Akari mengangguk, "Jadi, besok jam berapa aku harus menjemputmu?"
"Saat yang tepat ketika tidak banyak perawat yang berlalu lalang kemari..." Yukio memasang wajah berpikir, "mungkin saat menjelang pergantian shift perawat..."
"Sore?" tanya Akari.
Yukio mengangguk, "Aku akan menunggumu di kamar ini."
Kata-katamu membuatku yakin, tidak pernah ada keraguan dan tidak ada beban. Tanpa kusadari itulah pertanda jika waktu kebersamaan kita semakin menyempit, dan akan segera berakhir...
---
Matahari yang bersinar di angkasa telah hampir kembali ke peraduannya, langit yang berwarna biru kini dinodai oleh warna jingga keemasan. Bunga sakura yang bermekaran tengah menunggu waktu untuk berguguran meninggalkan musim semi, digantikan oleh dedaunan hijau yang menghiasi dahan dan ranting pohon sakura.
Tepat dua minggu berlalu setelah terakhir kali mereka berdua berkunjung ke taman ini untuk menikmati bunga sakura yang bermekaran di musim semi, hari ini mereka berdua kembali kemari.
Yukio sedikit berbeda dari beberapa hari yang lalu, entah keajaiban apa yang terjadi pada Yukio, dia terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Kedua pipinya sedikit lebih berisi dengan rona merah menghiasi kulit wajah pucatnya, bibir tipisnya kini sedikit memerah jauh dari kata pucat, dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu, hari ini ia lebih bugar walau ia masih menggunakan kursi roda.
"Akari, kita berhenti disana saja."
Yukio menunjuk ke arah sebuah pohon sakura di ujung taman, pohon itu adalah pohon yang sama seperti saat itu, ketika terakhir kali mereka melihat bunga sakura yang bersemi dua minggu yang lalu.
Putaran roda berhenti ketika Akari berhenti mendorong kursi roda saat sampai di bawah pohon sakura yang ditunjuk oleh Yukio.
"Ah~ mungkin ini bukan waktu yang tepat," keluh Yukio ketika menatap ke atas pohon, bunga sakura yang menghiasi pohon kini didominasi oleh dedaunan hijau.
"Memangnya apa yang ingin kau lakukan?"
"Hmmm, sesuatu yang membuatmu terkejut..."
Yukio menggenggam tangan Akari, "Bantu aku berdiri!"
"Ha? Kau yakin?"
"Tentu saja, ayo cepat!"
Akari menghela nafas panjang, ia tahu jika Yukio masih keras kepala seperti biasanya. Akari membantu Yukio untuk berdiri, keajaiban terjadi lagi, Yukio dapat berdiri dengan mudah, dan berjalan layaknya seseorang yang tidak sakit.
"Yukio, sebenarnya apa yang terjadi? Hari ini kau aneh..."
Akari berjalan di samping Yukio, terkejut dan heran disaat yang bersamaan.
Yukio mendahului Akari dan duduk di kursi taman yang berada di samping pohon sakura,
"Kemari."
Yukio menepuk-nepuk sisi bangku taman yang kosong di sampingnya, mengisyaratkan Akari untuk duduk.
Setelah Akari duduk tepat di samping Yukio, perubahan drastis mulai nampak dari Yukio.
"Yu... Yukio..." khawatir, Akari segera menyandarkan tubuh Yukio di bahunya, nafas pemuda itu mulai tersengal-sengal, dan keringat dingin mulai bercucuran dari tubuhnya.
"Kau kenapa Yukio?"
Raut wajah Akari terlihat sangat khawatir, sementara Yukio hanya tersenyum, seolah menyembunyikan sesuatu dari gadis itu.
"Ternyata sangat sulit ya, berlagak sok kuat seperti ini..."
"Yukio?"
Yukio menggenggam kedua tangan Akari, "Maaf, aku sudah berbohong padamu..."
Lidah Akari kelu dan tak bisa berkata apa-apa ketika melihat perubahan raut wajah Yukio, kini dia seakan kehilangan kekuatannya.
"Apa maksudmu?"
Yukio terkekeh pelan dan nafasnya semakin berat.
"Maaf, aku tidak memberi tahu mu tentang ini..."
"Apa?!"
"Sebenarnya sore ini aku akan dipindahkan ke ruangan lain dan dipasangi berbagai macam alat medis yang luar biasa banyak..."
"Yukio? Seharusnya kau mengatakan hal ini padaku!" marah sekaligus sedih tersirat dari sikap Akari saat ini.
"Aku sengaja tidak mengatakan ini padamu, karena jika aku mengatakan ini kau pasti tidak mengizinkanku untuk melihat sakura bersamamu..."
Yukio menggenggam erat tangan Akari dan menautkan jari-jari mereka.
"Aku hanya ingin bersamamu..."
Kedua tangan Yukio sangat dingin, Akari merasakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dadanya terasa sesak.
"Kau tau Akari, aku sangat bersyukur karena tuhan memberiku penyakit ini," Yukio menatap Akari dengan tatapan sayu,
"Karena jika aku tidak sakit seperti ini mungkin aku tidak akan bertemu dengan mu..."
Akari berusaha tegar dan setenang biasanya, entah kenapa ia tidak ingin menangis walau sebenarnya dia tahu arti dari semuanya.
Hari ini mungkin hari terakhir mereka bersama
"Yukio, kau janji padaku dulu, kau tidak akan meninggalkanku..."
Akari berusaha menahan tangisnya sekuat mungkin, ia menggenggam erat tangan Yukio, "Kau harus menepati janjimu!"
Angin sore menerbangkan sisa-sisa kelopak bunga sakura yang mekar di atas pohon, guguran kelopak bunga itu menghujani mereka berdua.
"Kau tahu arti dari sakura?"
Akari menggeleng.
"Waktu bunga sakura bersemi hanya selama dua minggu, bunga sakura sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang rapuh dan ketidakabadian..." jeda sejenak,
"Sakura sama seperti aku, rapuh dan tidak abadi, harapan hidupku semakin tipis, tidak jarang aku mendengar jika aku tidak akan bertahan lebih lama."
"Tapi kau pasti bisa! Ingat aku adalah dokter terhebat yang akan menyembuhkanmu!" protes Akari dengan nada yang cemas.
"Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa bertahan lebih lama..."
Yukio merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berlapiskan beludru berwarna biru muda lalu membuka kotak itu, ia memberikan kotak itu pada Akari.
Sebuah cincin perak dengan batu permata berwarna biru tersimpan rapi di dalam kotak.
Akari kehilangan kata-katanya, sebelah tangan menutup mulutnya, antara senang dan sedih bercampur menjadi satu, menghasilkan sebuah kebimbangan pada diri gadis itu.
"Tahun lalu, aku telah berniat melakukan ini, tapi aku belum bisa mewujudkannya karena aku terlalu takut..."
"Yu...kio..."
"Aku ingin melamarmu, Akari."
Tangan Yukio bergetar, dengan susah payah ia memasangkan cincin itu di jari manis tangan kanan Akari. Sementara itu Akari hanya diam dan tidak bisa berkata apapun. Gadis itu terlalu terkejut dan berusaha menahan air matanya.
"Kau tau, aku pernah bermimpi jika suatu saat nanti ketika aku sembuh, aku ingin membangun sebuah keluarga kecil bersamamu," ujar Yukio.
"Kau akan terus bersamaku, Yukio..." lirih Akari.
"Tapi aku sadar, jika tubuhku sudah mencapai batasnya."
Akari terisak, tetes air mata mulai membasahi pipi gadis itu, tubuhnya bergetar dan ingin rasanya gadis itu menjerit sejadi-jadinya.
"Dengar, Akari. Jika ini terakhir kalinya kita bersama, percayalah jika aku akan terus mencintaimu, menyayangimu dan rasa ini tidak akan pernah pudar seiring berjalannya waktu,
Aku bersyukur bertemu gadis seperti dirimu, yang menerimaku apa adanya, bahkan mungkin hanya kaulah yang mengerti diriku sejak pertama kali kita bertemu,
Setiap musim yang kita lalui sangat berarti untukku, menghabiskan waktu denganmu tidak pernah membuatku bosan,
Aku ingin selalu bersamamu walau takdir mengatakan jika itu hanyalah impian kosong,
Kenyataan jika aku sangat mencintaimu, adalah hal yang tidak dapat terbantahkan..."
Kehangatan tubuh Yukio semakin menghilang, jari-jari tangannya yang menggenggam tangan Akari semakin dingin, nafasnya mulai melambat dan denyut nadi di pergelangan tangannya pun demikian.
"Aku juga mencintaimu..." Akari menggelengkan kepalanya, "Kata-kata mungkin tidak akan cukup menggabarkan rasa ini padamu, Yukio...
Aku ingin terus bersamamu, melihat tingkah menyebalkanmu, tertawa bersamamu...
Aku ingin terus bersama mu, Yukio..."
Kekehan pelan Yukio terdengar semakin lirih dan lemah, Yukio merasakan seluruh tubuhnya seakan tertimpa oleh beban berat, untuk sekedar menggerakan jarinya saja sudah sangat sulit. Dadanya terasa sesak, ribuan jarum terasa menusuk tubuhnya, pandangannya semakin kabur dan pendengarannya semakin kacau.
"Aku senang mendengar hal ini darimu," jeda sejenak, "Aku bersyukur dicintai olehmu..."
Kedua mata Yukio mulai menutup, ia merasa sangat berat untuk sekedar membuka matanya, dan mungkin inilah akhir dari seluruh perjuangannya saat ini.
Dengan sekuat tenaga, sebelum seluruh kekuatannya menghilang, Yukio mendekap Akari, merasakan kehangatan tubuh gadis itu untuk terakhir kalinya.
"Aku mencintaimu, Akari..."
Mata Yukio semakin terpejam dan isak tangis Akari semakin menjadi-jadi.
"Maaf aku tidak dapat menepati janjiku..."
Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir Yukio bagaikan ribuan jarum yang ditancapkan di dada Akari, terasa sakit namun tidak luka.
Pemandangan musim semi tahun ini benar-benar tidak dapat dilupakan oleh gadis itu.
Satu per satu helaian kelopak bunga sakura yang berguguran menjadi pertanda bahwa sesuatu yang indah, mungkin tidak dapat kita miliki.
Sore itu, langit berwarna jingga, dibawah rindangnya pohon sakura yang seluruh bunganya telah berguguran terjatuh dari ranting pohon, dua insan saling berpelukan.
Tanda-tanda kehidupan dari sang pemuda kini menghilang dan teriakan dari sang gadis terdengar penuh dengan luka dengan nada yang menyayat hati.
---
Musim semi dimana kelopak bunga sakura yang bermekaran mungkin telah berlalu, namun mereka akan kembali bersemi di tahun berikutnya dengan bunga sakura yang baru,
Namun bagiku,
Sebanyak apapun musim semi yang akan datang di tahun-tahun berikutnya,
'Sakura' milikku tidak akan pernah bersemi kembali...
---
Edisi nulis diteror event -___-
ANDAY APA YANG GUE TULIS????!!!!
#BODOAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top